Oleh: Yusuf Blegur
(Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari)
TIDAK hanya Ferdinand Hutahaean, semua makhluk berprofesi buzzer dan pengais rezeki haram semodel Denny Siregar, Arya Permana, Ade Armando, Eko Kuntadi, Husein Shihab, dll. Wajib merasakan hukuman paling ekstrim jika keadilan masih ada di Indonesia.
Kalau membela Islam dan NKRI yang sering dilakukan oleh para ulama dan aktifis pergerakan harus berakhir dengan kriminalisasi. Maka kepada Ferdinand Hutahaean cs itu, hukum qisos atau tembak mati di tempat pantas diberlakukan. Agar fitnah dan adu domba tidak merusak dan menghancurkan republik ini
Entah apa yang terbesit dan ada dalam pikiran penyelenggara negara. Kebijakan dan langkah hukum aparatur begitu sigap, responsif dan menjadikan skala prioritas dalam menghadapi dinamika umat Islam. Potensi dan kekuatan Islam yang sejatinya teduh dan menjadi agama rahmatan lil a’lamin, seperti menjadi musuh negara yang berbahaya.
Peran sejarah dan konsistensi Islam dalam merawat Panca Sila dan NKRI, nyaris tak berbekas. Islam terus distigma dan distereotifkan sebagai momok yang menakutkan. Seperti tidak ada tugas dan tanggungjawab yang lebih prinsip bagi aparatur negara.
Energi bangsa habis terkuras hanya untuk menjadikan aktifis pergerakan dan umat Islam khususnya para ulama sebagai target politik. Gerakan dakwah yang selama ini menjadi dasar dan prinsip keagamaan dalam Islam, mengalami reduksi oleh kebijakan penguasa.
Syiar Islam yang dilakukan para ulama selalu dikonotasikan dan divonis rezim sebagai agitasi, propaganda dan provokasi terhadap umat. Ada saja alasan dan segala cara dilakukan pemerintah melakukan kriminalisasi ulama dengan dalih menyebarkan kebencian dan permusuhan serta memecah belah bangsa.
Diskriminasi Hukum
Ada rekayasa yang bukan sekadar framing intoleran, radikal dan fundamental. Namun dengan pendekatan keamanan dan menggiring hukum sebagai alat kekuasaan. Tak cukup dengan pelbagai program lberalisasi dan sekulerisasi Islam. Rezim juga telah mengarah pada upaya deislamsasi. Satu sisi terus terjadi pembiaran terhadap konspirasi yang merendahkan marwah Islam. Di lain sisi begitu represi pada kesadaran kritis umat Islam.
Manusia-manusia sejenis Ferdinand Hutahaean, Denny Siregar, Ade Armando, Adi Permana, Eko Kuntadi, Husein Shihab, dsb. Asyik berselancar menenggelamkan etika dan adab di media sosial. Tindakan mereka yang merusak keharmonisan dan keselarasan, berpotensi bukan hanya menimbulkan pembelahan sosial di masyarakat. Aktifitas fitnah Ferdinand Hutahaean cs itu juga riskan mendorong perpecahan bangsa.
Kalau situasi tersebut terlalu lama didiamkan, maka publik akan menilai rezim telah sengaja memicu konflik horisontal terjadi pada rakyat. Malah membuat rakyat menganggap pemerintah berada dibelakan dan melindungi para buzzer bayaran itu. Perilaku rendah sampah media sosial, bukan mustahil akan menghancurkan bangunan kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Indonesia akan mengalami disintegrasi nasional karena ulah segelintir orang.
Oleh karena itu penting dan mendesak pemerintah segera mengambil langkah tegas dan tindakan hukum yang seberat-beratnya kepada Ferdinand Hutahaean dan gerombolan penghasut itu. Ujaran Ferdinand Hutahaean terkait “Allahmu lemah dan Allahku kuat”, harus dihukum seberat mungkin agar menjadi efek kejut dan pelajaran bagi semua yang hipokrat terhadap Islam.
Jika rezim tetap abai dan membiarkan hal ini berlarut-larut, sejatinya rezim hanya menunda chaos yang beresiko tinggi menjadi triger transisisi kekuasan rezim. Sebaiknya rezim berhenti memaksakan diskriminasi hukum. Sepatutnya, pemerintah menjamin penegakkan hukum yang tegas dan berkeadilan. Tanpa pandang bulu, tanpa pertimbangan politis dan tanpa orientasi kekuasaan.
Jika tak ada langkah hukum yang jelas kepada Ferdinand cs, biarkanlah pengadilan jalanan yang akan bertindak. Pemerintah jangan sampai menunggu membiarkan umat Islam mengambil aturan hukum berdasarkan syariatnya. Rezim harus berani melakukan penegakan supremasi hukum atau amuk massa menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Kelak umat Islam akan kehilangan kesabaran dan mengobarkan jihad sebagai semangat perlawanan. Sebuah konsekuensi logis ketika pembela agama dibui, sementara penista agama difasilitasi gaji.
Komentar