Bukan Leviathan

by Ludiro Prajoko
(Pengamat Poliik dan Pemerhati Bangsa)

LEVIATHAN – Monster yang menyembul dari kedalaman laut: negara dalam citra Hobbes, sosok perengkuh kekuasaan mutlak. Hobbes memang pendamba monarki, mengajarkan absolutisme negara, dimana Sang Raja (harus) mutlak kekuasaannya terhadap rakyat, agar kehendaknya dapat efektif dipaksakan. Negara adalah aku, sabda Louis XVI.

Raja dalam citra Hobbes, pasti bukan seorang lelaki kerempeng lagi culun.

Bermula dari pandangan dasar Hobbes tentang manusia yang dianggap kodrati: egoistis dan antisosial. Egoisme muncul dari kebutuhan memuaskan diri sendiri. Manusia memang makhluk pemburu kenikmatan, seraya berkelit menghindari setiap yang menyakitkan.

Sialnya, dunia manusia ditandai kelangkaan sumberdaya – sarana memuaskan diri serta keberlimpahan rintangan – pemicu rasa sakit.

Maka, manusia harus berebut. Dari sanalah sikap antisosial muncul. Benturan dalam perebutan itu menggiring manusia ke situasi: perang semua melawan semua. Dan, manusia bermetamorfosa menjadi serigala bagi sesamanya.

Leviathan dihadirkan Hobbes guna mengatasi kengerian itu.

Tak aneh bila Hobbes mencaci demokrasi: ringkih, tak banyak guna! Hanya cocok untuk negara-negara kecil. Itupun tempo dulu, zaman Yunani kuno.

BACA JUGA :  Benang Basah HAM

Filsafat politik Hobbes, boleh jadi, pemikiran yang bernasib paling ironis dewasa ini. Sebagai salah satu di antara penggandrung demokrasi, negara ini memandang pemikiran Hobbes layaknya sampah yang harus disingkirkan. Namun, cara yang ditempuh unik: memraktikkan absolutisme. Selayaknya Hobbes terkekeh melihat pemikirannya menemukan kemuliaannya di negeri yang menyatakan dirinya demokratis.

Tapi, negara demokrasi bukan Leviathan yang dibayangkan Hobbes. Lalu, apakah sosok yang tepat menggambarkan negara ini? Perlu dipikirkan. Sementara hanya nampak menyerupai Komite Eksekutif yang melayani kepentingan sejenis monster.

Kuat dan berkuasa penuh atas rakyat dengan tetap memerhatikan syarat dan ketentuan formal demokrasi: partai politik yang bebas, perwakilan – legislatif, ketundukan militer (serimbit – beserta istri) atas supremasi sipil, tak sebatas soal hubungan sipil-militer, juga soal kepemilikan hand phone dan ustadz yang ceramahnya harus dihindari, sesuai Inpres.

Komite tak bertugas mengatasi situasi perang semua melawan semua yang dipicu terbatasnya sumberdaya. Tapi, sekadar memfasilitasi kehendak para raksasa menguasai semua sumberdaya. Komite memang sibuk mengelola perang sekelompok raksasa melawan rakyat.

BACA JUGA :  Wajah KAHMI Pasca Munas XI

Sejauh ini, Komite konsisten, penuh dedikasi. Kasus minyak goreng (migor) menegaskan hal itu. Menteri Perdagangan yang bertanggung jawab atas ketersediaan dan keterjangkauan harga migor di pasar, untuk rakyat, menjelaskan: adanya dugaan mafia migor yang bermain sehingga migor langka dan mahal.

Mendag mengakui pihaknya tak bisa mengontrol para mafia dimaksud. Tampak ragu mengutip postulat kodrat egoistis Hobbes, Mendag mengemukakan soal sifat manusia yang rakus dan jahat yang seharusnya dibereskan negara. Akhirnya, HET dicabut, kontan migor melimpah dengan harga melenting. Lagi-lagi, negara keok – ditundukkan kerakusan dan kejahatan.

Kartu Sembako Murah tentu tak cukup berguna. Selain itu, tak ada catatan yang menunjukkan Leviathan gemar bermain kartu. Negara ini memang bukan Leviathan. Boleh jadi: Quasisathan.

Komentar