Oleh: Yusuf Blegur
APA yang baik menurut manusia, belum tentu baik di hadapan Allah. Begitupun sebaliknya, apa yang buruk menurut manusia belum tentu buruk di hadapan Allah.
Seperti halnya Anies yang selalu dalam pandangan buruk konspirasi jahat. Anies justru terus menuai kebaikan rakyat karena politik ahlak yang menyertainya, bukan dari politik identitas.
Begitulah sejatinya pemimpin yang selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap helaan nafasnya, bukan pada kekuasaan politik manusia yang absurd.
Sejak memangku jabatan Gubernur DKI Jakarta, Anies merupakan seorang pemimpin yang menjadi langganan framing jahat. Pembentukan opini Intoleran, radikalis dan fundamentalis, hingga dicap sebagai pengusung politik identitas sampai menjadi anasir teroris, kerapkali bertubi-tubi menerpa Anies.
Identifikasi personal yang sangat kentara sebagai upaya pembunuhan karakter figur Anies, begitu gencar dilakukan secara terstruktur, sistematik dan masif. Menghujani dengan isu, intrik dan fitnah, tak pernah jeda dan membabi-buta ditujukan ke Anies.
Tak kurang mulai dari individu sampai organisasi berlomba-lomba ingin menjatuhkan Anies dengan cara-cara yang tak bermartabat.
Sebut saja lakon tetap para buzzer cekak logika spesial recehan, seperti Ade Armando, Ferdinand Hutahaean, Denny Siregar, Eko Kuntadhi, Husin Shihab dan manusia sejenis lainnya. Tak ketinggalan yang paling menonjol dan getol dari Partai Solideritas Indonesia (PSI), yang program utamanya hanya mendiskredikan Anies.
Baik para buzzer maupun PSI, keduanya cenderung merupakan pemain bayaran yang mendapatkan uang dan jabatan sebagai kompensasi atas kerja-kerja mendowngrade Anies.
Anies sendiri bergeming, menghadapi badai stereotif baik berupa narasi maupun manuver kekuasaan politik yang menyerangnya. Anies lebih memilih menghadapi semua itu dengan sikap tenang, penuh senyuman dan tidak meninggalkan sedikitpun adab dan sopan santun.
Kesabaran, keuletan, fokus pada pekerjaan dan tanggungjawabnya sebagai gubernur, selalu menjadi jawaban Anies terhadap pandangan “under estimate”, pola agitasi dan propaganda serta semua sikap-sikap merendahkan yang mengarah kepada dirinya.
Sikap rendah hati dan ketulusan Anies sebagai pemimpin membuahkan kinerja dan prestasi yang membanggakan, bukan hanya bagi warga Jakarta, melainkan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Tentu saja, fakta dan realitas keberhasilan Anies membuat para buzzer, partai sempit iman, dan kaum kesadaran pendek serta tipis akal, semakin kejang-kejang menampilkan kesetanan pada jiwa raganya.
Mungkin saja fenomena itu menjadi pelajaran dan hikmah tersendiri bagi Anies khususnya dan para pemimpin lain pada umumnya. Sebagai manusia hendaknya jangan melakukan intervensi apalagi sampai mengambil alih peran Tuhan Yang Maha Esa. Bahwasanya setiap jodoh, maut dan rezeki itu ranahnya Ilahi, di luar itu manusia boleh saja berkreasi dan melakukan improvisasi. Jangan sampai memaksakan diri dan memaksakan kehendak pada orang lain.
Tugasnya manusia yaitu tetap bertahan sekuat daya menjadi manusia, jangan merubah dirinya karena kepentingan apapun termasuk menjadi tidak manusiawi. Pentingnya memahami kekuasaan yang sejati dan hakiki itu hanya milik Allah Yang Maha Besar.
Anies sepertinya menyadari, tanpa jabatan apapun, sesungguhnya ia telah menjadi pemimpin. Setidaknya pemimpin bagi dirinya, bagi keluarganya dan mungkin yang lebih luas bagi komunitasnya, jika belum sampai pada kemampuan memimpin masyararakat, negara dan bahkan dunia.
Kesadaran dan keinsyafan itu, bukan hanya membuat Anies mampu berdiri tegak pada rasionalitas, moralitas dan spiritualitasnya semata. Lebih dari itu, Anies berhasil menghadirkan Tuhan dalam setiap pikiran, ucapan dan tindakan keseharian hidupnya. Nilai-nilai religi begitu kental menghiasi kejujuran, bersikap adil dan sebisanya mengangkat harkat hidup rakyat yang dhoif dan fakir.
Anies menjadikan kepemimpinan itu sebagai pertaruhan hubungan manusia dengan Ketuhanannya. Ketaatan dan ketaqwaan itu selayaknya lebih dulu hadir saat manusa tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri maupun pada orang lain. Dengan demikian segala motivasi dan tujuan kepemmpinannya, tidak lebih dan tidak bukan hanya karena dan untuk Sang Khalik. Bukan karena uang, populeritas dan jabatan, bukan pula karena pencitraan dan perangai menghalalkan segala cara. Anies sepertinya bersetia dan teguh dengan karakter pemimpin yang mengusung politik ahlak, bukan politik identitas.
Munjul-Cibubur, 29 Juni 2022
Komentar