Mencairkan Pandangan Politik Berbeda: Pada Kasus Remy Sylado, Anies Mengajarkan

Oleh Ady Amar
(Kolumnis)

SELEPAS sholat Jum’at, 14/Januari, Anies Baswedan menyempatkan diri mendatangi sastrawan Remy Sylado di rumahnya. Ia tergolek di tempat tidur. Bersyukur hanya fisik yang tampak lemah, tapi tidak pikirannya.

Anies tampak respek pada sastrawan satu ini, dan menyebutnya sebagai aset bangsa. Terjadilah dialog ringan-ringan, dan Anies lebih banyak mendengarkan. Lalu memuji istri Remy Sylado yang bersabar merawat dan menjaganya dengan baik.

Sebelumnya sang istri mengucap terima kasih atas kedatangan Anies, dan bantuan Anies yang pernah diterima sebelumnya pada sang suami. Anies menjawab, bahwa memang itu kewajibannya.

Alhasil, setelah mendengar sastrawan itu sudah tergolek lemah selama dua bulan, dan itu karena masalah keterbatasan biaya, Anies menawarkan pengobatannya tanpa harus berpikir masalah biaya. Artinya, biaya pengobatan diambil alihnya. Anies bahkan menegaskan, dirawat lebih cepat akan lebih baik. Sang istri tampak sumringah mendengar pinta Anies itu.

Dialog ringan-ringan saja yang muncul di sana. Anies menyemangati Remy Sylado, yang mungkin hanya dikenal Anies dengan baik lewat karya-karya novelnya yang memang dahsyat. Lelaki dengan kemampuan berbahasa dengan 9 bahasa asing, ini tidak sebanding dengan kondisi ekonominya. Prihatin.

BACA JUGA :  Mau Mudik Pun Disiapin 492 Bus Ama Pak Anies

Remy Sylado memang lelaki penuh talenta. Ia dikenal juga sebagai wartawan, musikus, dramawan, aktor film, dan penulis produktif yang sepertinya tiada banding. Tidak ketinggalan ia juga menulis puisi, yang masuk genre “puisi mbeling”, dan kritikus sastra yang tajam. Saat Anies menanyakan soal novel yang tengah dikerjakan, dan berhenti karena kesehatannya, ia menceritakan sebagian isi novelnya itu. Dan katanya, semua isi novel yang akan ditulisnya itu ada di benaknya— sambil ia memegang jidatnya— tinggal dieksekusi lewat tulisan.

Kehadiran Anies di bilik kecil Remmy Sylado tidak lebih dari 15 menit. Tapi kedatangannya bawa berkah. Ada kepastian tentang pengobatannya, dan tidak perlu memikirkan soal pembiayaannya. Pastilah melegakan tidak hanya keluarga Remy Sylado, tapi juga kalangan seniman dan pekerja seni lainnya.

Pilihan Politik

Remy Sylado saat Pilkada DKI Jakarta (2017) ada di kubu petahana. Ia ada di kubu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ucapannya yang “menyerang” Anies masih bisa dijumpai jejak digitalnya. Memang jejak digital akan terus membuntuti. Pantas jika ada ungkapan, lebih jahat jejak digital ketimbang ibu tiri ditambah mertua usil sekaligus.

BACA JUGA :  Jangan Halangi Anies Kasih Makan Warga Jakarta

Pilihan politik memang hak setiap orang. Tidak ada yang boleh mempermasalahkan. Mesti dihormati. Dan, bahkan ungkapan-ungkapan pembelaan pada pihak yang dijagokan dengan terkadang menjelekkan pihak lain, itu pun hal biasa. Tidak perlu dibawa perasaan. Begitu pula dengan pilihan politik Remy Sylado masa lalu, itu pilihan politiknya. Hak politiknya yang mesti dihargai.

Bahkan ungkapan-ungkapan “kasar” masa lalu pun tidak harus dijadikan ajang balas membalas. Semua mestinya berakhir saat pilkada berakhir. Maka yang terpilih tetap bekerja tidak melihat lagi siapa yang mendukung dan tidak mendukungnya. Semua mendapat hak yang sama istimewanya. Tidak ada yang diistimewakan. Anies memahami itu dengan baik. Tidak sekadar narasi yang diumbar, tapi NOL implementasi.

Anies mendatangi pihak yang saat pilkada lalu ada di pihak sana, itu tidak ada yang salah. Apalagi pada tokoh yang punya jasa besar pada dunia sastra Indonesia. Justru satu keharusan. Membantu semata rasa kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang ada di pihak mana tokoh yang dibantunya. Itu keren.

BACA JUGA :  Anies Pembicara Tunggal di ISEAS Yusof Ishak Institute

Anies menunjukkan sikap terpujinya, meski di luar sana pastilah masih banyak pribadi-pribadi yang belum _move on_ menerima kekalahan dalam pilkada sebagai hal biasa, yang menyebut, “Itu sih pencitraan Anies Baswedan saja”. Atau pernyataan nyinyir lainnya yang sadar-tidak sadar akan mengeraskan hati.

Memberi kebaikan memang tidak semua orang bisa melihatnya sebagai kebaikan, atau bernilai kebaikan. Itu hal biasa. Pada kasus Remy Sylado, Anies Baswedan pun mengalaminya, dan bahkan jadi bahan bulian. Itu hal biasa. Pastilah itu tidak akan mematahkannya untuk terus memproduk kebaikan yang bisa ditularkan pada akal sehat. Sabar saja ya Pak Anies. (*)

Komentar