Jokowi Menggoreng Minyak Goreng


Oleh: Isa Ansori
(Kolumnis)

DI Negara Demokrasi pertarungan politik selalu ditandai dengan berhadapannya dua pihak yaitu antara yang merebut dan yang mempertahankan kekuasaan. Kedua belah pihak akan selalu menggunakan jurus membangun empati agar kekuasaan bisa direbut atau dipertahankan. Karena di negara Demokrasi pemenang ditentukan oleh siapa yang mendapatkan suara terbanyak. Tak pandang bagaimana suara didapatkan.

Untuk memastikan kemenangan, biasanya para pihak akan berusaha membangun koalisi dengan berbagai strategi dan cara untuk menang. Karena memang dalam politik selalu berorientasi pada kekuasaan.

Namun sayangnya, tidak sedikit ketika kekuasaan sudah didapatkan, mereka sering lupa tujuan kekuasaan direbut untuk mensejahterakan rakyat.

Situasi seperti ini persis sebagaimana yang terjadi saat ini. Rezim penguasa lupa bahwa kekuasaan yang didapatkan seharusnya digunakan untuk membangun kemakmuran rakyat, namun nyatanya rezim sibuk membangun kemakmuran dan kesejahteraan penguasa dan oligarki yang mengendalikannya.

Dalam sebuah cerita rakyat pernah dikisahkan tentang dunia binatang yang hidup dalam kurun waktu lama.

Cerita ini bisa dianalogikan dalam kehidupan demokrasi saat ini. Cerita Aesop yang turun-temurun ini bercerita tentang “Kuda, Rusa dan Pemburu”.

Pada awalnya terjadi sebuah pertengkaran antara Kuda dengan Rusa. Karena pertengkaran tidak mencapai titik temu, Kuda mendatangi Pemburu. Kuda meminta bantuan Pemburu untuk membalaskan dendam kepada Rusa.

Saat diminta membantu, Pemburu berkata, “Kalau kamu mau mengalahkan Rusa itu mudah. Tapi kamu harus menurut caraku. Kamu harus menempatkan sepotong besi ini di mulutmu, supaya aku bisa membimbingmu dengan kekang. Juga, kamu harus memperbolehkan aku menaruh pelana di punggungmu supaya aku bisa duduk di sana selagi kita mengejar musuh.”

BACA JUGA :  Harmonisasi Dinamika Pusat dan Daerah

Kuda setuju dengan permintaan itu. Kemudian Pemburu memasang kekang serta pelana. Dengan bantuan Pemburu, Kuda bisa mengalahkan Rusa.

Lalu Kuda berkata pada Pemburu,
“Sekarang turunlah dan lepaskan benda-benda ini dari mulut dan punggungku.”

“Jangan buru-buru, kawan. Aku sekarang sudah mengendalikanmu dan lebih suka mempertahankan seperti sekarang, “kata Pemburu.

Analogi cerita di atas sampai saat ini diyakini bisa menggambarkan dinamika politik mutakhir. Bahwa tidak ada yang ideal dan dibela mati-matian dalam memperjuangkan kekuasaan politik.

Politik selamanya adalah perebutan kekuasaan. Pihak yang direbut dan yang merebut tentu saja akan menggunakan kata, perbuatan, retorika yang ideal untuk menarik simpati rakyat.

Bisa jadi niat yang awalnya menolong bisa berubah menjadi penghisap. Ini tidak berarti bahwa dalam politik itu kotor sekotor-kotornya.

Masalahnya, rakyat banyak perlu menghindari klaim-klaim ideal yang diikuti agar tidak kecewa di masa datang.

Kuda sebagaimana cerita di atas tidak membayangkan jika akhirnya ia diperas oleh Pemburu. Ia hanya punya tujuan mengalahkan Rusa saja dengan meminjam “tangan orang lain”.

Sementara itu, Pemburu karena memang mentalnya mencari untung dan menggunakan setiap saat agar tujuannya tercapai akan menggunakan berbagai tipu muslihat.

Pemburu itu selamanya akan menguasai Kuda yang ditolongnya. Pemburu tersebut bisa jadi ingin menangkap Rusa, tetapi memakai tenaga Kuda.
Sementara ia adalah otaknya.

BACA JUGA :  Doa Mereka yang Menyelamatkan Anies

Yang ingin kita tekankan di sini adalah, perseteruan politik akan terus terjadi. Sementara itu yang akan menjadi korban adalah rakyat jelata. Itu dilakukan oleh mereka yang sedang berkuasa atau mereka yang akan merebut kekuasaan.

Kondisi ini seperti yang terjadi saat ini, Jokowi yang konon dipilih dengan jargon berkoalisi dengan rakyat, ternyata ibarat seorang pemburu yang menunggangi kuda. Rakyat diibaratkan kuda yang dipasang besi dan pelana, dan Jokowi bersama oligarki yang mengelilingi mengendalikan mereka. Rakyat ditunggangi untuk meraih kekuasaan dan mendapatkan kendali. Kebijakan-kebijakan Jokowi sangat brutal. Bayangkan dalam beberapa pekan menjelang ramadhan, Jokowi membiarkan minyak goreng langka, ketika tiba-tiba pemerintah mengumumkan harga eceran tertinggi diserahkan pasar, tak begitu lama minyak goreng melimpah di pasaran, lalu apakah rakyat mampu beli? Bahkan yang lebih menyakitkan pernyataan menteri M Lutfi yang mengatakan baik mana minyak goreng dengan harga murah tapi tidak ada dipasaran dibanding mahal tapi banyak beredar di pasaran? Janji untuk menangkap mafia minyak goreng toh hanya isapan jempol belaka.

Jokowi melakukan pembiaran terhadap permainan mafia minyak, masyarakat pun bertanya ada apa dengan Jokowi? Apakah Jokowi menjadi bagian dari mafia yang berada di dalam oligarki yang sekarang berada diistana? Bahkan Jokowi rela menggunakan uang negara untuk mengatasi dengan pemberian bantuan BLT minyak goreng.

BACA JUGA :  Transisi PSBB, Anies Prioritaskan Tempat Ibadah

Jokowi datang seolah sebagai penyelamat, nyatanya apa yang dilakukan hanyalah mencari jalan aman di antara dua kepentingan, kepentingan supaya tidak dihujat rakyat dan kepentingan supaya tidak ditinggal oligarki.

Bahkan kebijakan jahat lain dilakukan terhadap rakyat yang membantunya meraih kekuasaan, BBM jenis pertamax dinaikkan yang berakibat naiknya harga bahan bahan yang lain. Rakyat pun semakin menjerit dan kelimpungan. Apakah Jokowi mendengar mereka? Justru jawaban Jokowi bersama para penggarong jabatan menggulirkan isu tiga periode. Sebuah perilaku yang jauh dari kata bermoral.

2024 harus diniatkan betul oleh rakyat bahwa berpolitik itu adalah mengamankan kepentingan, kepentingan agar rakyat sejahtera harus diperjuangkan. Dalam rangka menitipkan kepentingan itu, rakyat harus jeli kepada siapa yang akan dipilih.

Rakyat harus bisa melihat seorang calon itu betul-betul merakyat atau pura-pura merakyat. Jangan sampai rakyat dibodohi dua kali, dulu Jokowi juga kelihatan merakyat, tapi begitu terpilih ternyata terlihat sekali kebijakannya bengis terhadap rakyat.

Hari ini kita seolah melihat Hitler dan Mussolini bangkit kembali. Sehingga bisa jadi di dalam kuburnya Machiavelli juga membenarkan apa yang pernah dikatakannya.

Jokowi kebijakannya ibarat menggoreng minyak goreng. Membiarkan mafia minyak berkeliaran dan mendapatkan keuntungan berlimpah dan rakyat seolah diselamatkan dengan bantuan BLT minyak goreng. Akhirnya negara dan rakyat yang kalah, Jokowi dan oligarki tetap pemenangnya.

Surabaya, 6 April 2022

Komentar