Oleh: Yusuf Blegur
MENGAPA negeri yang seharusnya gemah ripah loh jinawi ini, menjadi karut-marut dan begitu mengenaskan?
Mengapa pelaksanaan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI terasa jauh dari ideal, bagaikan jauh api dari panggang? Dari banyak faktor, disinyalir peran partai politik menjadi signifikan pada maraknya distorsi penyelengaraan negara selama ini.
Partai politik dianggap memiliki kontribusi besar terhadap kerusakan sistemik yang bukan hanya menjauhkan rakyat dari cita-cita kehidupan adil makmur. Lebih dari itu keniscayaan partai politik juga cenderung mendorong perjalanan Indonesia menuju negara gagal.
Atmosfir kapitalisme memang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, iklim hijau nan asri yang meliputi kultur gotong-royong dan religius itu tak mampu menghindari rakyatnya menghirup udara beraroma materialistik. Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, persada kaya di tengah bentangan khatulistiwa dunia itu kerapkali mengalami perseteruan ideologi yang memengaruhi motif, proses dan tujuan bernegara. Kedua mainsteam ideologi internasional baik kapitalisme maupun komunisme, sama-sama begitu kuat mencengkeram pendulum kebangsaan negeri yang menjadi simbol surga dunia.
Apa mau dikata, untuk tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. NKRI yang dengan semangat Pancasila dan UUD 1945 memiliki kemuliaan bagi rakyatnya sendiri dan bagi kehidupan bangsa lainnya. Harus menjalani kenyataan pahit, kehidupan berbangsa dan bernegara hampir 77 tahun kerapkali menemui jalan buntu meraih kesejahteraan. Rakyatnya harus hidup menderita di tengah maraknya korupsi, pesatnya utang negara, angka kemiskinan yang terus melonjak, politik dan hukum yang menindas serta kematian demokrasi.
Sungguh miris dan ironis, negeri yang kaya akan sumber daya alam dan keberagaman kulturnya, membuat kehidupan rakyatnya seperti dalam suasana kolonialisme dan imperialisme modern.
Tak dapat dipungkiri dan tegas menyisakan rekam jejaknya beberapa dekade ini. Bahwasanya selain human eror, faktor sistem menjadi begitu dominan menyebabkan negara keluar trek dari cita-cita proklamasi kemerdekaan. Produk hukum dan politik menyembur deras menggerus kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip hajat hidup orang banyak yang mendasar. Bukan hanya menyasar demokrasi, regulasi yang kontradiktif dan distorsi kebijakan juga mulai mengusik hak asasi, pranata sosial dan budaya serta substansi kehidupan keagamaan.
Kekuatan partai politik yang mampu menghegemoni aspek-aspek kepentingan publik mulai dari sektor hulu hingga hilir. Telah membuat partai politik menjadi entitas politik yang absolute mengatur orang dan sistem. Seperti persenyawaan biologis parpol dan sistem tak ubahnya hubungan darah daging yang tak terpisahkan. Keduanya saling mengisi, saling memengaruhi dan saling memanfaatkan.
Partai poltik dan yang mengelolanya baik kader maupun elite pengurus telah menjadi mata rantai yang tak terpisahkan bagi kekuasaan dan eksesnya terhadap penyelenggaraan kehidupan rakyat, negara dan bangsa.
Termasuk melahirkan pemimpin nasional dan produk undang-undang dan kebijakan publik. Entah kebijakan untuk kebaikan atau keburukan, kebaikan bagi rakyat atau kebaikan bagi partai politik?
Sayangnya, setelah melakukan refleksi dan evaluasi peran partai politik sejauh ini, partai politik belum mampu menjalankan fungsi sebagai katalisator sekaligus regulasi pelaksanaan demokrasi baik dalam prosesnya, pelaksanaan hingga capaian tujuannya. Partai politik masih sangat jauh dari kata ikut mewujudkan kedaulatan rakyat.
Dalam aspek politik dan ekonomi saja, partai politik cenderung menjadi tirani, otoriterian dan cenderung bersifat diktator ketika mengejawantahkan perpanjangan kekuasannya di jajaran legislatif, eksekutif dan yudikatif. Partai politik ikut menjelma sebagai organisasi kekuasaan yang kuat membentuk proses penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Produk UU dan kebijakan strategis lainnya seperti yang dilahirkan DPR, lebih bermuatan libido kekuasaan partai politik ketimbang menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Partai politik menjadi penyumbang terbesar penyimpangan pelaksanaan tata kelola negara selama ini. Partai politik cenderung menjadi aktor dari fragmen pseudo demokrasi, yang hanya sekadar memenuhi syahwat kekuasaan ekonomi, politik dan hukum bagi segelintir orang, kelompok dan para oligarki. Korporasi, politisi dan birokrasi seperti telah menjadi sindikat atau mafia politik kekuasaan yang dominan karena peran partai politik.
Kelahiran Pemimpin dari Rahim Rakyat
Bung Karno pernah menggelontorkan konsep Resopim, yaitu penyelenggaraan pemerintahan dan negara yang berlandaskan revolusi, sosialisme Indonesia dan kepemimpinan nasional. Sebuah pemikiran dan gagasan mengenai idealisme yang membangun kepemimpinan dan sistem secara integral komprehensif.
Resopim oleh Bung Karno, berupaya menegaskan bahwa pemimpin dan sistem merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Untuk menjamin negara yang kuat yang mampu menggelorakan nasionalisme dan menopang kehidupan internasionalisme, dibutuhkan pemimpin dan sistem yang kuat termasuk upaya menjalankan revolusi sebagai alat taktis dan strategis menggapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Sejarah mencatat, resopim Bung Karno mengalami kegagalan, selain karena faktor konstelasi politik internasional yang dipengaruhi perang dingin, juga dianggap tidak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 dan NKRI.
Pergolakan politik dalam negeri yang ikut ditentukan oleh intervensi kepentingan asing, membuat negara nyaris mengalami kehancuran nasional. Lemahnya institusi negara termasuk partai politik dalam menegakkan demokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta mengawal pelaksanaan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Membuat rakyat, negara dan bangsa ini mengalami tragedi nasional, traumatik sekaligus menjadi noda hitam yang tak akan pernah bisa dilupakan dalam sejarah dan psikopolitik rakyat.
Kecenderungan kegagalan rezim era reformasi hingga saat ini, berpotensi membawa rakyat, negara dan bangsa Indonesia mengulangi kesalahan yang sama pada masa orde lama dan orde baru. Bahkan boleh jadi lebih buruk dari yang pernah dilakukan oleh rezim orde lama dan orde baru. Pemerintahan pada rezim saat ini telah melampau batas dan memasuki fase kebablasan.
Institusi negara dan aparaturnya, bertindak leluasa sebagai alat kekuasaan bukan sebagai alat negara. Sistem politik, ekonomi dan hukum direkayasa hanya untuk segelintir orang dan oligarki, selebihnya untuk kepentingan bangsa asing. Sedikit sekali pejabat dan pemimpin yang berahlak, yang memiliki nasionalisme dan patriotisme.
Penderitaan hidup rakyat dan berpotensi menjadi negara gagal yang selama ini berlangsung, mendesak semua pihak dan seluruh anak bangsa mengambil tindakan tegas, cermat dan tepat untuk menyelamatkan rakyat, negara dan bangsa. Tidak serta merta dan harus seperti Resopim, setidaknya yang paling prioritas adalah menentukan pemimpin negara yang dianggap mampu membawa Indonesia keluar dari krisis dan membawa optimisme rakyat terhadap masa depan rakyat, negara dan bangsa jauh lebih baik. Terlebih kebaikan pada masa depan kehidupan anak-cucu bangsa Indonesia. Ya, Indonesia butuh pemimpin yang memiliki karakter dan integritas.
Menjelang pemilu dan Pilpres 2024, selain rakyat sendiri ada partai politik yang secara fundamental dan signifikan sangat menentukan arah perjalanan bangsa berikutnya. Dalam suasana kehidupan negara yang kapitalistik, sekuleristik dan liberalistik serta sarat degradasi keagamaan.
Kesadaran dan revitalisasi peran partai politik saat ini menjadi krusial terutama kolerasinya dalam melahirkan pemimpin nasional, termasuk UU Pemilu sebagai trigernya. Rakyat berharap partai politik mampu bertindak obyektif dan rasional dalam memetakan, membahas dan mengambil solusi terhadap masalah dan kepentingan rakyat.
Dalam hal ini, aspirasi dan kehendak rakyat dalam memilih pemimpin, sepatutnya menjadi perhatian dan pertimbangan khusus bagi partai politik.
Saat lembaga survei bermanuver, dominasi hasrat oligarki dan petualang politik dengan ambisi kekuasaannya mulai mengadang-gadang capres dalam hajatan Pilpres 2024. Maka partai politik dituntut untuk lebih bijaksana, mengutamakan kepentingan sempit dan sesaat atau yang semacam itu. Berpikir dan bertindak untuk individu, keluarga dan kelompoknya atau demi rakyat, negara dan bangsa.
Apakah partai politik akan lebih arif mengambil langkah-langkah menyelamatkan atau lebih memperburuk dengan menggali lubang kubur untuk rakyat, negara dan bangsanya sendiri.
Sanggupkah partai politik mampu membebaskan diri dari belenggu anasir-anasir ideologi kapitalisme dan komunisme yang selama ini secara historis dan empiris sangat bertentangan dengan semangat Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Bersediakah partai politik mengedepankan politik kebangsaan serta mampu menepis politik trah, politik identitas dan hegemoni oligarki. Relakah partai politik melepaskan pola mengusung regenerasi kepemimpinan yang identik sebagai warisan keluarga dan handai taulan serta irisan hutang budi politik di sekelilingnya.
Ketika kegamangan, pergumulan dan konflik batin dalam tubuh elite partai politik itu, sejatinya negeri ini tidak sulit menemukan pemimpin yang benar-benar lahir dari rahim rakyat. Pemimpin yang berasal dari darah daging rakyat, yang tumbuh-kembangnya menyusui rakyat dan terpanggil mengabdi pada rakyat sebagai ibu pertiwinya.
Pemimpin rakyat seperti itu yang tidak ahistoris dan siap mengorbankan dirinya untuk nengemban amanat penderitaan rakyat. Pemimpin yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan pemimpin dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki, bahkan bukan juga untuk bangsa asing.
Anies Rasyid Baswedan atau yang biasa dipanggil Anies, merupakan figur pemimpin yang berbeda dengan kebanyakan pemimpin yang lain. Anies memiliki warna dan kekhasan tersendiri dengan para pejabat dan pemimpin lainnya, terutama yang namanya mulai terlibat dalam kontestasi capres di Pilpres 2024.
Anies terasa begitu menonjol di antara sesama kolega sekaligus kompetitornya. Perbedaan paling mencolok pada Anies adalah sisi performans dan behavior figurnya. Anies selain capres yang “good looking” juga dikenal rakyat sebagai pemimpin yang cerdas dan santun. Kuat menarik simpati dan empati luas publik, karena selama ini Anies sebagai pribadi yang mengutamakan ahlakul kharimah.
Sesungguhnya selain itu semua, partai politik dapat mempelajari rekam jejak kepimpinan Anies mulai dari mendirikan Program Indonesia Mengajar, kemudian sebagai Rektor Universitas Paramadina dan menteri pendidikan hingga menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Terutama pada saat menjadi orang nomor satu di Jakarta, semua eksplorasi tentang Anies sebagai seorang pemimpin itu dapat terlihat jelas, rigid dan utuh. Tentang kebaikan dan kelemahannya, tentang keberhasilan dan kegagalannya serta tentang semua prestasi dan tantangannya.
Terlepas sisi-sisi kemanusiaan yang ada dalam dirinya, semua orang sah-sah saja menilai seorang Anies dengan pandangan obyektif maupun subyektif masing-masing.
Anies Figur Solusi Masalah Bangsa
Kenapa harus Anies? Mengapa Anies menjadi figur pemimpin yang relatif lebih baik dari yang lainnya? Mengapa Anies mampu menghimpun simpati, empati dan apresiasi yang begitu luas dari rakyat tanpa rekayasa dan pencitraan yang berlebih-lebihan bahkan manipulatif. Mengapa pula begitu besarnya rakyat menginginkan Anies sebagai presiden pada Pilpres 2024?
Mungkin tidak terlalu sulit menjelaskannya, mungkin juga begitu mudah dan sederhana memahaminya. Jika saja semua entitas sosial politik termasuk di dalamnya partai politik mau jujur dan terbuka, maka figur Anies dengan segala kiprahnya akan lebih terasa seperti mewakili kepentingan strategis dan ideologis bagi semuanya. Dengan sedikit saja akal sehat, logis dan persfektif politik yang visioner, sepatutnya partai politik dapat menempatkan Anies sebagai pemimpin yang mampu menjadi idol, representasi dan kepentingan partai politik secara ideologis maupun rasional pragmatis.
Berikut ini beberapa faktor potensi dan keunggulan figur Anies, yang dapat menjadi penilaian partai politik dalam mengusung Anies sebagai capresnya.
1. Anies terbukti dan tercatat dalam rekam jejaknya sebagai figur pemimpin yang bersih, bermartabat dan berwibawa. Tak ada sedikitpun ruang, celah atau catatan yang menempatkan Anies sebagai figur bermasalah, terlibat korupsi dan pelbagai catatan kejahatan lainnya.
2. Anies pemimpin yang telah mengukir dan menorehkan banyak keberhasilan, prestasi dan penghargaan baik dalam skala nasional maupun internasional. Anies boleh jadi pemimpin sekaligus pejabat yang fokus pada kinerja dan capaian tujuan yang maksimal, tanpa kehilangan konsentrasi karena faktor-faktor luar yang tak penting dan tak relevan.
3. Anies telah membuktiksn dirinya sebagai pemimpin yang nasionalis religius dan religius nasionalis. Sebagai pemimpin Jakarta, Anies berhasil membangun suasana Jakarta yang modern, humanis dan ramah terhadap keberagaman. Kebhinnekaan dan Kemajemukan sebagai salah satu kultur nasional tetap terjaga dan terpelihara dalam pembangunan kota Jakarta. Anies berhasil menjadi pemimpin yang melayani semua anak bangsa tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama dan antar golongan. Dari karakter kepemimpinan seperti itu, selayaknya Anies disebut pemimpin yang sarat qua intelektual dan qua ideoligis. Menghormati dan menghargai sejarah serta nilai-nilai perbedaan yang terkandung di dalamnya.
4. Anies mampu menunjukan cara berpikir, sikap mental dan kepribadian yang unggul. Anies menjadi sedikit pemimpin berlatar keluarga dan dunia pendidikan yang mampu menampilkan jati diri melalui gagasan, perencanaan dan kebiasaan-kebiasaan berkarya serta memberi sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kemaslahatan pada khalayak khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Park Echo Tebet, JIS dan Formula E menjadi beberapa dari sekian banyak pembuktian prestasi yang menasional dan global.
5. Anies figur pemimpin yang mampu memberi keteladanan mulai dari cara berpikir, berkata dan bertindak, meskipun dalam situasi dan kondisi sulit sekalipun. Sedikit pemimpin yang mampu bekerja dalam tekanan, sikap permusuhan dan kebencian. Anies teruji dapat mengendalikan dirinya, tidak reaksioner, mengelola emosinya dan tetap teguh memancarkan sikap santun dan bersahaja. Tetap tak membalas menyakiti dan selalu memberi senyum terhadap fitnah keji buzzer dan hatersnya.
Demikian beberapa framing eksistensi atau semacam porto folio sosial politik figur Anies, yang memang relevan dan dibutuhkan partai politik untuk jangka pendek dan jangka panjang. Bahwasanya para elit partai politik juga tengah gamang berada di antara kesadaran ideal spiritual dan rasional materil. Antara mendahulukan kebutuhan pragmatis kekuasaan dan ekonomi atau kepentingan ideologi yang menjadi tujuan partai politik. Ingin menjadi partai politik penguasa semata, atau lebih dari itu mampu mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang dilakukan para pendiri bangsa dan praktisi politik sesudahnya.
Akan tetapi bukan tidak mungkin, Anies bisa saja menjadi figur pemimpin yang punya kapasitas membawa solusi bagi masalah rakyat, negara dan bangsa. Begitupun bagi partai politik, Anies dapat mewakili kepentingan ideologis partai politik sekaligus meraih arus besar dukungan rakyat buat partai politik, menjadi seiring sejalan bagi manfaat pragmatis partai politik itu sendiri. Ada simbiosis mutualis antara partai politik dan Anies.
Dengan mengusung Anies, setidaknya partai politik dapat menjangkau kepentingan strategis dan tujuan ideologis.
Wallahu a’lam bishawab.
Munjul-Cibubur, 8 Juli 2022
Komentar