Oleh: Isa Ansori
(Kolumnis)
RAMAI-ramai penentangan pemunduran Pemilu 2024 yang berkonsekwensi perpanjangan massa jabatan presiden membuat Istana tak berdaya.
Apalagi hasil investigasi Tempo dan CNN mengatakan ada dugaan keterlibatan orang-orang dekat presiden setingkat
Menko yang mengumpulkan beberapa petinggi partai untuk dibuat skenario pemunduran pemilu.
Dimulai dari menteri Bahlil yang melemparkan isu aspirasi pengusaha seolah pemilu akan mengganggu pemulihan ekonomi yang baru dimulai setelah mengalami massa pandemi covid 19.
Setelah itu Muhaimin Iskandar Ketua Umum PKB, lalu Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN dan disusul Airlangga Hartarto, seolah mereka paduan suara yang mengikuti arahan dirigen, menyuarakan hal yang sama, karena diperlukan jaminan keberlangsungan pemulihan ekonomi dan untuk mengawal program nasional, dikhawatirkan dengan adanya Pemilu 2024 akan mengancam dunia usaha dan investasi maka ada baiknya pemilu diundurkan menjadi tahun 2026.
Para ketua partai itupun mengatasnamakan suara konstituen, padahal berdasar hasil survey yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) terjadi hal yang sebaliknya.
Menurut Burhanuddin dalam surveynya aspirasi kader PKB yang menolak pemilu diundurkan sebanyak 70 persen, Sedang PAN yang menolak penundaan sebanyak 81.9 persen serta Golkar sebanyak 57 persen. Burhanuddin pun mempertanyakan basis data yang dipakai oleh ketua ketiga partai tersebut yang mengatakan aspirasi penundaan pemilu berasal dari konstituennya.
Hasil survey IPI dan investigasi CNN maupun Tempo seolah menelanjangi disharmoni didalam Istana. Semakin menguatkan dugaan ada kebusukan di Sekitar istana dan orang-orang di dalam Istana.
Lalu di mana Presiden berada dalam situasi seperti ini? Diamnya presiden Jokowi terkesan adanya pembiaran dan “menikmati” perdebatan isu yang terjadi. Memang Presiden berkali-kali mengatakan taat kosntitusi, namun dalam situasi seperti ini diamnya presiden bisa dimaknai, Istana sedang menunggu situasi menguntungkan dari perdebatan ini.
Barulah setelah terjadi penolakan yang dilakukan oleh partai koalisinya, PDIP, Nasdem dan Gerindra, Presiden angkat bicara, meski apa yang disampaikan oleh presiden adalah hal normatif dalam sebuah negara demokrasi.
Presiden mengatakan bahwa dia tidak bisa melarang orang untuk berpendapat pemunduran pemilu dan perpanjangan massa jabatan, ini negara demokrasi. Apa yang disampaikan oleh presiden seperti koor bersama antara presiden dan para pembantu nya dan juru bicaranya.
Nampaknya presiden lupa bahwa dia ditugaskan untuk menjalankan pemerintahan dengan jalan taat terhadap konstitusi. Bukan malah melemahkan konstitusi dengan berbagai pernyataan elite politik di sekitarnya. Konstitusi mengatakan massa jabatan presiden 2 kali dan pemilu diadakan setiap lima tahun sekali sebagaimana pasal 22 E UUD 1945 hasil amandemen.
Sudahlah jangan jerumuskan presiden pada hal-hal yang melanggar konstitusi, mari kita jaga agar presiden selamat dalam menjalankan tugasnya dengan mentaati konstitusi.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Pemilu seperti diatur dalam pasal 22E UUD 1945 dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Di sini juga terkait dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.
Tidak ada ruang lagi bagi elitr politik untuk mengaduk-aduk konstitusi apalagi melanggar konstitusi, sudahlah jangan bermain-main dengan mengatasnamakan aspirasi rakyat atau mencari legitimasi lagi dengan membuat survey-survey tandingan dan bayaran. Rakyat sudah muak dan lelah dengan kebohongan dan kebusukan yang terjadi. Pemunduran Pemilu hanya menguntungkan elite dan pejabat, rakyat dapat apa? Selama ini rakyat makan ya cari sendiri, negara hampir tak pernah hadir.
Ribuan korban selama pandemi adalah bukti, di satu sisi berdasarkan laporan kekayaan pejabat, justru selama massa pandemi kekayaan pejabat negara semakin bertambah, di satu sisi rakyat merana.
Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan juga semakin menyengsarakan rakyat, kebijakan BPJS Ketenagakerjaan adalah salah satu contoh, belum lagi kebijakan-kebijakan lain yang menyusahkan dan menjadi ladang bisnis orang-orang tertentu.
Ah sudahlah jangan lagi ada retorika atas nama rakyat yang menguntungkan diri sendiri dan kelompok, kalau sudah begini bukanlah memudurkan pemilu yang diharapkan tapi mempercepat pemilu yang harus disegerakan.
Surabaya, 6 Maret 2022
Komentar