Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
PERSETERUAN Jokowi-Mega sudah bukan rahasia umum lagi. Ini terjadi sejak awal Jokowi jadi presiden 2014. Bermula saat Maruar Sirait akan dilantik oleh Presiden Jokowi menjadi Menpora, mendadak harus dibatalkan. Kabarnya, Maruar bukan orang yang direkomendasikan Ketum PDIP.
Saat ini, Maruar, tokoh muda yang cukup cerdas ini, hampir tidak pernah muncul ke publik. Kenapa? Tentu ini menjadi pertanyaan tersendiri.
Perseteruan Jokowi dan Mega terus terjadi oleh faktor kepentingan yang berbeda. Istilah “petugas partai” tentu mengganggu kewibawaan dan keleluasaan Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia. Jauh lebih elegan kalau disebut “pelayan rakyat”. Artinya mengemban amanah dari rakyat.
Perseteruan Jokowi-Mega telah banyak mempengaruhi dinamika perpolitikan di negeri ini. Satunya seorang presiden, satunya lagi pimpinan partai pemenang dan terbesar. Otomatis, ini besar pengaruhnya.
Sebagai ketum PDIP, Megawati masih sangat kuat. Apalagi jika 2024, PDIP menjadi partai pemenang lagi. Lihat survei, sepertinya tidak banyak berubah. Turun, tapi gak besar. Ini tantangan buat partai-partai lain untuk memilih strategi yang terukur jika ingin mengalahkan PDIP.
Sementara Jokowi, 2024 akan berakhir jabatannya. Akankah Jokowi “dimaruarkan” oleh PDIP? Artinya tidak diberi peran saat presiden ke-7 ini pensiun?
Sebagai seorang presiden saat ini, Jokowi punya power. Tapi, kurang lebih dua tahun lagi, power itu tak lagi ada di tangannya. Karena itu, perlu menyiapkan diri saat dan setelah landing.
Jika ingin tetap eksis di politik, Jokowi mesti bikin partai baru. Tentu akan diawali gejolak dengan PDIP. Ini bagian dari “pilihan niscaya” untuk masa depan, meskipun akan mengalami perseteruan yang dahsyat dengan PDIP. Rumornya, PSI dulu disiapkan untuk Jokowi. Benarkah? Namanya juga rumor. Jika benar, bukan sesuatu yang salah juga.
Alternatif lain, Jokowi bisa akuisisi partai yang sudah ada. Tentu bukan partai Islam, karena ini kurang cocok dengan back ground Jokowi. Presiden Jokowi membantah bahwa upaya Moeldoko mengakuisisi Demokrat punya kaitan dengannya. Selama ini, opini publik mengarah kesana.
Mendirikan atau akuisisi partai adalah langkah yang perlu diupayakan Jokowi jika ingin tetap eksis di dunia politik. Sebab, kecil kemungkinan Jokowi bisa ambil “posisi berpengaruh” di PDIP selama masih di bawah kepemimpinan Megawati. Di PDIP, sentral keputusan dan kekuasaan ada di ketua umum partai. Kecuali jika Jokowi kelak yang akan ambil alih menjadi ketua umum PDIP.
Apapun situasinya, Jokowi pasti telah memikirkan bagaimana landing ketika periodenya sudah selesai. Pertama, proses landing mesti aman. Kedua, setelah landing, punya kendaraan sebagai mainan politik. Apalagi Jokowi masih punya kader, yaitu anak dan menantunya yang saat ini jadi walikota. Ketiga, punya akses untuk tetap berperan dan memberi kontribusi kepada bangsa ini.
Dengan begitu, Jokowi mesti menyiapkan calon penggantinya di istana. Publik menengarai bahwa Ganjar Pranowo adalah calon yang sedang disiapkan Jokowi. Problemnya: lewat partai apa? PDIP sepertinya tidak memberi ruang buat Ganjar. Perseteruan Ganjar dengan trah Soekarno bukan hal sepele. Ini sepertinya tidak saja menyangkut masalah politik, tapi juga berurusan dengan sisi emosional. Sulit!
Mungkinkah Golkar? Saham Golkar bukan hanya punya Airlangga. Ada Jusuf Kalla, Akbar Tanjung dan Abu Rizal Bakri. Mungkinkah tokoh-tokoh HMI itu akan mengusung Ganjar yang pentolan GMNI? Belum lagi jika Airlangga ingin menjadi orang nomor satu, dan Ganjar diposisikan sebagai cawapresnya. Makin gak ketemu.
Nasdem? Surya Paloh sudah trauma berkoalisi dengan PDIP. Bukankah Ganjar tidak dicalonkan dari PDIP? Benar! Begini cara berpikirnya. Kalau Ganjar keluar dari PDIP, lalu dicalonkan partai lain. Misal menang. Dan saat itu jika PDIP jadi partai pemenang, apakah Ganjar gak kembali ke pangkuan PDIP? Seperti Sandiaga Uno kembali ke Gerindra setelah sebentar di PAN. Atau Haji Lulung balik ke PPP setelah Hijrah ke partainya Zulkifli Hasan. Kalau Ganjar gak balik, repot urusannya di DPR.
Memang, siapa nanti yang akan menang terkait perseteruan di Partai Demokrat akan ikut menentukan dinamika politik di 2024, termasuk nasib Ganjar.
Nasdem, khususnya Surya Paloh, nampaknya condong ke Anies. Kalkulasi politik Surya Paloh biasanya jitu. Politisi kawakan ini memiliki kemampuan untuk membaca arah kemenangan. Dalam hal ini, terbaca bahwa Surya Paloh akan ke Anies. Mungkin pertimbangannya, Anies potensial untuk menang. Di mata Surya Paloh, Anies punya banyak “kontens” sebagai syarat untuk menang di Pilpres 2024. Pola berkokunikasi, cara mengurai gagasan, hasil karya, prestasi dan banyaknya penghargaan, hubungan dan performennya di mata dunia internasional, ini semua adalah bagian dari syarat-syarat kemenangan itu. Tetap, takdir Ilahi yang akan bicara, kata Pak Kiai.
Jika Jokowi jeli, maka pilihan mendukung Anies itu lebih rasional. Terkait dengan kebutuhan Jokowi untuk landing dengan aman dan elegan, Anies orang yang pandai menghormati dan memuliakan orang lain. Merangkul itu watak yang selama ini selalu ditunjukkan oleh Anies. Intinya, mendukung Anies, Jokowi lebih aman dan nyaman ketika landing. Akses tetap dapat, dan ruang untuk mengawal karir anak dan menantunya tetap terbuka. Terutama jika Gibran ingin ikut berkompetisi di Pilgub DKI, Jakarta mesti steril dari Anies dengan mendorongnya untuk nyapres.
Jakarta, 23 Nopember 2021
Komentar