Bang Sém
93 tahun Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928, adalah hasil Kongres Pemoeda 1928 sebagai fase lanjut perwujudan kesadaran kebangsaan (1905), komitmen kebangsaan (1908 dan 1911, 1912,1914) dengan pekik lantang gairah dan gerak merdeka (zelfbeztuur – berpemerintahan sendiri) diperkuat gerak aksi kebangkitan ulama (1926).
Soempah Pemoeda adalah produk kongkret kaum dengan komitmen kebangsaan kaum muda cendekia, yang memahami hakekat pluralitas dan multikulturalitas, yang secara radikal menegaskan eksistensi Indonesia, sebagai bangsa, bukan wilayah Hindia Belanda, koloni penjajah asing. Bangsa beragam yang hidup dalam satu tanah air, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Kini kita hidup di tengah pusaran zaman yang sungsang. Zaman tanpa kepastian, gamang, ribet, dan mendua. Zaman yang bergerak cepat menuju peradaban imajinatif, era Khalayak 5.0 yang ditopang kemajuan ilmu pengetahuan dan perangkat teknologi informasi digital.
Di tengah zaman semacam ini, mestinya, trilogi Soempah Pemoeda merupakan nilai dasar bagi siapa saja yang mengaku Indonesia. Nilai dasar perjuangan, tonggak gerakan kemerdekaan, yang meluah melalui proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yang ditanda-tangani Soekarno – Hatta dan dibacakan oleh Soekarno.
Mestinya, penguasaan atas nilai dasar perjuangan yang tercemin dalam trilogi Soempah Pemoeda menjadi pelajaran pertama siapa saja yang ingin menjadi pemimpin bangsa ini. Khasnya kini, ketika Indonesia memasuki fase konsolidasi kebangsaan, dengan beragam ironi yang menebar begitu banyak tragedi.
Fase konsolidasi kebangsaan di tengah banyaknya politisi, tetapi sedikit negarawan; banyaknya petinggi, tetapi sedikit pemimpin; banyaknya kaum terdidik dan akademisi, tetapi sedikit intelektual; banyaknya pedagang, tetapi sedikit wirausaha.
Fase konsolidasi kebangsaan di tengah demokrasi direduksi pemahamannya hanya sekadar pada perebutan kekuasaan yang mendorong berbagai komponen dan elemen bangsa digiring ke dalam pemikiran, “bagaimana berkuasa,” tanpa pernah matang memaknai hakikat kuasa, kekuasaan, dan untuk apa berkuasa.
Fase konsolidasi yang teramat berat karena gerakan politik berlomba-lomba berkuasa, terkontaminasi oleh pragmatisme politik dan politik transaksional, yang menyediakan tempat terhomat bagi oligarki. Penguasaan seluruh potensi sumberdaya, yang masih terus menerus memandang manusia sebagai sumberdaya, bukan sebagai modal – investasi kebangsaan dan peradaban.
***
Oligarki mengoyak trilogi Soempah Pemoeda, ketika tanah air hanya dimaknai sebagai tanah dan air, yang amat mudah dimiliki oleh segelintir orang dan menimbulkan ketimpangan sosial yang curam. Tanah dan air yang membentang jarak amat jauh antara membelah kelompok orang sangat kaya dengan rakyat sangat miskin. Menyuburkan dan menyemai kemiskinan (konsisten dan persisten, struktural dan kultural).
Oligarki yang melumpuhkan kesadaran dan antusiasme kebangsaan, sehingga kita harus mengeja ulang esensi – maknawi atas ke-Indonesia-an kita yang dihidupkan oleh simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta.
Oligarki yang menghadap-hadapkan anak bangsa, seolah-olah sebagai musuh, yang memantik aksi anarki, meninggalkan budi, akhlak, pekerti, yang menjadi cara dan ciri ke-Indonesia-an.
Oligarki yang merangsek, dan pada masanya, akan menghadapkan bahasa Indonesia sebagai jati diri budaya bangsa merdeka, pada ancaman sangat serius, yakni pelemahan ke-Indonesia-an.
Ancaman itu sudah nampak bayang eksistensinya, ketika di daerah-daerah tertentu yang menjadi destinasi investasi asing, penguasaan bahasa asing dari negeri dan bangsa asal investor, disiapkan sebagai syarat utama – bahkan – untuk sekadar menjadi buruh kasar di kampung sendiri.
Ancaman itu sudah nampak dengan berkecambah dan bekembangnya sumpah serapah pemuda akibat ketidak-adilan yang terbiarkan menjadi realitas brutal di tengah khalayak. Sumpah serapah pemuda yang terpantik oleh beragam perilaku biadab. Antara lain: maling dana bantuan sosial untuk rakyat miskin, yang diglorifikasi dengan istilah korupsi; main (berjudi) dengan masa depan, yang antara lain ditandai dengan kebiasaan berutang; madon (melacur) secara konotatif dan politis dengan mereduksi sesanti ‘maju tak gentar membela yang benar’ menjadi ‘maju tak gentar membela yang bayar;’ madat (mabuk) kuasa memburu tahta dan harta dengan segala cara, mendahulukan status dan simbol sosial, katimbang dimensi kedalaman insani; mateni (membunuh) dalam makna konotatif dan denotatif, dengan membiarkan berlangsungnya proses pembunuhan karakter, dan menghambat karir mereka yang konsisten dan berpotensi menjadi pemimpin. Antara lain dengan menghidupkan kembali perkoncoan nepotistik, yang dulu digempur beramai-ramai.
Untuk mereka yang masih sungguh cinta kepada tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia, hidup-hidupkan dalam kehidupan nyata trilogi Soempah Pemoeda sebagai sumpah kebangsaan.
Kuatkan kembali komitmen kebangsaan dan tegakkan secara konsekuen, sebelum sumpah serapah pemuda, menjadi topan dahsyat yang akan menghempas, lalu menenggelamkan kita ke dalam tanah air mata ( seperti puisi Sutardji Calzoum Bahri). |
Komentar