Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SELAYAKNYA rakyat girang. Tak terpikirkan, juga tak diduga, di tengah kelangkaan migor dan kenaikan harga kebutuhan dapur, rakyat dianugerahi Keppres No. 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Bila judul itu dirasa terlalu panjang, akronim HarGakKeduNeg dapat dipertimbangkan. Latar historisnya: peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 di Jogjakarta.
Sejumlah pihak, riuh menyambut, lantaran nama Letkol Soeharto, Komandan Brigade X – Wehrkreise , yang selama ini dipandang sebagai salah satu tokoh/pelaku kunci SU tak dicantumkan dalam Keppres. Tapi, muncul nama Soekarno dan M. Hatta, dua tokoh utama republik yang tak terkait langsung dengan peristiwa SU.
Sengkarut pencantuman nama-nama tokoh pelaku peristiwa dalam Keppres itu, pasti hanya masalah ‘kecil’ di permukaan, sebagai akibat dari masalah besar historiografi Indonesia. Sejarah memang perkara penting. Tampaknya, itulah hal pertama yang menyeruak dari Keppres No. 2.
Eksistensi bangsa, tertancap dalam sejarah: rangkaian peristiwa yang mewadahi pengalaman kolektif, dari sana terbangun kesadaran senasib sepenanggungan, kata Renan. Sejarah menjadi rujukan cita-cita bersama, menuntun tindak aktif kolektif. Menjadi basis kedaulatan, dan klaim kekuasaan.
Sejarah perkara eksistensial bagi setiap bangsa. Pembatinan nilai-nilai sejarah menjadi keharusan agar generasi bangsa tak ahistoris, terkelupas dari kesejatian bangsanya. Kegagalan pembatinan menjadikan sebuah bangsa sekadar gerombolan mekanistik yang dipandu nafsu dan mesin.
Dapat dimengerti bila historiografi (dalam pengertian paling sederhana: penulisan sejarah) menjadi perkara pelik. Karena menyangkut soal filsafat sejarah, tafsir sosial atas sebab-akibat dari peristiwa sejarah, juga metodologi kajian dan penulisan guna memastikan keilmiahan sebuah karya tulis sejarah.
Dalam keadaan normal, para ahli sejarah dapat menyelesaikan urusan itu secara benar dan baik. Namun, titik pelik historiografi bersemayam dalam politik historiografi: sejarah ditulis mereka yang berkuasa.
Hal itu, pada saatnya, menyembulkan ‘ganjalan sejarah’. Tampaknya, Keppres No.2 mengandung maksud menuntaskan problem itu dengan memunculkan nama Soekarno dan tak mencantumkan nama Soeharto.
Setiap peristiwa pasti digerakkan (para) pelaku. Lalu, sebagaian dinobatkan sebagai tokoh, hero. Sejarah memang dilengkapi dengan hagiografi yang menghasilkan kitab para hero. Dan, pengisahan sang hero selalu rentan godaan glorifikasi-pengangungan yang cenderung sepihak. Itulah sumber ‘ganjalan sejarah’.
‘Ganjalan sejarah’ memang urusan politik dalam (ruang) historiografi. Zeng Goufan, Raja Muda penghujung akhir Dinasti Qing, menunjukkan cara paling radikal menyingkirkan ‘ganjalan sejarah’.
Zeng mengerahkan pasukan, mengepung Nanjing Ibu Kota Kekaisaran Taiping. Hong Xiuquan, Sang Kaisar Taiping, telah meninggal dunia sebelum Taiping takluk. Ketika Taiping berhasil diringkus dan pasukan Zeng menguasai Nanjing, Zeng menyerukan agar makam Hong dibongkar. Tulang belulang Hong dikumpulkan, ditumbuk agar halus untuk campuran bubuk mesiu. Lalu, sebuah meriam menembakkannya ke dinding-dinding istana Taiping. Zeng seolah memastikan tak bakal ada Hong dalam catatan sejarah. ‘Ganjalan sejarah’ memang endapan dendam politik.
Selain itu, Keppres No. 2 juga sebentuk respon efektif atas problem aktual. Negara ini memang sedang tidak fit kedaulatannya. Nampak dari ketergantuangan import bahan pangan: beras, kedelai, bawang, garam, apa saja. Kapal asing (pencuri ikan) mudah menerobos batas-batas negara. Muncul klaim pihak asing atas wilayah laut Natuna. Hutang yang menumpuk jelas membuat kedaulatan negara rikuh. Apalagi, bila saatnya tiba, tak sanggup membayar. WNA lebih utama ketimbang anak bangsa sendiri, bahkan untuk urusan ngelas rel kereta, keganasan perkebunan sawit, penambangan batubara, dan penambangan pada umumnya, menunjukkan gejala kedaulatan negara diabdikan kepada oligarkhi, ……
Keppres No. 2 hadir membawa kedaulatan guna menyelesaikan semua soal di atas. Bangsa ini hanya perlu memeringatinya saban tanggal 1 Maret. Tentu baik bila HarGakKeduNeg ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Komentar