Bang Sém
DI lingkungan masyarakat Betawi ada istilah kobakan. Setelempap genangan air kotor di laman atau di ladang.
Di masa lalu, di laman rumah perkampungan kaum Betawi selalu ada lima tempat yang berhubungan satu dengan lainnya yang lokasinya berjarak. Yakni: sumur cemplung, kamar mandi dan tempat mencuci, kakus, kobakan alias MCK (mandi, cuci, dan kakus), dan tempat nabun atau tempat untuk mengumpulkan sekaligus membakar sampah, tak terkecuali sampah daun kering.
Ketika beranjak belia, saya kerap mendengar istilah ‘politisi kobakan.’
Istilah ini ditabalkan kepada politisi yang gemar melakukan aksi kampanye — agitasi dan propaganda — dan pengendalian informasi secara kotor dalam menghadapi lawan politik. Aksi komunikasi politik dan komunikasi sosial secara kotor. Aksi ini berbarengan dengan tindakan represif yang dilakukan oleh penguasa yang menganut rezim otoriter. Rezim buli (buta tuli).
Menempatkan siapa saja yang mendistribusikan informasi benar, namun berbeda dengan informasi yang didistribusikan rezim, sebagai pembangkang alias lawan politik.
Siapa saja yang dianggap pembangkang dan lawan politik, dicurigai sebagai ancaman, selalu dijadikan target politik untuk ditangkap dan ditahan secara ilegal tanpa akses ke advokat (pengacara) selama berbulan-bulan.
Rezim buli masih berlangsung di China sampai dekade terakhir. Bahkan beberapa tahun terakhir, seperti terekam dalam tulisan Heather Timmons dan Ilaria Maria Sala (2016).
Kedua penulis ini bercerita tentang Kong Lam Wing, penerbit dan pemilik kedai buku di Hongkong yang mengalami nasib jadi sasaran rezim. Lam terpaksa menghilang selama beberapa masa, dan kemudian menggelar konferensi pers setelah keamanannya dijamin oleh berbagai kalangan.
Lam yang juga banyak mengeritik penguasa dan terlibat dalam berbagai aksi protes di Hongkong, segera menjadi sasaran politisi kobakan.
Menyumbat dan Membungkam Kritik
Komunikasi politik kotor para politisi kobakan, menurut Timmons dan Sala, memang telah lama menjadi alat politik yang nyaman bagi Beijing.
Strategi komunikasi politik kotor, itu dilakukan dan ditujukan kepada siapa saja yang dianggap musuh politik atau figur pemimpin yang banyak mendapat simpati dan beroleh dukungan di dalam atau di luar China.
Selain untuk menyumbat dan membungkam kritik, politisi kobakan menggunakan komunikasi politik dan sosial secara kotor untuk membunuh karakter dan menenggelamkan popularitas siapa saja tokoh dan pemimpin yang dipandang sebagai lawan politik.
Tak jarang, aksi komunikasi politik dan sosial secara kotor itu berbarengan dengan tindakan agitasi dan propaganda yang lebih brutal disertai ancaman yang dikemas dengan ‘wajah’ atau bentuk lain.
Beberapa tahun (April 2011), sebelum serangan yang dialami Lam, seniman seni rupa Ai Weiwei, ditangkap. Ketika itu, Weiweisedang memproduksi karya seni yang dianggap politis dan bertentangan dengan laporan resmi penguasa ihwal ribuan anak yang tewas akibat gempa bumi di Sichuan.
Menariknya, di persidangan yang mengadilinya (Juni 2011), Weiwei didakwa melakukan pembangkangan untuk kasus penyimpangan pajak. Sikap politik dan karyanya, yang semula dianggap sebagai pembangkangan politik, tidak sekalimat pun disebut dalam dakwaan.
Persis seperti yang dialami pengacara Xu Zhiyong, yang menjadi pengacara – pembela keluarga korban skandal susu anak-anak terkontaminasi 2008. Pendiri Gerakan Warga Baru, yang merupakan bagian dari komunitas pengacara yang mendorong hak-hak yang lebih besar, itu dijatuhi hukuman dan menjalani hukuman 4 tahun penjara karena “penyimpangan pajak dan mengganggu ketertiban umum.”
Tekanan dan hukuman saja tak cukup untuk Lam, Weiwei, dan Zhiyong. Para politisi kobakan juga gencar menyerang mereka dengan pusaran arus informasi, sehingga semua orang, mulai dari pacar, istri, keluarga, dan koleganya, bahkan hingga berbagai pejabat, secara terbuka menyebutnya pembohong dan lebih buruk lagi.
Aksi Membunuh Karakter
Para politisi kobakan, melakukan aksi komunikasi politik dan sosial dengan tujuan membunuh karakter siapa saja yang menjadi sasarannya.
Aksi itu, seperti ungkap Timmons dan Sala, dapat ditandai dengan beberapa aksi yang nampak sudah terformat.
Aksi Pertama, serang orangnya, bukan aksi politiknya. Dengan aksi semacam ini, secara penetratif hipodermis, siapa saja yang dianggap lawan politik, akan lumat, dan mereka akan terbunuh karakternya. Kesan yang akan ada di benak khalayak, mereka bukanlah figur atau pemimpin baik, berprestasi dan pantas diikuti.
Mereka adalah pembangkang jahat, pembohong dan tak pantas diidolakan.
Aksi Kedua, cari kesalahan dan kekeliruan figur dan pemimpin yang dianggap sebagai lawan politik, eksplorasi kesalahan itu secara penetratif hipodermis dengan secara multimedia, multi channel dan multi platform, sehingga opini dan presumsi negatif khalayak menekan, dn paksa sampai lawan politik dengan beragam cara, mengakui kesalahan dan kekeliruannya yang mungkin hanya setitik noktah saja.
Aksi Ketiga, bila tak mampu menekan figur sasaran, alihkan tekanan kepada keluarganya, sampai mereka diam-diam atau berterus terang mengakui agitasi dan propaganda kotor itu sebagai suatu kebenaran. Patrick Poon, peneliti China untuk Amnesty Internasional di Hongkong, menyebut pola dari beragam kasus, dimana keluarga dan kolega figur lawan politik berada di bawah tekanan untuk mengatakan hal-hal yang selaras dengan agitasi kotor itu, dan menentang figur yang dianggap lawan politik itu.
Aksi Keempat, isu buruk tentang figur yang dianggap lawan politik, berkembang dari mulut ke mulut melalui celah bibir perempuan penggosip dan pembenci, melalui intensitas distribusi informasi wadul (rumors, hoax dan fitnah).
Aksi Kelima, sebarkan secara simultan rasa takut bagi siapa saja untuk melakukan kritik, mengekspresikan sikap berbeda, dan kesankan dampak buruk menakutkan atas setiap pembangkangan atau sikap kritis, itu. Termasuk stigmatisasi kelam atas semua kalangan kritis dengan beragam label yang mudah dihafal, diucapkan, dan dikenali khalayak secara populer dan sambil lalu.
Kelima aksi agitasi politisi kobakan tersebut merupakan bagian dari aksi penghancuran nalar publik untuk menghadang siapa saja figur dan pemimpin yang dianggap berbahaya dan mengancam kekuasaan. Sekaligus menaikkan pamor politisi kobakan, seolah-olah sebagai penyelamat negara dari ancaman yang mereka ‘gambang’ sendiri.|
Komentar