TILIK.ID — Keputusan UU untuk menggelar Pilkada serentak pada 2024 mengundang polemik. Kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2022 dan 2023 akan diganti dengan pejabat ASN eselom I dan II yang ditunjuk presiden.
Pejabat kepala daerah dari ASN jika hanya hitungan bulan tentu tidak masalah. Namun jika pejabat itu menjabat dua tahun lebih sampai 2024 maka asas legitimasinya menjadi masalah. Penunjukan inilah yang banyak disoal.
Sebagai jalan tengah, mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otoda) Djohermansyah Djohan punya kajian dan menjadi usulan menarik. Yaitu sebaiknya kepala daerah yang habis masa jabatannya diperpanjang ketimbang mengangkat pejabat.
Usulan ini didasarkan pada sejumlah fakta dan data hasil riset dan penelitian serta kajian yang dilakukan Institute Otonomi Daerah (I-Otoda) yang dibentuknya.
Pengangkatan Penjabat (PJ) kepala daerah,(Gubernur,Walikota, Bupati) dari pejabat struktural ASN setingkat eselon 1 untuk propinsi atau eselon 2 untuk kabupaten/kota, lumrah dilakukan dalam praktik pemerintahan selama ini.
Hal itu terutama jikan terjadi kekosongan akibat kepala daerah yang bersangkutan berhalangan tetap (meninggal /sakit permanen) atau berhalangan sementara karena cuti kampanye.
“Cuti sementara biasanya dua bulan, tiga atau empat bulan, hanya dalam bilangan bulan saja. Dengan demikian PJ itu hanya menjadi caretaker pengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan sementara,” papar Prof Djohermansyah, Jumat
Menurut dia, munculnya caretaker dalam pemerintahan berfungsi sebagai penjaga agar tugas tugas pemerintahan sehari hari tidak berhenti, gara-gara tidak ada pemimpin. No vacuum of power adalah azas yang menjadi landasannya, dimana tidak boleh ada kekosongan satu detikpun kekuasaaan pemerintahan.
Namun menurut Djohermansyah Johan, saat ini ada situasi yang tidak lazim, dimana akan ada pengangkatan penjabat kepala daerah dari ASN dengan waktu yang cukup lama. Bisa satu tahun, dua tahun bahkan hampir tiga tahun.
“Kondisi ini yang sangat mengkhawatirkan karena ada peristiwa politik kedepan di 2024 terkait pemilu legaislatif, pilpres dan pilkada serentak nasional,” katanya.
Kekosongan kepala pemerintahan daerah akan dimulai pada 12 Mei 2022. Kekosongan kepala pemerintahan daerah meliputi 272, untuk gubernur, walikota hingga bupati di Indonesia.
“Total Jumlah Penduduk di 25 daerah provinsi yang kosong KDH-nya mencapai 243.992.959 atau 90 persen jumlah penduduk,” ujarnya.
Salah satu kepala daerah yang akan selesai masa jabatannya ditanggal 12 Mei 2022 adalah Gubernur propinsi Banten misalnya, dimana setelah itu Banten tak lagi bisa melakukan pilkada hingga 27 Nopember 2024 sesuai ketetapan pemerintah lewat UU Pilkada No 10/2016.
Selain Banten, Aceh dan Papua Barat juga mengalami kekosongan kepala daerah karena habis masa jabatannya. Khusus Papua Barat misalnya, adalah daerah konflik. Dimana kepala daerah sementara yang akan menjabat tentu harus benar benar memahami berbagai hal, bukan hanya masalah program kerja pemerintahan daerahnya saja.
Menurut Djohermansyah, bisa jadi pembuat UU No 10/ 2016 tentang pilkada tidak mengantisipasi dan mengkaji dengan cermat keadaan keadaan ini, ditambah kurangnya awareness pemerintah dalam menyikapi persoalan ini.
Institut Otonomi Daerah I-Otoda) mendalami secara cermat apa apa saja akibat yang akan ditimbulkan kedepan, bila kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 -2024 diisi dari ASN.
Permasalahan yang akan muncul bila kepala daerah yang habis di bulan Mei 2022 hingga 2024 bila jabatan kepala daerah diserahkan pada ASN bisa jadi mereka tidak fokus memimpin wilayah yang hilang kepemimpinan definitifnya.
“Ketidak fokusan itu bisa terjadi, bila jabatan tersebut diserahkan pada ASN. Kenapa begitu ? Karena ASN memiliki kewenangan terbatas disamping ASN tidak boleh melepas jabatan strukturalnya di ASN,” ujar Djohermansyah.
Persoalan lain yang akan dihadapi Pj kepala daerah dari ASN, yaitu bila terlalu lama tentu mereka akan menangani APBD, dimana ASN harus berhadapan dengan para politisi daerah di DPRD untuk pembahasan anggaran.
“Hal ini tentu akan menjadi kendala besar dimana ASN tidak di training untuk urusan politik praktis,” ujarnya.
Kekhawatiran lain menurut Djohermansyah dalam proses pengangkatan penjabat penjabat kepala daerah tersebut, bisa jadi muncul kolusi, suap, yang dibiayai pihak pihak tertentu yang memiliki kepentingan atas daerah tersebut agar semua kepentingan pemodal dapat berjalan lancar.
“Karena waktu yang terlalu lama menjabat bisa jadi membuat Pj tergoda menyelewengkan kekuasaan, korup dan sebagainya,” kata Djohan.
Pj menjabat di dua kaki, di daerah dan struktural ASN, yang bisa menjadi kendala serius. Kelemahan lain, para Pj hanya sendiri menjabat tanpa wakil. Pj yang diangkatpun tidak memiliki visi misi dalam wilayah penugasannya.
“Ini tentu akan memunculkan persoalan lain yang akan dihadapi seorang Pj dalam menggerakkan pembangunan daerahnya,”’kata Djohermansyah lagi.
Berbeda dengan kepala daerah yang melewati pilkada, nereka dipilih rakyat, punya legitimasi kuat, serta memiliki visi dan misi serta program dalam membangun wilayahnya. Itu sebab adanya pilkada itu banyak manfaat dalam proses pembangunan wilayah yang tidak begitu saja bisa dihilangkan.
Karena itu, kata Djohermansyah Djohan, akan lebih sehat dan bermanfaat bila dilakukan perpanjangan masa jabatan, bila pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Selain kepala daerah tersebut punya legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyatnya, mereka juga sudah berpengalaman lama.
“Deepening Democracy inilah yang harus dikembangkan, dimana pendalaman demokrasi Indonesia, dilakukan lewat pemilihan secara langsung yang diterapkan sejak 1 Juni 2005. Ini harus tetap dijaga,” ujar Djohermansyah.
Bila pengangkatan Pj ASN tetap dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah 2022-2024. Dampak sosial dan opini buruk masyarakat akan muncul dan berkembang terhadap pemerintah sekarang.
Akibat berbagai hal di Pemilu 2019 lalu, yang dianggap pelaksanaannya banyak memiliki kekurangan, ditambah kondisi saat ini dengan pengangkatan ASN sebagai Pj dan meniadakan pilkada dengan waktu yang cukup panjang, perlakuan ini mencederai demokrasi yang telah dibangun sejak awal reformasi.
“Bila pengangkatan Pj kepala daerah ini tetap dilakukan, secara demokrasi sama saja kita lebih mundur dari zaman Orba. Di zaman orba saja, kepala daerah masih dipilih lewat DPRD.” ungkap Djohermansyah. (bes)
Komentar