TILIK.ID — Penunjukan penjabat (Pj) Kepala Daerah masih menuai sorotan. Salah satu yang disoroti adalah lemahnya aturan teknis yang sesuai prinsip demokrasi. Demokrasi adalah pemilihan, bukan pengangkatan.
Karena itu, aliansi lembaga swadaya masyarakat (LSM) meminta pemerintah untuk segera membuat aturan teknis atau pelaksana pengangkatan penjabat kepala daerah agar pelaksanaan pengangkatan tersebut dapat sesuai dengan prinsip demokrasi.
Aliansi LSM tersebut terdiri atas Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Unand), dan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
“Kami bersikap meminta pemerintah agar segera membuat aturan pelaksana tentang pengangkatan penjabat kepala daerah yang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan prinsip-prinsip demokrasi dengan mekanisme yang menjamin keterbukaan, akuntabel, dan partisipatif,” kata Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz dalam siaran tertulisnya yang diterima Kamis (26/5/2022).
Kahfi mengatakan Perludem bersama tiga LSM lainnya menilai aturan pelaksana pengangkatan kepala daerah perlu segera dibuat karena hal tersebut merupakan amanat Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.
Dalam putusan itu, ujar dia, MK mengingatkan mengenai pentingnya penunjukan kepala daerah yang demokratis sehingga pemerintah diperintahkan untuk membuat aturan pelaksana yang tidak mengabaikan prinsip demokrasi.
Sebelumnya imbauan serupa diberikan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman. Ia mengatakan pihaknya meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk segera membuat aturan teknis mengenai mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah.
Menurut Armand, ketiadaan aturan teknis justru akan memicu munculnya persoalan, seperti yang saat ini sedang terjadi, yakni adanya penolakan dari beberapa gubernur untuk melantik penjabat bupati usulan Kemendagri.
“Menurut kami (KPPOD), ini (penolakan gubernur melantik penjabat bupati usulan Kemendagri) bersumber dari ketiadaan regulasi teknis sebagaimana yang diamanatkan putusan MK,” kata Armand.
Selanjutnya, Perludem, Kode Inisiatif, Pusako Unand, dan Puskapol UI meminta Kemendagri untuk tidak menunjuk prajurit TNI ataupun Polri yang berstatus aktif untuk menjadi penjabat kepala daerah.
Hal tersebut, menurut mereka, bertentangan dengan hukum, seperti Undang-Undang (UU) TNI, UU Polri, UU Pilkada, dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021. (les)
Komentar