Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SOSIOLOGI mengajarkan perspektif dramaturgi. Pencetusnya Erving Goffman. Drama, kata Goffman, mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.
Dramaturgi tentu saja untuk memahami (perilaku) manusia. Tapi, bisa juga untuk memahami negara, melalui perilaku para pengurusnya. Seturut perspektif itu, negara: sebuah panggung, dimana lakon-cerita digelar. Lakonnya memang tak pernah berubah: kekuasaan.
Kekuasaan lakon penuh sihir, selalu menarik. Manusia tak pernah rehat memainkannya. Karena, kekusaan hasrat yang inheren dalam kehidupan bersama manusia, juga sejumlah binatang. Tapi, hanya bagi manusia hasrat kekuasaan itu menemukan bentuknya yang sempurna. Justru karena manusia menjadi sarana penubuhkan segala ketaksempurnaan dalam kehidupannya yang multi segi.
Konsekuensinya, kekuasaan selalu meringkuk diantara keluhuran yang rapuh: keadilan, kemakmuran, kesetaraan, kedaulatan, …… dan, dorongan yang kuat dalam diri manusia akan: kemasyhuran, “keabadian”, keserakahan, kebengisan, …… Panggung kekuasaan, acap kali, tak bisa lain: kamulfase. Sempurna, ketika pelakonnya para singa berbulu domba.
Manusia moderen menempatkan kekuasaan dalam wadah tertingginya berupa negara. Dan, negara demokrasi digagas sebagai wujud cita-cita bersama, kehendak mewujudkan bonum commune-kebaikanan bersama, milik bersama, …… Keadilan menjadi dasar mewujudkannya. Hanya di dalam negara, kata Hobbes, manusia berkenalan dengan arti adil dan tak adil.
Marx yakin pada saatnya negara lenyap, hilang secara permanen. Kapan? Ketika sosialisme paripurna. Pada saat itulah komunisme dimulai. Guna menuju keparipurnaan itu, sosialisme membutuhkan negara. Marx memang memandang negara sekedar instrumen teknis sosialisme. Pada saatnya, harus dileyapkan. Karena, negara pada dasarnya the executive committee of the bourgeois.
Negara lenyap! Tentu saja itu sejenis omong kosong. Tapi, Marx benar: negara adalah panitia penyelenggara kepentingan kaum borjuis. Dan, pada saat inilah, tanpa harus menunggu sampai sosialisme paripurna, negara melenyap: hilang secara temporal.
Memang, ketika negara menjadi instrumen kaum borjuis dalam rumah tangga penguasa-pengusaha, Peng-Peng (kata Rizal Ramli), Cino-Londho dadi sakjodo (Cina-Belanda jadi sejodoh: menyatunya kekuasaan politik dan ekonomi) kata Jayabaya. Maka, negara berubah menjadi mesin yang dengan rakusnya mengeruk kekayaan bangsa, memenuhi keserakahan kaum borjuis.
Kerakusan itu tentu ditopang piranti lunak (hukum, kebijakan, …) dan piranti keras yang dirancang untuk menindas. Memacu kekuasaan mengerucut ke satu dimensi: menguras, merampas, memeras, …… segala hal yang berlabel “milik atau dibawah kekuasaan negara’.
Tidak perlu Tarik nafas dulu, kaum borjuis Peng-Peng beradu cepat mengeruk sebanyak-banyaknya SDA-mineral, dll, membabat seluas-luasnya hutan. Dibarengi korupsi-merampas sebanyak mungkin anggaran belanja negara. Dan, dizaman neo virusitikum, memeras rakyat melalui bisnis berbasis wabah dan kematian. Negara berubah menjadi distributor teror yang radikal.
Maka, tak dapat dicecap akal sehat-pengalaman budi, juga dalam realitas: eksistensi negara yang melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, ……, yang didasarkan pada Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan, Kerakyatan …… yang menjadi prasyarat mutlak muwujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Negara sebagai konstruk ideal melenyap. Menyisakan sejenis arena, dimana kejahatan kepada rakyat sendiri menandai keberadaan kekuasaan. Kejahatan memang segala keburukan untuk menciderai yang berbudi. Dan, kejahatan sejati nampak jelas pada kekuasaan yang memerkosa segala yang berbudi untuk memroduksi kejahatan.
Tapi, negara melenyap, tak berarti drama berakhir. Karena, selalu saja ada sekelompok manusia yang sadar, bahwa persoalan pokok yang dihadapi ialah kejahatan kaum borjuis terhadap kodrat kehidupan bersama dan kebaikan umum.
Melenyapnya negara Perancis memicu kaum Montagnard mengamuk. Berakhir dengan digiringnya Louis XVI ke tempat pemenggalan leher.
Di Inggris abad ke-17, melenyapnya negara berujung perang saudara. Dan, orang Inggris menangani persoalan itu secara khas: menggiring Raja Charles I ke tiang gantugan. Lalu, berdirilah republik, dipimpin Oliver Cromwell, seorang pemimpin militer, ….., Lord Protector.
Memang, harus selalu ada (sejumlah) orang yang berani mengembalikan negara dari ke-melenyap-an!
Komentar