TILIK.ID — Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Dikbudristek) No 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegakan Kekerasan Seksual di lingkungan Kampus Perguruan Tinggi dikecam banyak pihak. Ormas Muhammadiyah, Forum Alumni HMI Wati (FORHATI), dan Majelis Ormas Islam (MOI) tak henti mempersoalkan Permen tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turun tangan. Hasilnya, MUI merekomendasikan agar Permendikbudristek No 30/2021 itu dicabut. Keputusan itu dibacakan dalam forum Ijtima Ulama yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (11/11).
Ulama menilai sejumlah isi dalam Permendikbudristek soal Kekerasan Seksual, bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD 1945.
“Meminta kepada pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi, merevisi Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi,” demikian bunyi rekomendasi Ijtima Ulama yang dibacakan dalam forum.
Ijtima Ulama menilai, Permendikbudristek itu sebetulnya bertujuan baik, demi mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus. Namun, aturan tersebut malah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Kontroversi itu disebabkan Permendikbud yang diterbitkan Mendikbudristek Nadiem Makarim itu tidak sesuai prosedur sebagaimana diatur dalam Undang-undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, muatan dalam Permendikbudristek tersebut juga dinilai bertentangan dengan syariat, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, peraturan perundang-undang lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
“Ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dalam Permendikbudristek 30 tahun 2021 bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, dan UUD 1945,” demikian dijelaskan.
Sebelumnya, Muhammadyah, MN FORHATI dan elemen masyarakat lainnya menolak keras Permendibudristek tersebut. Pasalnya, aturannya itu melegalkan seks bebas jika hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Frasa “tanpa persetujuan korban” di dalam Permen itu dapat diartikan bahwa terjadi tindak kekerasan seksual jika tanpa persetujuan korban yang dibahasakan jika suka sama suka maka tidak dianggap terjadi kekerasan seksual.
Keberadaan frasa tersebut membuka celah kebolehan melakukan kekerasan seksual, memantik, sekaligus memberi peluang bagi terjadinya perzinahan atas dasar persetujuan atau suka sama suka.
“Kekerasan seksual dan berbagai implikasinya mesti dipandang tidak hanya dalam konteks hubungan pesonal dan hubungan sosial semata-mata. Melainkan harus dilihat dalam keseluruhan konteks kebudayaan dengan berbagai nilai dan norma suatu masyarakat dan bangsa,” kata Koordinator Presidium MN FORHATI Hj Hanifah Husein dalam pernyataannya yang dikeluarkan Selasa (9/11/2021).
Karena itu, MN FORHATI mendesak Mendikbudristek Nadiem Makarim mencabut Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 itu, atau setidaknya menghapus pasal dengan frasa “tanpa persetujuan korban”.
Kritik juga datang dari Ormas Muhammadiyah yang menilai aturan tersebut memiliki masalah dari sisi formil dan materiil. Salah satunya, karena adanya pasal yang dianggap bermakna legalisasi seks bebas di kampus.
Penolakan juga datang dari Majelis Ormas Islam (MOI) yang meminta agar Permendikbud tersebut dicabut karena secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan. Nadiem pun didesak mencabut Permennya itu. (omg)
Komentar