Gagal Dipukul, Anies Akhirnya Dirangkul

Oleh Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

ADA dua kelompok yang konsisten menyerang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pertama, kelompok emosional. Mereka menuduh Anies menggunakan politik identitas. Isu ini terus mengemuka.

Lebih jauh lagi, mereka membuat stigma bahwa Anies didukung oleh kelompok Islam kanan.

Pertanyaannya: apakah Anda akan memilih dan memilah pendukung Anda, kemudian menolaknya karena alasan identitas dan stigma tertentu? Adakah politisi di dunia yang menolak dukungan saat membutuhkan dukungan?

Setiap situasi politik akan melahirkan dinamikanya sendiri. Dan itu seringkali di luar kendali sadar para politisi. Hanya mereka yang mampu beradaptasi dengan situasi itulah yang akan menjadi pemenangnya.

Anies muncul saat gelombang protes kepada “kasus penistaan agama oleh Ahok” sedang berlangsung. Jika Anda jadi Anies, apakah Anda akan bilang: setop! Jangan protes! Konyol itu namanya.

Selain Anies, ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang elektabilitasnya di awal jauh lebih besar dari Anies. Hanya karena Anies pemenangnya, lalu muncul stigma politik identitas. Ini salah kaprah bro!

BACA JUGA :  Pak Anies Menang, Rakyat Senang

Berpikir waras lah…

Kedua, kelompok rasional. Mereka adalah para pengusaha dan para politisi.

Boleh jadi pengembang pulau reklamasi kecewa, lalu khawatir jika Anies jadi presiden. Selain pulau reklamasi tidak bisa dilanjutkan, bisnis-bisnis haram lainnya akan terganjal.

Para pengusaha yang bisnisnya menabrak hukum, tentu akan ketakutan jika Anies jadi orang nomor satu di Indonesia. Mereka berupaya menghalangi Anies. Berbagai cara akan dilakukan. Termasuk sewa buzzer. Satu tugasnya: serang Anies.

Buzzer, atau yang populer dengan istilah BuzzeRp, adalah para profesional. Mereka bekerja bukan karena benci. Mereka kerja karena ada yang gaji. Gaji berhenti, mereka juga akan berhenti. “Bergantung tuan menyiapkan upeti”.

Tapi, jika para pengusaha bermasalah ini gagal ganjal Anies, mereka akan beralih strategi: merapat dan merangkul. Mereka tak akan berseberangan dengan penguasa.

Selain pengusaha, ada politisi. Bagi para politisi, kawan dan lawan itu bergantung situasi. Jaraknya tipis sekali. Pagi kawan, sore bisa jadi lawan. Begitu juga sebaliknya.

Lihat partai-partai ketika berkoalisi. Akur, akrab, dan kompak. Nyanyiannya sama: satu platform. Demi keutuhan dan persatuan. Tapi, ketika mereka berada dalam kubu yang berlawanan, satu sama lain saling menyerang.

BACA JUGA :  Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono Panen Kecaman

Itu semua drama para politisi. Kepentingan mereka cuma satu: mempengaruhi alam bawah sadar rakyat agar memilih calonnya.

Begitu juga terhadap Anies. Para politisi yang menyerang Anies itu tak ubahnya seperti drama. Saat ini, Anies dianggap mengancam kepentingan politiknya. Jika nanti partainya mengusung Anies, para politisi ini akan tegak lurus ikut garis komando partai.

Termasuk PSI, jika nanti merasa lebih menguntungkan jika dukung Anies di Pilpres 2024.

Begitulah politik, bukan sesuatu yang statis, tapi dinamis. Memukul atau merangkul, itu hanya soal situasi. Situasi mana yang lebih menguntungkan, itulah yang akan jadi pilihan mereka. Suatu sikap yang rasional!

Komentar