by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
BANGSA ini kembali mengalami situasi anarkis. Anarki dalam pengertian populer: ke-kacau balau-an. Memang belum sampai taraf maksimum, untuk tidak mengatakan ekstrim, sebagaimana dialami Hobbes.
Ia tercekam dalam pusaran perang saudara. Pengalaman yang amat dalam menggores hatinya. Mengantarkan Hobbes sebagai filsuf pengutuk anarki: bencana kemanusiaan paling tragis. Di hadapan anarki, manusia dan kehidupan amatlah rapuh.
Sementara ini, situasi yang digeluti bangsa ini, masih pada tahap anarki simbolik. Ke-kacau balau-an dunia simbol dan tindakan simbolik. Tertayang pada prosesi ground breaking di titik nol IKN. Seliter air dan dua kilo tanah dari setiap provinsi dipaksakan sebagai simbol persatuan. Segera terbukti, prosesi itu lebih sebagai simbolisasi patungan yang dikemas dengan misterium klenik, setelah investor yang diandalkan mundur.
Di Mandalika, simbol-simbol dunia moderen, dikacaukan seorang perempuan pemuja mantra yang dianggap otoritatif menggiring hujan. Hajatan balap motor yang sangat mengandalkan ilmu fisika dan teknik mesin, disisipi upaya primitif transendensi terhadap alam.
Disusul anarki gagasan sejumlah pembesar dengan lontaran ide menunda pemilu. Lalu, perpanjangan masa jabatan presiden. Berujung pada gagasan tiga periode. Tentu saja tak bisa dilepasakan dari ide amandemen konstitusi. Kaum cerdik pandai menilai ide itu teror terhadap konstitusi.
Konstitusi, kata Tito, bukan kitab suci. Dapat diubah. Dan, terbukti sudah empat kali diubah. Hanya Pembukaan UUD 1945 dan kitab suci yang tidak dapat diubah.
Tentu Tito tak salah. Ia hanya anarkis dalam bergagas. Di satu sisi, menisbikan konstitusi sebagai acuan yang pasti dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Menisbikan nilai-nilai yang dibakukan dalam demokrasi. Menempatkan sumber hukum dari segala hukum sekadar perkara teknis. Konstitusi memang barang profan. Tapi, tak berarti dapat diubah-ubah sesuai nafsu berkuasa.
Di sisi lain, menyakralkan pembukaan UUD 1945 sebagai narasi yang sekualitas dengan kitab suci, karenanya tak dapat diubah. Realitasnya, sejumlah pakar menilai, kitab suci tertentu, paling tidak edisi terjemahannya, telah diubah-ubah. Juga, bermunculan ide-ide anarkis: menghapus 300 ayat Al Qur’an, menyingkirkan kata kafir dari diksi Allah..
Logika kenisbian a la Tito dan nafsu berkuasa rejim yang ngawur, yang bisa muncul sewaktu-waktu, seharusnya tak menihilkan kemungkinan mengubah teks pembukaan UUD 1945. Juga, kondisi bangsa ini, pada suatu waktu tertentu, seharusnya dipandang tak tertutup kemungkinan bangsa ini melakukan re-proklamasi yang menuntut penyesuaian – mengubah teks pembukaan UUD 1945.
Ujung situasi anarkis telah menembus pasar. Ditandai kelangkaan barang-barang (migor, solar, … dan kenaikan harga-harga) tak sepenuhnya seturut kaidah dan mekanisme pasar. Tetapi lebih dipicu kebijakan pemerintah. Anarki pasar diciptakan pihak yang secara primordial berkewajiban menghadirkan tertib pasar.
Berlarutnya situasi anarkis dimaksud, tentu membuahkan anarki sosial. Kondisi dewasa ini tentu tak sama dengan akhir 1997. Kala itu, penjarahan terjadi di sejumlah tempat. Tampaknya, saat ini, pawang anarki sosial belum turun lapangan. Terlepas dari perkara itu, bangsa ini memang mengundang kehadiran: anarki sosial.
Komentar