JIS – KCIC

Oleh Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

JAKARTA International Stadium (JIS) dan Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), dua mega proyek yang dibangun belakangan ini, oleh Pemprov DKI dan Pemerintah Indonesia. Potensial ikonik, menerbitkan decak kekaguman. Meskipun keduamya sesama objek material, tampaknya tidak bisa dibandingkan secara apple to apple.
Mereka yang sinis (kepada Anies), mungkin tergoda memilih formula kedondong to apple.

Tampaknya, kedua objek itu memberikan semburat gambaran bagaimana sebuah bangsa-berkembang, berjaya, atau terpuruk, lalu hancur. Kedua objek itu kiranya cukup memadai sebagai bahan perenungan atau peramalan kebangkitan atau kemerosotan suatu bangsa.

JIS meyakinkan ditampilkan sebagai karya prestatif anak bangsa. Tentu tak sepenuhnya, segala hal terkait JIS, hanya dari dan oleh anak bangsa. Perkara yang nyaris mustahil di zaman internasionalisasi produksi dan globalisasi teknologi. Tapi jelas, mulai dari perencanaan sampai tahap konstruksi dikerjakan dan mengandalkan kemampuan anak bangsa.

Dan, terbukti anak bangsa bisa mengerjakan dengan baik. Bahkan menampilkan atraksi cukup mencengangkan, ketika atap stadion (panjang 270 meter, berat 3.900 ton) berhasil diangkat sekaligus. Sesuatu yang sejauh itu, belum pernah dilakukan. Melalui JIS, anak bangsa memberikan sumbangan metode baru dalam dunia teknik sipil-konstruksi.

BACA JUGA :  Prabowo Itu Hebat, Pakar Tanaman, Alutsista, Kayya-Rayya

Membangun gedung memang perkara teknis-praktis. Tapi, pembangunan jelas harus disandarkan pada kesadaran ideologis para pihak yang otorotatif. Dimensi dan kesadaran ideologis dalam JIS nampak jelas: kemandirian, kepekaan terhadap martabat diri, kemampuan, …… JIS hadir sebagai curahan kebanggaan, bukan hanya warga Jakarta, tetapi bangsa Indonesia.

Patut disyukuri, dalam proses pembangunannya, tidak muncul masalah sosial-konflik yang umum mengiringi mega proyek, terkait lahan, hak warga, anggaran, ….. Memang rada aneh: tak terdengar kabar kongkalikong atau korupsi.

Adapun KCIC, mega proyek yang riuh sejak dalam pikiran. Sejumlah pihak mengritik keras. Memang, hampir semua aspek KCIC memunculkan masalah. Perencanaannya dinilai ceroboh. Juga penunjukan kontraktornya. Dan, terbukti, pelaksanaannya berubah-ubah. Statiun terakhir harus digeser ke Padalarang. Juga muncul protes warga yang terdampak peledakan bukit untuk menembus terowongan.

Anggaran membengkak, sehingga harus menyedot APBN yang sebelumnya diharamkan. Analisis ekonomisnya dibantah sejumlah ekonom. Dinilai tidak efisien, juga tidak mendesak. Dan, diramalkan bakal mangkrak.

Keunikannya, berbagai hal terkait pembangunan KCIC, dari dan oleh bangsa China: modal, rel, loco dan gerbong, sampai tukang las. Pandangan kritis menduga, KCIC sebuah jebakan melalui skema utang dan teknologi. Dan, setiap jebakan memang dirancang untuk memerosokkan. Amat terasa, KCIC disandarkan pada: pokoknya punya sarana transportasi canggih – kereta cepat. Tak ada ruang penumbuhan kemandirian, kemampuan, …. anak bangsa.

BACA JUGA :  Menjadi Ayah

Tentu saja KCIC pantas dibanggakan. Tapi, tak otentik sebagai kebanggaan bangsa. Semu, kebanggaan dilematis karena sesungguhnya sekedar merayakan prestasi bangsa lain. Juga mengerikan, lantaran beban hutang yang harus ditanggung.

Pada masa lalu, ketika (terutama) Jakarta sudah membutuhkan jalan Tol, Pemerintah Orba yang amat dikecam, membangun ruas-ruas jalan Tol. Menuai kritik, khususnya terkait keterlibatan anak presiden.

Tapi, ada hal yang kemudian disadari dan diacungi jempol: konstruksi pondasi-tiang pancang model cakar ayam – sosro bahu, temuan-kreasi anak bangsa dan menjadi kontribusi penting dalam dunia teknik sipil.

Pembangunan memang bukan asal membangun, apalagi asal jadi. Tapi sebuah totalitas. Wajib menyertakan sejenis humanisme didalamnya: mendengarkan, pelibatan efektif, mengutamakan kepentingan, …. rakyat. Seperti didengungkan Anies: Maju kotanya, bahagia warganya. Juga, harus memberikan ruang bagi tumbuh kembang kemamampuan, kemandirian anak bangsa, meluaskan area tantangan dan kesempatan bagi anak bangsa untuk berprestasi, meneguhkan kemandirian dan martabat bangsa.

Dengan menyertakan modal ruhaniah itulah pembangunan mengantarkan sebuah bangsa tumbuh, berkembang, tegak berdiri. Tanpa itu, sekedar kegiatan-proyek membangun. Memang, dengan cara itu, sebuah bangsa bisa berubah gemerlap, moderen. Tapi sekejab. Selanjutnya terpuruk.

BACA JUGA :  Kalah Debat, Kenapa Dibawa Keluar Arena?

Bangsa ini, dalam perjalanannya menuju masa depan yang dekat, memang sedang dihadapkan pada dua pilihan: berdiri tegak atau terpuruk!

Barang siapa menghendaki Indonesia maju dan berdiri tegak, hendaknya berpegang teguh pada model JIS.

Komentar