Oleh: Isa Ansori
(Kolumnis)
NUANSA politik menjelang pilpres 2024 sepertinya merupakan pengulangan sejarah pergulatan politik Indonesia pasca kemerdekaan antara tahun 1945 – 1965.
Di tahun-tahun antara itu, berkali-kali konstitusi mengalami rongrongan dari anasir-anasir politik yang hasrat kekuasaannya terlalu tinggi, utamanya yang dilakukan oleh PKI.
Sejarah pergulatan politik Indonesia mencatat beberapa kali peristiwa rongrongan yang dilakukan PKI untuk mengubah haluan negara yang sudah disepakati menjadi konsensus nasional UUD 1945 dan Pancasila.
PKI melakukan kudeta konstitusi dengan jalan melakukan teror dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap bisa mengganggu kepentingan mereka. PKI melakukan perang terbuka dengan kelompok Islam dan TNI.
Peristiwa 5 September 1948 menjadi saksi rongrongan PKI terhadap kemerdekaan Indonesia dengan seruan Muso agar Indonesia berkiblat ke Uni Sovyet. Padahal jelas-jelas di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menjalankan demokrasi dengan Pancasila sebagai dasar bernegaranya.
Muso berupaya membawa Indonesia ke dalam politik berhaluan komunis dengan membelokkan intisari perilaku bangsa yang ada didalam Pancasila. Tentu saja ini mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok Islam dan Nasionalis.
Lalu apakah PKI mau mengerti? Tidak, dengan hasrat kekuasaan yang bar-bar, PKI pun memulai upaya upaya teror kepada mereka yang dianggap mengganggu hasratnya.
10 September 1948, PKI melakukan pembunuhan terhadap Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi. Mereka melakukan pencegahan kepada rombongan gubernur di Kedung Galar, Ngawi dan jenazahnya disiksa dan dibuang di hutan.
Tidak berhenti di situ, teror PKI untuk merebut kekuasaan dengan jalan biadab terus dilakukan, 13 September 1948, PKI melakukan bentrok dengan TNI dan kemudian juga, tanggal 17 September 1948, melakukan serangkaian teror massal di Jawa Timur dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap kyai-kyai di Takeran, Magetan dan TNI.
Melihat gelagat PKI yang seperti itu, Soekarno pun merasa geram meski pada akhirnya Soekarno juga bisa dimanfaatkan, 19 September 1948, menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk memilih Musso atau Soekarno-Hatta. Ultimatum Soekarno ini akhirnya melahirkan perang antara TNI dengan PKI di Madiun. Divisi 1 Siliwangi, pimpinan Kolonel Soengkono menggempur PKI dari Timur dan Divisi 2 pimpinan Kolonel Gatot Soebroto menggempur PKI dari barat. PKI bisa ditaklukkan, namun sayangnya Soekarno masih memberi maaf dengan tidak membubarkan PKI.
Begitulah watak PKI selalu berupaya merongrong konstitusi yang sudah disepakati. Nampaknya energi psikis PKI tak pernah berhenti merasuki kader-kadernya yang menyebar keperbagai elemen bangsa. Mereka selalu bikin gaduh dan berusaha membelokkan konstitusi.
Islam dan Nasionalis yang selalu berusaha mempertahankan konstitusi, nampaknya menjadi musuh utama gerombolan PKI yang bermetamorfosa ke berbagai kelompok masyarakat, baik itu parpol maupun organisasi sosial maupun masyarakat.
Mereka menjual gagasan seolah baik untuk bangsa, tapi sejatinya itu adalah langkah awal mereka untuk merongrong konstitusi. Mereka berlindung atas nama konstitusi untuk merongrong konstitusi.
Munculnya gagasan memundurkan Pemilu 2024 menjadi tahun 2026, bisa ditebak sebagai upaya pembelokkan konstitusi. Mengapa? Karena keputusan penyelenggaraan sudah dilakukan oleh KPU, DPR dan Pemerintah dan sudah menjadi produk hukum. Sehingga ini menjadi kewajiban konstitusi untuk menjalankan. Tidak boleh ada alasan apapun.
Upaya memundurkan pemilu tak ubahnya menjadi peristiwa pembelokkan konstitusi yang berulang. Pemilik gagasan tentu hanya berpikir apa yang menjadi keuntungannya secara politik maupun personal, tak ada di benak mereka berpikir tentang Indonesia yang baik kedepan. Mereka hanya seolah-olah mencintai Indonesia.
Usulan tiga ketua umum partai politik, PAN, PKB dan Golkar yang sebelumnya dilakukan oleh Menteri Bahlil tak ubahnya sebagai upaya pembelokkan konstitusi kalau boleh dibilang sebagai upaya kudeta terhadap konstitusi. Hal ini tak boleh dibiarkan.
Kalau masih ada harapan terhadap DPR dan Parpol, maka DPR dan Parpol tak boleh membiarkan upaya kudeta terhadap konstitusi ini, karena DPR dan Parpol menjadi kepanjangan tangan rakyat untuk menjaga konstitusi.
Rakyat dan kelompok masyarakat yang masih mencintai NKRI harga mati tak boleh diam dan harus bergerak. Eskalasi rakyat dan kelompok masyarakat untuk melawan upaya kudeta ini sudah mulai bermunculan. Berhimpunnya eksponen aktivis 1998 dan mahasiswa untuk melawan upaya-upaya kudeta konstitusi adalah harapan baru bagi bangsa Indonesia.
Kemunculan gerakan eksponen aktivis 1998 dan mahasiswa tentu akan menjadi energi psikis value bagi kelompok intelektual, masyarakat, ormas, orsos, LSM, media dan kelompok lain
yang masih peduli terhadap NKRI.
NKRI harga mati bukan hanya slogan, NKRI harga mati menuntut upaya pembuktian apa yang akan dilakukan ketika pembelokkan konstitusi sudah didepan mata.
Saya Pancasila.. Kini menuntut pembuktian, tak cukup hanya diucapkan, butuh dilaksankan, kini kudeta itu sudah di depan mata.. Bersatulah rakyat untuk melawan kudeta konstitusi ini.
Jangan biarkan Jokowi dijerumuskan kearah kudeta konstitusi, selamatkankan Jokowi dari hasutan kelompok kelompok ini.
Bersatulah kawan-kawan Islam dan Nasionalis serta sahabat sahabat lain pecinta NKRI harga mati, rongrongan dan pembelokkan konstitusi sudah sistematis dilaksanakan. Selamatkan Indonesia. Jangan berberai, kita berada pada tujuan yang sama menyelamatkan Indonesia.
Semoga Pemilu 2024 kita mendapatkan pemimpin yang mempersatukan, santun, cerdas, jujur, amanah dan adil serta berpihak pada kepentingan rakyat.
Surabaya, 27 Februari 2022
Komentar