Merindukan Kepemimpinan Soeharto

Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

ENAK Jamanku, To?”. Begitu bunyi tulisan yang bertebaran di banyak kendaraan. Entah siapa yang menuliskan itu, tapi kena dan terasa.

Narasi ini menjadi kritik terhadap situasi beberapa tahun belakangan ini dimana kegaduhan seperti tak pernah berujung. Rakyat rerbelah oleh dukung mendukung dalam pemilu, seolah menegaskan betapa negara ini sedang tidak stabil.

Era reformasi yang diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik, ternyata tak segera dijumpai. Jika politik tak stabil, maka proses pembangunan akan terganggu.

Di sisi lain, korupsi makin masif, jauh lebih masif dari era ketika Soeharto memimpin.

Di era Soeharto tentu saja ada korupsi. Tapi, di era reformasi, korupsi lebih vulgar dan transparan. Sampai ada anekdot: era Soeharto korupsi dilakukan di bawah meja, di era reformasi, mejanya pun ikut diangkut karuptor. Parah!

Selain stabilitas politik yang tak menentu dan korupsi yang semakin gak kenal rasa malu, era reformasi tak membawa bangsa ini ke arah yang jelas. Ganti presiden, rombak kebijakan. Ganti menteri, berubah keputusan. Tak jarang satu kementerian dengan kementerian lain, satu institusi dengan institusi lain saling bertabrakan dalam kebijakan.

Program pembangunan seringkali tidak berkelanjutan, bahkan terkesan saling meniadakan. Persaingan antar rezim terlihat begitu nyata. Satu dengan yang lain bahkan nampak kurang saling menghargai.

Soal pendidikan misalnya, tak jelas mau kemana arahnya. Apakah rakyat yang tidak paham, atau programnya yang membingungkan.

BACA JUGA :  Masjid Jarang

Di era Orde Baru, ada SD Inpres. Program sederhana, tapi berhasil mengentaskan buta huruf di pelosok-pelosok negeri. Karena saat itu, yang dihadapi bangsa ini adalah buta huruf.

Sekarang adalah era digital. Bagaimana pendidikan via digital bisa dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh anak didik di Indonesia. Tidak butuh program wah, tapi mesti nyata, merata, dapat dirasakan dan berkelanjutan.

Soal pembangunan, di Orde Baru ada pembangunan berjangka yang disebut “Repelita” . Ada jangka pendek, ada jangka panjang. Tahapannya jelas, dan terukur. Sehingga, hasilnya pun bisa dilihat fungsinya. Orde Baru memiliki semangat membangun dengan mempertimbangkan secara detail fungsi dari pembangunan itu. Artinya, pembangunan infrastrukturnya berbasis kebutuhan.

Memang, Orde Baru punya waktu 32 tahun. Tapi, tidak boleh menjadi alasan bagi para pemimpin era reformasi yang hanya diberi jatah 5-10 tahun.

5 tahun, apa programnya. 10 tahun, apa yang akan dibangun. Setidaknya, rakyat tahu rencana dan hasilnya. Bisa dievaluasi, dan bisa dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya. Tidak harus zig zag seperti sopir angkot ngejar setoran. Mesti berkesinambungan. Satu rezim ke rezim yang lain, dan seterusnya.

Kedaulatan pangan di era Soeharto jauh lebih terjaga. Keberpihakan kepada petani dan peternak sangat terasa. Berbagai subsidi untuk pertanian, diantaranya pupuk, cukup terdistribusi secara teratur. Harga sembako pun terkendali. Para mafia cenderung kesulitan untuk masuk di sektor pertanian dan peternakan ini. Di sektor ini, Soeharto tegas dalam melindungi nasib rakyat.

BACA JUGA :  Antara Anies Baswedan dan Penyidik, Mushalla Kecil Itu Jadi Saksi

Di era reformasi, impor tampak ugal-ugalan. Para petani dan UMKM tak terlindungi. Yang penting: bagi-bagi. Parpol-parpol berpesta pora. Bergantung berapa mereka punya suara. Payah!

Soal kewibawaan, Soeharto tidak tertandingi oleh semua presiden di era reformasi. Presiden kedua ini tidak hanya dihormati oleh bangsa sendiri, tapi juga disegani oleh bangsa lain. Ini fakta yang tak bisa dipungkiri.

Politik “Non Blok” betul-betul dijalankan. Tidak pro komunis, juga tidak ikut kapitalis. Tegas terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh negara manapun.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa presiden Soeharto sempurna. Tentu ada kekurangan dan kelemahannya, sebagaimana pemimpin negara dimanapun. Namun, yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah bagaimana kita bisa menghargai setiap pemimpin bangsa yang jasanya sangat besar untuk Indonesia hingga kita ikut mewarisi dan merasakannya saat ini.

Setiap Pemimpin bangsa mesti menghargai dan menghormati para pemimpin sebelumnya. Baik verbal, maupun dalam membuat kebijakan. Tidak saling menegaskan dan meniadakan. Itu poinnya.

Jangan lupakan sejarah dan jasa para pendiri bangsa ini. Setiap “bata” itu berharga bagi bangunan besar yang bernama Indonesia. Selain Soekarno, Soeharto telah menyumbangkan banyak “bata” itu untuk generasi masa depan bangsa. Dan kita saat ini ikut menikmatinya.

BACA JUGA :  Siap-siap, Jakarta akan Lockdown

Soeharto layak menjadi referensi dalam menciptakan stabilitas keamanan dan politik, kedaulatan pangan, pembangunan infrastruktur yang terukur, dan juga strateginya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Soeharto juga layak untuk menjadi rujukan dalam menjaga pancasila sebagai falsafah negara yang hingga hari ini tetap kokoh.

Peran Soeharto menyelamatkan negara ini dari komunisme (baca: PKI) merupakan jasa yang sulit dicari bandingannya. Apapun ceritanya, tanpa peran Soeharto, komunisme akan menjadi ancaman sangat serius yang tidak berkesudahan di negeri ini. Dengan adanya PKI, Indonesia akan selalu berada dalam ketegangan dan ancaman perang antar anak bangsa.

Ciri khas komunis ada dua. Pertama, revolusi. Kedua, anti agama. Kalau dua hal ini gak ada dalam gerakan yang mengatasnamakan komunis, berarti itu komunis KW. Gak ada komunis tanpa revolusi. Dan tak ada komunis yang menerima agama. Dari sononya memang begitu.

Jika PKI tetap ada di negeri ini, Indonesia akan selalu berada dalam ancaman revolusi. Umat beragama yang menjadi penduduk mayoritas bangsa ini tidak akan pernah tenang, karena komunisme menjadi sebuah ancaman yang nyata. Di sinilah Soeharto punya peran penting dalam menyelamatkan bangsa ini dari komunisme, dan juga dalam menjaga stabilitas negara.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah sekali- kali melupakan jasa para pemimpin sebelumnya.

Komentar