Oleh: Ahmad Humam Hamid
(Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh)
CERITA tentang Anies Baswedan adalah sebuah rangkaian film sinetron tak berujung yang diproduksi oleh banyak pihak, utamanya pihak yang membenci dan manakutinya.
Tiada hari tanpa berita tentang Anies, dan umumnya, jumlah berita biasa, dan bahkan prestasi pekerjaannya seringkali dikalahkan oleh berita buruk dan olok-olok terhadapnya.
Kejadian itu dimulai semenjak ia masuk bursa pemilihan Gubernur DKI, melawan incumben Ahok.
Publik yang sebagiannya sudah tersihir dengan gaya dan kinerja Ahok, perlahan mulai tersentuh dengan gaya komunikasi, narasi, dan bahasa tubuh Anies.
Karena Anies bertarung dengan koalisi bendera Gerindra dan PKS, segera saja ia menjadi simbol oposisi terhadap rezim yang sedang berkuasa di bawah kepemimpinan presiden Jokowi.
Segera saja jagat politik nasional menjadi hangat, dan mulai tumbuh kekuatiran dan bahkan ketakutan terhadap peluang dan potensi besar Anies untuk terpilih.
Kekuatiran itu akhirnya menjadi kenyataan.
Anies-Sandiaga terpilih dengan jumlah suara lebih dari 57 persen, dan Ibu Kota Republik sebagai ikon pertaruhan politik nasional dimenangkan oleh koalisi opisisi.
Kekalahan Prabowo Subianto pada Pilpres sebelumnya kini menemukan momentum baru dengan kemenangan Anies-Sandi di Pilgub DKI Jakarta.
Mitos tentang kehebatan Ahok yang bahkan oleh sebagain kalangan sudah mulai dilihat sebagai embrio spesies baru dalam politik nasional hilang, dan bahkan seakan terhapus dari memori publik.
Kemenangan Anies menjadi trauma bagi lawannya yang berkelanjutan sampai dengan hari ini.
Tentang alasan kenapa membuat banyak pihak trauma sebenarnya sangat tidak susah untuk diterangkan.
Banyak kalangan terutama pengamat politik nasional, dari jauh hari sudah melihat penampilan dan keunikan Anies.
Dugaan banyak pihak, tentang kemungkinan Ahok menjadi spesies baru politik nasional, justru terjadi sebaliknya.
Yang timbul justru Anies yang menjadi spesies baru.
Anies tampil sangat beda dari politisi konvensional yang pernah ada dalam partai politik manapun, terutama pascaorde baru.
Apa yang menjadi keunikan Anies adalah “kedewasaan”nya dalam berpolitik.
Penampilan politiknya sangat sopan, tidak pernah kasar, bahkan kepada pihak yang paling kasar sekalipun terhadap dirinya.
Anies sangat jarang emosi, apalagi marah ketika berhadapan dengan tantangan, tuduhan, apalagi ancaman.
Ia tidak pernah “menggonggong” apalagi “menggigit” lawannya.
Ingat saja ketika Menteri Luhut mencak-mencak secara terbuka kepada Anies tentang pembatalan proyek reklamasi Ahok.
Yang terjadi justeru Anies sangat dingin, namun tak takut menanggapinya.
Kalaulah benar posisi Menteri Luhut sebagai repersentasi Pemerintah Pusat yang mengancam Anies tentang keputusan itu, justru Anies mengingatkan Menteri Luhut untuk kembali melihat aturan tentang kewenangan dan berbagai aturan sesuai hukum yang ada.
Ketika Pemerintah “Pusat” tak berkutik dengan kasus reklamasi itu, Anies sama sekali tidak menunjukkan kesombongannya.
Ia sama sekali tak canggung, apalagi dendam terhadap pihak yang menyakitinya.
Bayangkan saja kejadian sebelum ia menjadi Gubernur DKI.
Tak ada angin tak ada hujan, entah bisikan apa yang sampai ke Jokowi, Anies diganti sebagai Menteri Pendidikan di tengah segudang prestasi yang sedang dikerjakannya.
Ia tidak berkomentar, tidak menjadi orang sejenis Rizal Ramli yang menjadi pengeritik keras pemerintah setelah dicopot dari kabinet.
Cobalah periksa jejak digital Anies, kapan ia pernah sinis terhadap siapapun, apalagi Presiden Jokowi.
Ketika ia berhasil membangun JIS- Jakarta International Stadium yang rencananya akan diresmikan dalam waktu dekat, banyak pihak yang anti-Anies, masih berani mengklaim proyek itu sebagai prestasi Presiden -Gubernur Jokowi.
Anies tidak peduli dengan itu, dan bukan tidak mungkin ia akan minta Presiden untuk meresmikannya.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa rezim yang berkuasa saat ini “ikhlas” melihat Anies berhasil, untuk tidak mengatakan sangat anti terhadap Anies.
Sekalipun kehadiran Presiden Jokowi pada saat acara Formula E di Ancol baru-baru ini mendemonstrasikan dukungannya terhadap program memasyhurkan Indonesia kepada publik internasional oleh Anies, sengaja atau tidak, absennya iklan BUMN- bandingkan dengan moment yang sama di Mandalika, pada acara itu adalah gambar telanjang betapa rezim tak suka dengan keberhasilan Anies.
Dalam menguraikan narasi pembangunan Jakarta, baik selama masa kampanye maupun ketika ia memerintah ia sangat jelas dan gamblang.
Ia tampil sebagai pemimpin pemerintah ibu kota Republik, yang sarat dengan nuansa akademik tehnokratis abad ke 21.
Lihatlah dalam beberapa event pertemuan pemerintah kota pada tingkat global, bagaimana ia menjelaskan dengan sangat runtut tentang isu-isu perkotaan global, terutama kota-kota negara berkembang seperti Jakarta.
Ia menguraikan dengan wawasan yang sempurna tentang kependudukan, sanitasi, pembangunan kawasan kumuh, air minum, perumahan, kesehatan, pengangguran, transportasi, dan degradasi lingkungan.
Anies bahkan dengan sangat cerdas mampu menghubungkan tali-temali semua persoalan itu dengan isu pemanasan global yang kritis dalam menyongsong masa depan kota-kota global dan manusia secara keseluruhan.
Tidaklah mengherankan kalau Anies mendapat tempat, hormat, dan simpati dari berbagai pertemuan gubernur dan wali kota dunia.
Semua apresiasi itu bukan hanya karena bahasa Inggrisnya yang fasih, atau debutnya sebagai orator handal, akan tetapi lebih karena substansi apa yang dia uraikan, dan bukti yang telah ditunjukkan yang sangat mengena dengan tantangan pembangunan perkotaan global masa depan.
Jakarta di tangan Anies telah diakui sebagai salah satu ibukota terdepan, terutama dalam kelompok ibu kota negara negara “emerging market” di dunia.
Anies sangat artikulatif ketika menyampaikan tantangan pembangunan masa depan kota global, terutama yang mengangkut dengan tata ruang, pemukiman, transportasi publik, keberpihakan terhadap masyarakat miskin, dan keadaban.
Ia mendemontrasikan kemampuannya tidak hanya dalam wacana dan narasi.
Ia membuktikan apa yang diucapkan dalam apapun pekerjaan yang dilakukannya di Ibukota.
Anies membuktikan dirinya bukan politisi spesies “talkers”, tetapi “doers” yang komit dan cerdas.
Dengan masa jabatan Anies yang akan berakhir pada bulan Oktober yang akan datang, hampir tak ada pihak yang berani mengatakan Anies gagal membangun Jakarta, apalagi Anies gagal merealisasikan janji kampanyenya membangun Jakarta.
Kebanyakan hasil survey dari lembaga yang kredibel menyebutkan mayoritas warga Jakarta puas dengan kinerja Gubernur Anies.
Ada sejumlah lembaga yang mengumumkan kepuasan publik Jakarta terhadap Anies relatif rendah, terutama survey CSIS terhadap para ahli, yakni hanya 47,2 persen.
Hal tersebut segera terbantahkan dengan temuan BPS (Mei 2022) terakhir tentang capaian kinerja Pemerintah DKI terhadap kenaikan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja perempuan, penurunan inflasi, dan penurunan kemiskinan, dan turunnya pengangguran secara drastis.
Penyebab terbesar rendahnya kepuasan para ahli disebutkan oleh CSIS adalah rendahnya kinerja dari hampir semua indikator tersebut.
Uniknya temuan badan resmi pemerintah, BPS dengan terang benderang membantah dengan bukti konkrit terhadap ketidakpuasan para ahli itu.
Ketakutan sedari awal terhadap sosok Anies, bahkan ketika ia masih menjadi calon gubernur kini menjadi kenyataan.
Politik Busuk Menjegal Anies
Dari hari ke hari ketakutan sejumlah pihak itu telah menjadi “mimpi buruk” untuk tidak mengatakan trauma.
Ketakutan itu mungkin juga sangat beralasan, karena jangan-jangan sudah ada “ahli nujum” akademik atau paranormal nonakademik yang sudah membaca apa yang akan terjadi jika Anies terpilih menjadi gubernur DKI.
Sedari awal ia terpilih, ibarat permainan bola kaki, ia dikawal ketat layaknya Maradona atau Ronaldo dengan berbagai, bahkan kalau perlu dicederai.
Namun ia cukup cerdas untuk tidak emosi, dan pandai menghindar dari berbagai sergapan, dan seringakli membuahkan gol yang tak tertahankan.
Cerita tentang upaya mencederai atau bahkan menjegal Anies mungkin menjadi salah satu fenomena “politik busuk” yang paling menonjol yang pernah terjadi dalam sejarah politik kontemporer kita.
Berbagai mesin pembusukan dilancarkan terhadap Anies, mulai dari parlemen -DPRD DKI, sampai dengan para buzzer yang bekerja 24 jam.
Tidak hanya itu, tidak kurang, satu partai politik khusus dilahirkan, yang pekerjaan utamanya bukan mengurus perpolitikan nasional, akan tetapi “membidik” politik Jakarta, dengan target utama Anies Baswedan.
Apapun yang dikerjakan oleh para buzzer dan partai tertentu itu justru menghasilkan sebaliknya.
Semua tuduhan buruk, dan antisipsi kegagalan Anies yang digunakan untuk mengumandangkan Aniesfobia justeru menjadi Aniesmania.
Publik dengan jelas melihat ada persekongkolan jahat di sebalik semua gerakan pembusukan itu.
Uniknya semua berita buruk yang setiap hari dirancang dan dilepas dari sebuah fabrikası kebohongan, dalam perjalanan waktu memberikan bukti sebaliknya.
Tanpa harus merinci satu persatu apa yang telah dicapai Anies, fabrikasi berkelanjutan tentang kegagalan 23 janji Anies dalam kampanye pilgub DKI tidak terbukti.
Publik menyatakan kepuasan yang tinggi, dan survei indikator pembangunan DKI versi BPS menunjukkan hasil yang sangat memuaskan.
Apa yang tidak disadari oleh musuh Anies terhadap berbagai pembusukan yang dilakukan secara tak sengaja telah membuat nama Anies menjadi bagian dari memori publik yang melekat setiap hari.
Karena pembusukan sistematis itu, nama Anies yang awalnya hanya bertebaran di Jakarta, kini telah masuk ke rumah-rumah di seluruh Indonesia.
Anies dan Filasafat Bukuem di Aceh
Apa yang mereka tidak sadari adalah, dalam perjalanan waktu tuduhan atau berita buruk tentang kegagalan Anies, terbukti sebaliknya.
Anies telah meraih keuntungan yang tak ternilai dari kegigihan para musuhnya semenjak ia dilantik sampai hari ini.
Kalaulah ada variabel yang paling bertanggungjawab terhadap poplaritas dan elektabilitas Anies hari ini untuk menjadi calon presiden adalah berkat “fitnah” dan berbagai “berita buruk” yang disebarkan para musuhnya.
Di Aceh, ketika ada upaya sistematis untuk mengecilkan meremehkan atau menghancurkan seseorang, terutama dalam ruangan kehidupan publik masyarakat pesisir, dan upaya itu mengeluarkan hasil yang sebaliknya disebut dengan kiasan “lagei ta sipak bukuem bak bineh laot”.
Yang dimaksud dengan “bukuem” adalah ikan buntal yang dalam bahasa latinnya dikenal dengan dengan famili tetraodontidae dengan jumlah 121 spesies, umumnya ditemui di kawasan laut tropis.
Sekalipun ikan ini beracun, namun di Jepang, Korea, dan Cina, beberapa spesies ikan buntal ini sangat enak dan mahal, tentu saja di tangan para ahli masak yang mampu memindahkan racunnya yang mematikan.
Di Jepang masakan buntal yang terkenal dengan istilah “fugu” mencapai harga 30.000 yen atau mendekati 4 juta rupiah per porsi.
Apa keterkaitan ikan “bukuem” ini dengan Anies menyangkut dengan dua hal.
Pertama, ketika pejalan di tepi laut bertemu dengan ikan buntal, dan ikan itu disepak, yang terjadi adalah sang ikan menjadi semakin besar.
Semakin ditendang semakin besar, dan kemudian menyerupai bola.
Kedua, ikan yang demikian beracun ini, di tangan ahli masak menjadi ikan yang sangat enak dan mahal.
Filsafat “bukuem” masyarakat pesişir Aceh kemudian menjadi sebuah metafora unik untuk melukiskan betapa Anies semakin disepak dan ditendang oleh para musuhnya membuatnya semakin besar, bukannya tambah kecil, apalagi terkoyak, karena kulit bukum memang sangat tebal, dan bahkan berduri.
Filsafat “bukuem” versi Jepang juga berlaku untuk Anies, artinya di tengah kemuakan publik terhadap politisi yang dipersepsikan sangat kotor, tampilnya Anies dan segudang prestasi dan integritas yang dimilkinya menjadikan karir politisi itu menjadi mulia.
Ia mampu memindahkan racun “bukuem”, dan memasaknya menjadi makanan yang enak.
Apa yang tidak disangka dan diduga oleh para fabrikan pembusuk Anies adalah kegagalan mereka memberi label Anies sebagai bagian dari dari lokus Islam fundamentalis, dan bahkan radikal.
Musuhnya ingin mempersepsikan Anies sebagai individu bagi negara Pancasila.
Yang terjadi justru, Anies tampil sebagai sosok muslim modernis yang taat dan mengerti agama dengan baik, dan sekaligus juga sangat menghargai pemeluk agama lain dengan sepenuh hati.
Keikhlasan Anies menjalankan tugas sebagai bapak masyarakat Jakarta terhadap berbagai pemeluk agama dengan simpatik terbukti dengan apresiasi yang diberikan oleh banyak pemuka berbagai agama.
Romo Ignatius Sandyawan Sumardi, seorang mantan pendeta Jesuit Katholik yang juga aktivis sosial adalah satu di antaranya.
Romo Sandy adalah aktivis sosial yang memperjuangkan HAM dan kaum miskin-papa kota Jakarta. Ia adalah penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award.
Sandyawan juga salah seorang pelanggan penjara masa Orde Baru karena protes dan kritisinya yang paling keras.
Karena keberpihakannya pada komunitas bantaran Ciliwung ia menjadi salah musuh yang dibenci Ahok secara terbuka.
Ia juga sangat dibenci karena pembelaannya terhadap PDIP ketika markas partai itu diserang oleh pemerintah Suharto pada tahun 1996.
Romo Sandy, bahkan bersama teman baiknya Jaya Suprana yang juga Nasrani justeru memuji Anies-sebuah pujian yang sangat langka dari seorang aktivis keras Jesuit.
Mungkinkah Anies di sebalik berbagai kebaikan dan prestasinya justru seorang fundamentalis?
Pengakuan “mahal” Romo Sandy terhadap kinerja Anies dan berbagai bukti lain, sekaligus juga membalikkan tuduhan Anies sebagai individu berbahaya bagi Republik.
Feeling Politik Surya Paloh
Berbagai kejadian yang dialami oleh Anies tidak lewat dari amatan dan perhatian politisi besar nasional, Surya Paloh.
Dalam dua tahun terakhir nampak mulai terbangun komunikasi antara Paloh-Nasdem dan Anies.
Kedekatan Paloh yang merupakan bagian penting dari rezim Jokowi, sama sekali tak janggal dalam penampilan relasi Paloh dengan Anies di mata publik.
Dalam dua kali pemilihan presiden setelah Gus Dur, “feeling politik” Paloh terbukti sangat kuat.
Ia tak pernah salah dalam memilih calon Presiden, dan bahkan seringkali berada pada gerbong terdepan.
Ketika ia masih di Golkar, ia dengan cepat menjadi salah seorang pendukung kuat pemenangan SBY-JK, dan paşangan itu kemudian menang.
Karena ada perbedaan dengan SBY kemudian Paloh tidak lagi berada dalam lingkaran kekuasaan, dan ia kemudian dikalahkan oleh Abu Rizal Bakrie dalam Kongress Golkar di Pekan Baru pada Oktober 2009.
Paloh tidak putus asa, dan ia kemudian mendirikan partai Nasdem 2 tahun kemudian, yakni pada tahun 2011.
Paloh dan Megawati kemudian menjadi orang yang paling awal mendukung Jokowi, dan lagi-lagi feeling politik Paloh terbukti.
Jokowi kemudian menang, bahkan untuk periode kedua juga menang telak.
Ketika Paloh awalnya menyebutkan Nasdem akan mengadakan konvensi untuk penentuan Capres, yang kemudian dibatalkannya dengan memberikan kebebasan kepada pengurus provinsi untuk menyampaikan aspirasi, sepertinya “feeling politik” Paloh juga sudah mulai bekerja lagi.
Ia telah merasakan “aura” Anies mulai mencuat, namun ia ingin menguji “hipotesis feeling”nya itu.
Feeling itu kemudian terbukti dengan hasil Rakernas Nasdem yang menempatkan Anies pada ranking pertama, Ganjar pada posisi kedua, dan Jenderal Andika pada nomor tiga.
Hipotesis Paloh terbukti, dan penjaringan aspirasi publik oleh DPD Nasdem di berbagai provinsi menangkap sinyal- paling kurang sebagian, cenderung kepada Anies.
Tingginya pilihan kepada Anies pada Rakernas Nasdem baru separuh menjawab “feeling politik” Paloh.
Hipotesis Paloh tentang Anies terbukti lagi dua hari yang lalu, ketika PKS memberi signal kuat untuk berkoalisi dengan Nasdem mendukung Anies sebagai capres 2024.
Peluang koalisi itu menjadi lengkap dengan adanya semacam lampu hijau pendahuluan dari Partai Demokrat untuk bergabung dengan Nasdem dan PKS.
Megawati kemudian memperkuat peluang itu dengan mengomentari kemustahllan PDIP berkoalisi dengan PKS dan Partai Demokrat.
Popularitas Anies, embrio koalisi Nasdem, PKS, dan Demokrat akan menjadi cerita panjang berhari-hari dalam agenda publik.
Ketidakjelasan majunya Prabowo, kekaburan Puan berpasangan dengan siapa, ketidaksenangan para tokoh PDIP kepada Ganjar, adalah cerita yang tidak jelas kapan akan berakhir.
Dan bahkan keraguan Jokowi untuk mempromosikan Ganjar dengan mengajak KIB-Golkar, PAN, dan PPP yang sangat lemah dan rapuh itu juga menjadi cerita tersendiri bagi publik.
Teka teki dan ketidakpastian antara capres selain Anies, dan bergulirnya Anies sebagai capres dari embrio awal tiga partai ini akan semakin banyak membuat banyak “cerita menang” dalam berbagai diskusi kesaharian publik mulai dari rumah, warung kopi, sampai gedung bertingkat.
Banyak berkembangnya “cerita menang” dalam pembicaraan publik sejak awal, bahkan sebelum kampanye, pernah dalami oleh SBY dan Jokowi, dan kemudian mereka menang.
Di situ ada “feeling politik” Surya Paloh.
Akan kah “feeling politik” Paloh kali ini benar lagi? Kita lihat saja.