Menerawang Anies (1)

Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

DEKLARASI relawan pendukung Anies for President 2024 terus menggelinding. Digiatkan sejumlah eksponen: pemuda, perempuan, dan komunitas (sopir angkot, ulama,..)

Fenomena menarik dalam dinamika politik Indonesia terkait isu-agenda Pilpres. Tak dapat dicegah, Anies ‘mendominasi’ diskursus politik dewasa ini. Lalu, kemana takdir hendak membawa Anies? Tentu, terkait dan sebatas Pilpres 2024.

P. Harto memopulerkan terma nggege mongso dalam narasi politik era Orba. Ungkapan yang cenderung bermakna tak elok. JK berkomentar masih jauh menanggapi isu Pilpres 2024. Komentar ala kadarnya seorang mantan Wapres.

Terlepas dari terma itu, ekspresi dukungan yang didemonstrasikan melalui deklarasi sah-sah saja dalam praksis demokrasi. Transaksi aspirasi yang lumrah!

Sejauh mana berpengaruh terhadap masyarakat politik, khususnya Parpol dalam menentukan sikap-keputusan politik? Tentu bergantung pada dinamika (eskalasi, kualitas, dan otentisitas) deklarasi itu. Bila menggelinding bak bola salju, masif, dan tidak semata hasil political engineering untuk pencitraan belaka. Tetapi ekspresi keswadayaan politik rakyat yang otentik. Sudah semestinya Parpol merespon positif. Tentu, otoritas atas perkara itu di tangan para pemangku dan pawang kekuasaan.

BACA JUGA :  Politisi Bongsor Atawa Gebi

Demokrasi pada dasarnya baik: upaya mendamaikan-menyelaraskan aneka pertentangan-konfilk yang menjadi karakter bawaan (ber)politik. Tentu tak selalu berhasil. Parpol dikukuhkan sebagai prima principa demokrasi, wujud pengorganisasian aspirasi-kehendak rakyat. Semestinya menghadirkan calon pemimpin yang benar-benar dapat diandalkan. Karena itu, parpol menggenggam hak eksklusif: rekrutmen politik. Merasa telah berdarah-darah, maka cenderung tak rela hak itu dinikmati oleh bukan kader elitnya.

Tapi, aspirasi Parpol tak selalu konruen-identik dengan aspirasi rakyat. Dalam kaitan dengan Anies-Capres, besar kemungkinan kehendak-aspirasi rakyat berbeda dengan kehendak Parpol. Pada kondisi itu, Parpol cenderung mengabaikan suara rakyat, karena baginya rakyat-konstituen itu entitas tak pasti.

Parpol umumya memang tak (banyak) memiliki anggota, tak lebih dari pengurus. Tepatnya, pengurus merangkap anggota.

Konstituen-rakyat yang benar-benar memilih parpol tertentu pada saat Pemilu, tak memiliki daya tekan terhadap parpolnya ketika terjadi perselisihan aspirasi yang mendasar.

Pencapresan Anies tergantung pada (sejumlah) Parpol yang memenuhi PT 20 persen dan bersedia mencalonkannya. Dengan asumsi: Pilpres dilaksanakan sesuai jadwal dan ketentuan tentang PT tidak berubah. Pada kondisi itu, berlaku kalkulasi atau diharapkan Parpol: legowo , sukarela memromosikan anak bangsa yang secara objektif dapat diandalkan memimpin demi kabaikan bangsa dan negara ini. Mengingat Anies tidak bernaung dalam salah satu Parpol. Sementara ketentuan Calon Independen pada Pilkada tidak dimungkinkan pada Pilpres. Hukum memang bertugas menetapkan pengecualian. Sejauh mana Parpol bakal legowo?

BACA JUGA :  Merawat Gerakan Perubahan

Pertikaian Pandawa dan Kurawa amat sengit. Suatu ketika dilerai melalui adu tangkas-kemahiran memanah antar bangsawan kedua wangsa itu. Arjuna, pemanah andalan wangsa Pandawa dikalahkan Basukarno. Aib dan derita yang nyaris tak tertanggungkan Pandawa. Lalu bersiasat, pertandingan itu harus dinyatakan inkonstitusional tanpa syarat, lantaran Basukarno bukan bangsawan. Secara formal-administratif, Basukarno memang sans culottes– si jelata.

Seketika itu, Duryudono, raja wangsa Kurawa, mengangkat Basukarno sebagai bangsawan. Betapapun kurawanya, Duryudono sadar akan hal yang baik bagi wangsa dan negerinya. Contoh sikap dan pesan Duryudono bagi Parpol: jangan melampaui kaum Kurawa!

Secara metematis, peluang Anies menjadi Capres fifty-fifty. Bagaimanakah bila tak ada Parpol yang bersedia memromosikan? Tentu Anies tak jadi Capres. Dan, para pendamba Anies bakal kecewa berat. Layaknya seorang perjaka yang ditolak cintanya. Murung di dalam kamar indekos, menikmati lantunan Gloomy Sunday.

Tapi, bisa jadi, kekecewaan itu menemukan jalan kreatif perlawanannya. Para aktivis- mahasiswa menggelorakan Golput, gerakan memboikot Pemilu 1971 karena dinilai penuh akal-akalan Orba. Bila relawan pendukung Anies ‘hari ini’ terus menggelinding, memicu gerakan yang meluas dan otentik, maka kekecewaan itu nantinya, potensial menjadi gerakan ‘pemboikotan’ Pemilu 2024, karena dinilai tak aspiratif, tak menawarkan calon yang dapat diandalkan sanggup memerbaiki kondisi bangsa dan negara yang karut marut ini.

BACA JUGA :  Wahai Pemuda, Jangan Jadi Pecundang

Bila benar demikian, dinamika perpolitikan Indonesia bakal menarik. Potensial berkembang liar. Juga, tak tertutup kemungkinan memelesetkan demokrasi. Terlepas dari kemungkinan itu, jelas kiranya, bangsa ini bakal mendapat tontonan unik: Parpol ‘berkelahi’ dengan pemilihnya sendiri.

Komentar