MAK LAMPIR

Bang Sém

MULANYA adalah kisah legenda, Misteri Gunung Merapi yang ditulis Niki Kosasih, yang sebelumnya menulis cerita Saur Sepuh. Niki adalah penulis cerita sandiwara radio yang punya daya fantasi kuat, sehingga ketika naskahnya di-alihmedia-kan ke film atau sinetron, penulis skenario dan sutradara mempunyai ruang kreatif yang luas.

Misteri Gunung Merapi berangkat dari kisah fantasi yang seolah-olah terjadi di era pengembangan Nusantara islami (berbeda hakiki dengan Islam Nusantara) masa para wali. Era Dasawali yang kemudian menjadi Wali Sanga, setelah Syeikh Siti Jenar – sebagaimana Al Halaj — diangkap menyimpang dari prinsip dasar tauhid.

Bermula dari aksi dakwah yang menyisir sinkretisme, sehingga praktik ajaran Islam tak tercemari oleh khurafat dan berbagai ritual dan aksi yang sejenisnya. Termasuk ritual dan aksi yang dapat dikategorikan sebagai syirk. Menyekutukan Allah.

Di situ terjadi konflik dramatik antara sosok protagonis Ki Ageng Prayogo yang digambarkan sebagai murid Sunan Kudus versus Mak Lampir sebagai sosok antagonis — dan diperankan sangat maksimal oleh Farida Pasha — yang meimpin sekte Teratai Tawny, yang dianggap piawai menjalin komunikasi (sehingga memperoleh daya luwih dari) Batara Kala. Sekte ini bepusat di gua setan.

Mak Lampir ditabalkan sebagai sosok penebar teror yang suka menggunakan daya empirik dan non empirik, termasuk daya dalam menggerakkan ‘tangan-tangan tersembunyi’ – invisible hand network.

Dalam rangkaian cerita sinetron serial format 60 menit, yang tayang sejak 1 Nopember 1998 – sebanyak 369 episode di salah satu stasiun televisi – Mak Lampir digambarkan sebagai pihak yang dengan ilmu hitamnya, mengambil manfaat di tengah perlawanan sengit Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah melawan penjajah asing.

BACA JUGA :  Tidak Mungkin bagi Ahok-Djarot, Sangat Mungkin bagi Anies Baswedan

Lewat kaki tangan penjajah, Mak Lampir terkoneksi dengan penjajah. Ia mengikat ‘kontrak politik’ dengan penjajah yang sedang memuncak ambisinya melumpuhkan kekuasaan Demak dan berbagai kesulatanan di Jawa yang makin kuat memeluk Islam.

Fantasi dan ilusi terus berkembang dalam alur dan dramatika yang — pada masanya — dikemas dengan menarik, antara lain menggunakan sling untuk pengambil pertarungan silat di udara. Masa itu, kemampuan kita melakukan animasi memang belum memadai. Walaupun, teknik chroma key untuk siaran televisi sudah berlangsung.

Sosok Mak Lampir — yang entah bagaimana, dirias menjadi semacam Hulk yang seram mengikuti fantasi tentang hantu —, meskipun akting Farida Pasha memainkan sosok itu sudah berhasil menampakkan sosok Mak Lampir yang antagonis dan menjadi petinggi kaum pengikut iblis.

Cerita Mak Lampir kemudian bergeser dengan heavy point ke pertarungan silat, polarisasi konflik aliran ilmu hitam versus ilmu putih (berbasis agama). Bergeser dari substansi perkongsian Mak Lampir dengan penjajah yang menjadi gembong kaki tangan dan teroris yang selalu mengganggu kesultanan Demak, menjadi sisik melik arus besar pusaran ilmu hitam dalam realitas kehidupan khalayak.

Saya menduga perubahan itu terjadi karena special order para programer di stasiun televisi yang lebih memburu tv rating sebagai cara klasik memburu iklan. Kini dengan perubahan platform sebagai konsekuensi logis perkembangan media dan channel, kebijakan itu tak lagi relevan.

Mak Lampir Tak Lagi Seorang

BACA JUGA :  Berebut Masuk “KAMI”

Dilihat dari perspektif sosiologi politik yang terkoneksi dengan antropologi dan sosiologi budaya, apa yang dilakukan Mak Lampir terhadap Kesultanan Demak — seandainya nyata — merupakan bentuk penghianatan yang berdimensi besar. Bahkan boleh disebut sebagai penghianatan kebangsaan, yang melalui prisma kekuasaan, zona kiprah aktor-aktor penghianat (kepanjangan atau kaki tangan penjajah), kala itu relatif sempit.

Pola penghianatan Mak Lampir — minus fantasi gelap daya ilmu hitamnya — dalam banyak hal selaras dengan perkembangan perubahan politik abad XX, ketika dominasi Eropa – Amerika masih sangat kuat. Dan, perang dingin Blok Timur versus Blok Barat amat sangat terasa.

Khasnya, ketika pergeseran konteks politik-ideologis berkorelasi (dengan segala variabelnya) dalam berbagai cara, tetapi tidak terbatas. Terutama, ketika penegakan hukum berjarak dengan keadilan, ketika ptaktik politik berjarak dengan ideologi kebangsaan dan terperosok dalam jebakan politik transaksional. Dua faktor yang berjalan paralel dan menimbulkan aksi penghianatan di jalur ekonomi: maling uang negara dan uang rakyat — yang diglorifikasi dengan istilah korupsi.

Dalam sinetron serial Misteri Gunung Merapi, dengan rumus penceritaan berbasis logika klasik: yang putih mengalahkan yang hitam, Mak Lampir mati, dan segala daya dan pengaruhnya mati.

Saya membayangkan karakter Mak Lampir tak pernah mati dalam realitas kehidupan pertama, realitas politik kebangsaan sejak abad XX sampai kini. Model-model penghianatannya, bahkan berkembang dengan beragam format dan platform, mengikuti perkembangan format dan platform neo koloniasme dan neo imperialisme.

Hal itu nampak dari ketimpangan kepemilikan lahan antara rakyat dengan segelintir orang, disparitas sosial ekonomi, meluasnya cyber warrior dan cyber trooper dalam penguasaan komunikasi publik yang terus menerus terkontaminasi, disorientasi pemahaman ideologi kebangsaan, reduksi demokrasi, dan pembiaran atas beragam fakta brutal yang bergerak ke arah reduksi dan deformasi demokrasi.

BACA JUGA :  Antara Hati dan Jantung Kau Bertahta

Di sisi lain, pelemahan gairah dan rendahnya ghirah sosialisme religius, sosialisme kebangsaan, dan sosialisme kerakyatan terus bergerak menuju titik nadir. Paling tidak, sejak philantropi politik dalam konteks kapitalisme global digerakkan George Soros, menyusul pertarungan ideologi politik dunia, setelah ‘robohnya’ tembok berlin.

Platform FDI (foreign dircet investment) dalam tata kelola negara yang banyak mengubah kebijakan fiskal, meningkatnya utang luar negeri (negara dan swasta), pembebanan pajak atas rakyat, adalah gambaran nyata. Rakyat nyaris tak pernah beroleh informasi jelas dan jernih tentang neraca keuangan negara.

Praktik politik kapitalis yang pernah dipakai penjajah untuk memelihara Mak Lampir dan pengikutnya dalam cerita fantasi Misteri Gunung Merapi, mengalami alih cepat dari realitas kedua di ruang fantasi ke realitas pertama di ruang realita. Terutama ketika intuitive reason nampak dan sangat terasakan mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik secara luas.

Dalam cerita fantasi serial televisi itu, sosok Mak Lampir hanya ada satu. Di abad XXI ini, boleh jadi, sosok Mak Lampir begitu banyak bilangannya. Sosoknya pun tak lagi seorang nenek dengan wajah yang menyeramkan, tetapi lelaki dan perempuan, tua muda, betongkat partai politik, organisasi kemasyarakatan, dengan dupa berbentuk gadget. Tak berasap setanggi, melainkan bayang misteri data dan informasi yang tersimpan dalam cloud dan internet on think. |

Komentar