Secawan Tanah Air Kampung Akuarium


by bang sem

DI ANTARA begitu banyak berita dan cerita pasal ‘tempayan Paser,’ yang berisi campuran tanah dan air dari seluruh Indonesia di Samboja – Sepaku, yang akan menjadi lokasi ibukota negara, hanya satu berita yang menyita perhatian saya.

Yakni: tanah yang digali dan air yang diciduk ibu-ibu yang pernah menjadi korban kepongahan dari lingkungan pemukiman mereka, Kampung Akuarium.
Tanah dan air inilah yang dibawa Anies Rasyid Baswedan – Gubernur Kota Raya Jakarta ke sana.

Pesan filosofisnya jelas, harapan, kelak di ibukota negara yang baru, itu seluruh proses pembangunan mempedulikan nasib dan tidak memarginalkan rakyat miskin.

Apa yang dilakukan ibu-ibu Kampung Akuarium, itu tak hanya merupakan pesan rasionalitas warga Jakarta di tengah pusaran arus irrasionalitas.
Jauh dari itu, merupakan bagian integral dari pesan kebangsaan rakyat dan pemimpinnya tentang hakekat pembangunan sebagai gerakan Kebudayaan (dengan huruf K – capital).

Di dalam pesan kebangsaan itu terdapat sejumlah komitmen pada nilai kebangsaan: kemerdekaan sejati, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan demokrasi (yang sungguh demos dan kratos) – yang memadukan eksistensi rakyat sebagai satu kesatuan politik dalam suatu negara demokrasi dengan manifestasi kekuatan ilahiah.

Maknanya adalah Anies membawa pesan peradaban yang sedang bergerak menggeliat keluar dari pusaran arus peradaban yang melenceng akibat beliung kegamangan, ketidakjelasan, keribetan, dan kemenduaan.

Tanah dan air yang digali ibu-ibu di Kampung Akuarium di utara Jakarta adalah saksi bisu sejarah, bagaimana pemangku amanah ‘kuasa sementara’ dari rakyat, secara pongah digunakan untuk menyingkirkan dan memarjinalkan rakyat.

Tanah dan air dari Kampung Akuarium itu adalah penanda, betapa menjelang memasuki peradaban baru dari era peradaban informasi ke era peradaban konseptual berbasis digital, mesti disemai lagi kesadaran yang dirawat secara antusias.

BACA JUGA :  People Power, Menegakkan Spirit Bernegara

Kesadaran untuk merawat simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta. Termasuk cinta tanah air yang diwujudkan dengan moral obligasi menggunakan kekuasaan untuk membahagiakan rakyat. Membahagiakan rakyat laksana anak membahagiakan ibu, bukan justru bertindak derhaka yang akan mengundang petaka.

Secawan tanah air Kampung Akuarium yang dibawa Anies ke Semboja – Sepaku, Paser, Kalimantan Timur, berbeda makna dengan tanah dan air dari bagian wilayah Indonesia mana pun juga.

Harapan besarnya adalah isyarat dini, agar ibu kota negara di tanah Paser, itu kelak tidak dibangun sebagaimana Naypyidaw (Myanmar) dibangun atas gagasan dan aksi Jendral Than Shwe yang anti demokrasi atas isyarat para bomoh.

Naypyidaw lantas menjadi ibu kota modern ironis di atas kemiskinan rakyat, kemegahan dalam senyap, untuk menyelimuti kegusaran penguasa. Namun, Yangon – ibu kota lama tak pernah berkurang jadi tumpuan nasib.

Secawan tanah dan air dari Kampung Akuarium, itu juga sejumput isyarat, agar ibu kota negara di Paser, itu kelak tak bernasib sama dengan Oyala di Djibloho di kawasan hutan hujan, ibu kota baru Equatorial Guinea, meninggalkan Malabo di kawasan pesisir atas inisiatif dan aksi Presiden Teodoro Obiang Nguema.
Obiang membangun ibu kota baru lantaran menutup was was berkepanjangan atas kegamangan mengatasi kemiskinan rakyatnya.

Than Swe dan Obiang menggunakan intuitive reason, termasuk petimbangan irrasional membangun dan memindahkan ibu kota, ketika rakyat sedang memerlukan way of solution atas persoalan kemiskinan di tengah arus perubahan mondial.

Kedua pemimpin itu mengabaikan prioritas utama apa yang harus dilakukan pemerintahannya, yakni: membalik kemiskinan dengan pembangunan ekonomi berbasis rakyat, menguatkan pendidikan berbasis budaya, menaklukan penyakit (termasuk wabah), dan melayari transhumanisma.

BACA JUGA :  Politik Identitas, Mengapa Dipersoalkan?

Saya tidak tahu persis, adakah pembangunan ibu kota baru sebagaimana dilakukan Than Swe dan Obiang terkoneksi dengan prinsip-prinsip dasar sustainable development goals (SDGs) sebagai bagian dari visioneering negara di tengah perubahan radikal semesta.

Secara kasad mata, apa yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat ketika memindahkan ibukota dari New York ke Washington DC.

Boleh jadi mirip dengan apa yang dilakukan Presiden Ayub Khan ketika memindahkan ibu kota Pakistan dari Karachi ke Islamabad, hanya dia plus para petingginya dan Tuhan yang tahu.

Atau mirip-mirip dengan keputusan yang ditempuh pemimpin negara Brazil, ketika memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.

Bisa juga mengikuti jejak Mustafa Kemal Attaturk yang memindahkan ibu kota dari Istanbul ke Ankara, setelah dikalahkan oleh kekuatan Etente pada Perang Dunia I.

Pula, demikian halnya dengan berbagai pemerintah negara lain yang memindahkan ibu kota, dengan menyelimuti pertimbangan utama dalam ‘selimut alasan’ : ibu kota lama terlampau padat dan crowded, meski menyimpan sejarah panjang kelahiran negara itu.

Sejumlah negara memilih jalan solusi membangun pusat pemerintahan (ibu kota administratif) tanpa mengubah ibu kota negara (constitutional capital) seperti yang dilakukan Mahathir Mohammad ketika mengubah perkebunan ‘Perang Besar’ yang tak produktif, menjadi Putrajaya, tanpa memindahkan ibu kota Kuala Lumpur.
Demikian pula halnya dengan pemerintah Bolivia yang membangun ibu kota administratif La Paz, tanpa mengubah Sucre sebagai ibu kota konstitusional.

Pemerintah Australia, tak memilih Sidney atau Melbourne sebagai ibu kota negara dan membangun Canbera sebagai wilayah ibu kota federal, sehingga Sidney dan Melbourne terus dikembangkan dan berkembang sebagai kota raya yang menjadi magnet yang memikat investasi dan wisata dari seluruh dunia.

BACA JUGA :  Firli dan Revolusi

Membangun dan memindahkan ibu kota negara memang bukan sesuatu yang istimewa, terutama ketika persoalan asasi negara dan bangsa, seperti kemiskinan – pendidikan – kesehatan – ekonomi sudah teratasi.

Selain negara-negara yang sudah disebut, kita mencatat beberapa negara juga memindahkan ibukota negaranya, seperti: Jerman dari Bonn ke Berlin; Botswana dari Mafeking ke Gaberone; Libya dari Benghazi ke Tripoli; Tanzania dari Dar es Salaam ke Dodoma; Nigeria dari Lagos ke Abuja; Kazakhtan dari Almaty ke Astana; India dari Calcutta ke New Delhi, dan lain-lain.

Indonesia sebagai negara kepulauan, ketika sudah sungguh mampu mewujudkan amanah utama dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, khasnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan unggul dalam peradaban berkepribadian budaya, boleh memindahkan ibu kota negara sekali dalam sepuluh tahun.

Dalam konteks ini, secawan tanah air dari Kampung Akuarium yang dibawa Anies ke Paser (Senin, 14/3/22) mempunyai pesan maknawi yang asasi: laksanakan pembangunan sebagai gerakan kebudayaan, membangun peradaban manusia dengan kemerdekaan sejati.
Peradaban bangsa yang tegak lurus dan kokoh di atas landasan kokoh kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan kemakmuran yang religius sebagaimana tersirat dan tersurat dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945.

Integrasi dan integritas kebangsaan hanya bisa dibangun dengan komitmen kebangsaan di atas kebudayaan asasi, ke-Indonesia-an yang kokoh. Bukan kebhinnekaan yang mengepak sayap-sayapnya dan terbang meninggalkan prinsip dasar NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) : kesetaraan yang dirawat dengan musyawarah dan mufakat ! |

(Artikel ini merupakan pendapat pribadi)

Komentar