TILIK.ID — Majelis Purmusyawaratan Ummat Islam Indonesia (MPUI-I) telah menggelar sidan umum, seminar dan lokakarya Problematika Ummat Pasca Pandemi. Rangakaian kegiatan itu dilakukan pada 15-16 Oktober 2021 di Hotel Satya Graha Yogyakarta.
Sidang Umum dihadiri oleh para anggota MPUI-I dari 19 provinsi di Indonesia, dari NAD hingga Papua Barat, dari Nusa Tenggara hingga Maluku Utara.
Dari rangkaian kegiatan itu, MPUI-I menghasilkan rumusan dan rekomendasi yang diberi judul “Seruan Yogyakarta”. Seruan itu oleh publik diviralkan kemana-mana.
Dalam “Seruan Yogyakarta” itu, MPUI-I mengajak seluruh komponen bangsa, utamanya ummat Islam untuk bersatu menjaga kedaulatan NKRI, menjaga persatuan, dan senantiasa bersandar pada Allah SWT.
MPUI-I juga meminta pemerintah menghentikan kudeta konstitusional dan banyak maladministrasi publik yang telah mengancam amanat para pendiri bangsa dan negara Republik Indonesia.
Meminta kekuasaan untuk menghentikan diskriminasi hukum dan melakukan proses penegakan hukum yang adil. Pelanggaran HAM berat atas 6 laskar FPI di KM50 perlu segera diselesaikan tuntas secara terbuka. Pengadilan atas Habib Rizieq Shihab harus dilakukan dengan adil.
MPUI-I akan mengambil peran sebagai sahabat keadilan amicus curiae bagi setiap warga negara untuk memastikan proses penegakan hukum yang adil dan beradab serta prinsip equality before the law, dan rule of law.
Dalam seruan, MPUI-I juga menyinggung tatakelola penanganan pandemi Covid-19 yang tidak berorientasi pada politik kesehatan publik sesuai amanah konstitusi. Penanganan pandemi memberi peluang untuk kepentingan sekelompok orang dan imdustri kesehatan asing, serta merampas kebebasan sipil.
Menurut MPUI-I, dalam beberapa tahun telah terjadi Kudeta konstitusional melalui perubahan dan penciptaan UU secara serampangan sebagai bentuk
pengkhianatan atas amanat para pendiri bangsa sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD45 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Kudeta konstitusi itu segera diikuti oleh rangkaian maladministrasi publik secara luas dimana undang-undang diciptakan dan ditafsirkan untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk kepentingan publik.
Kemudian, tugas-tugas negara untuk melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia telah diselewengkan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Tak hanya itu, menurut hasil sidang umum MPUI-I, diskriminasi hukum telah terjadi semakin sistemik, termasuk pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan tanpa koreksi efektif sehingga membahayakan prinsip-prinsip Republik.
Penegakan hukum oleh aparat penegak hukum telah berlangsung secara tidak adil dan semena-mena. Pemerintah semakin memanipulasi hukum untuk kepentingan kekuasaan atau to rule by law.
Karena itu, kehidupan ekonomi yang tidak berkeadilan, pendidikan yang tidak memerdekakan, dan kehidupan sosial budaya yang menghinakan dan politik yang tidak membawa kebajikan publik, memerlukan perubahan-perubahan mendasar konstitusional untuk diselaraskan kembali sesuai amanah Proklamasi.
Dalam seruan juga disinggung pernyataan _public health emergency of international concern_ oleh WHO dan semua protokolnya telah diadopsi oleh Pemerintah tanpa melalui wacana publik yang memadai. Hal ini menyebabkan kerusakan ekonomi, sosial dan budaya serta pendidikan dengan konsekuensi jangka panjang yang luas yang berpotensi membahayakan kedaulatan dan merusak bonus demografi.
Pemaksaan berbagai protokol kesehatan, termasuk vaksinasi, telah merampas hak-hak warga negara yang merdeka. (lmj)