Political Will Pemberantasan Korupsi (2-habis)

Oleh DR. Abustan SH, MH
(Dosen Magister Ilmu Hukum Pasca Saejana Universitas Islam Jakarta – UID}

PRAKEK korupsi telah “menerobos” pelaksanaan kedaulatan rakyat dan proses demokrasi itu sendiri. Kini pemerintahan daerah, suka atau tidak telah menjelma menjadi lahan yang potensial bagi pertumbuhan korupsi. Korupsi yang terjadi pada semua lini pemerintahan daerah di Indonesia, mengakibatkan masyarakat telah kehilangan kepercayaan (dis-trust).

Apalagi belakangan ini , paradoks pemberantasan korupsi semakin menguat. Penegakan hukum yang ada dapat dilihat, ketika lembaga Yudikatif justru lebih banyak memberikan keringanan hukuman (korting) vonis di tingkat Mahkamah Agung (MA) dan terakhir Mahkamah Konstitusi (MK) juga membuka pintu obral remisi bagi koruptor. Putusan yang dibacakan majelis hakim Mahkamah Konstitusi menjadikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi kurang relevan.

Bahkan, hemat saya sangat problematik dan kembali menunjukkan tak adanya political will pemberantasan korupsi. Belum lagi gelagat pimpinan parpol yang hanya diam, tak mampu memberikan reaksi ketegasan terhadap kader partai yang ada di pemerintahan daerah yang terlibat dalam pusaran korupsi . Kenyataan ini mengindikasikan kuat bahwa langkah demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat adalah masih panjang dan berliku. Korupsi, dalam kaca mata sistem merupakan produk (emergent) dari interaksi antar komponen sistem (Husni Muadz, 2014).

BACA JUGA :  Tauhid Sosial Ramadhan

Walhasil, political will seluruh elemen bangsa untuk memberantas korupsi menjadi sebuah keniscayaan . Bukan hanya dari rakyat semata , tetapi juga elit politik yang sudah saatnya tak lagi sibuk hanya sebatas memperjuangkan kepentingan pribadi (keluarga) atau golongannya. Akan tetapi, sesungguhnya dapat ditarik pemahaman bahwa demokrasi sebagai sistem pemerintahan, bermasyarakat, bernegara, dan menempatkan kekuasaan tertinggi dipundak rakyat. Pada titik inilah, negara mengemban amanah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sehingga, ketidakpedulian pada kondisi dan keberlangsungan demokrasi akan berkelindan erat dengan kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Jadi, demokrasi harus dipahami sebagai cara pendistribusian keadilan kepada seluruh rakyat. Demokrasi yang diikhtiarkan oleh koruptor yang bersembunyi di balik kewibawaan lembaga pemerintahan daerah pada gilirannya hanya akan menyengsarakan rakyat. Dalam kondisi pemerintahan daerah yang ada sekarang, memang dibutuhkan kerja keras melalui political will pemberatasan korupsi. Apalagi dengan keberadaan oligarki dan tumbuh suburnya “dinasti politik” juga menjadi fenomena penting di tengah perkembangan dinamika demokrasi beberapa tahun terakhir ini.

Atas dasar itu, political will pemberantasan korupsi dan sejumlah langkah terobosan guna meminimalkan pusaran korupsi di pemerintahan daerah yang banyak melibatkan pejabat daerah yang notabene juga adalah pimpinan parpol di daerah. Karena itu, penghukuman atau sanksi yang dikenakan haruslah maksimal atau sanksi yang berat. Baik hukuman yang dijatuhkn lembaga peradilan (Yudikatif) maupun dari Pimpinan Parpol pusat yaitu berupa sanksi pemecatan terhadap kader partainya.

BACA JUGA :  UU Cipta Kerja Salah Ketik, Pakar HTN Fahri Bachmid Tawarkan Tiga Opsi

Betapa pentingnya political will pemberantasan korupsi yang harus ditunjukkan aparat penegak hukum dan pimpinan parpol dalam menyikapi praktek korupsi yang ada di pemerintahan daerah. Hal itu, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa korupsi merupakan persoalan laten bangsa yang harus dibendung di era desentralisasi . Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga strategi untuk memberantas harus pula dengn cara luar biasa.

Akhirnya, semangat yangn harus dijaga untuk membendung laju korupsi di daerah adalah peningkatan sistem pengawasan , memutus mata rantai nepotisme kekuasaan , dan profesionalitas mental aparat pemerintah daerah. Dalam semangat yang seiring dan sejalan itu, kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis dan bebas dari korupsi , nepotisme dan oligarki, bukan lagi sebuah utopia. Akan tetapi, jika tak ada upaya serius dan kesungguhan untuk mencegah cengkraman oligarki dan nepotime kekuasaan di daerah. Maka, sekali lagi benar-benar korupsi tak terbendung di era desentralisasi sekarang ini.

Dan, sekali lagi, lebih ironis jika korupsi juga ikut diwariskan kepada dinasti keluarga.

Utan kayu, Jakarta 20 ​Oktober 2021

Komentar