Biduan Posat di Panggung Politik

Bang Sèm

bangka belitung negeri kepulauan
bagai manikam dilingkung segara
kalaulah baru jadi biduan
jangan pun hendak mengatur negara

KARENA  menganut sistem demokrasi liberal one man one vote dan meninggalkan prinsip musyawarah mufakat berbasis perwakilan sebagaimana yang dicitakan para pendiri Republik, banyak orang yang salah tampa tentang hakikat suksesi kepemimpinan.

Partai-partai politik meninggalkan tugas utama sebagai institusi khalayak, mendidik rakyat. Sibuk mengurus satu ihwal saja, yakni: berkuasa!

Tertib berfikir sesuai prinsip memetik, berorientasi akal budi, berubah menjadi akal-akalan politik.

Komunikasi politik pun berubah wujud menjadi sekadar melontar ekspresi sentak sengor, memproduksi pembenaran sambil mengambil jarak terhadap kebenaran.

Politisi tak bisa diharap berwatak negarawan, karena mimpinya hanya menjadi petinggi negeri dan negara.

Ketika muncul sejumlah anak belia kelahiran pasca era baby boomer mendirikan partai, saya sempat menaruh harap, akan ada sesuatu yang baru dan segar dalam kancah politik.

Begitu menampakkan sosoknya, tiada lagi harap dan asa itu. Tak hanya karena di balik pendirian partai itu terdapat sejumlah orang-orang yang gagal di kancah politik di masa sebelumnya. Juga karena anak muda yang tampil mengurus dan mengelola partai itu, bukan bibit unggul.

BACA JUGA :  China Gerah Istana Gelisah?

Partai, pemimpin, dan aktivisnya masih berada dalam dunia fantasi politik dengan intuitive reason, sehingga gemar menggiring mimpi politis mereka tergelincir masuk ke dalam jebakan fantasi politik. Bahkan tak mampu keluar dari lika – liku katastrop politik.

Dalam situasi semacam itu, yang bisa mereka lakukan adalah memanjat dinding katastrop secara teknikal dan taktikal. Tanpa strategi. Akhirnya berkutat dengan modal ilmu marketing politik seadanya, sehingga tak juga paham bagaimana melakukan paradigma baru menempatkan dan menegaskan posisi yang tepat di tengah konstelasi politik.
Satu-satunya andalan hanyalah menjadi bagian dari partai koalisi pendukung rezim yang berkuasa.
***
Meski belajar pola marketing mutakhir, yang mencoba memanfaatkan singularitas sebagai efek dari perkembangan teknologi dan informasi, dengan konsentrasi pada produksi gadget. Hasilnya, taktik politik mengikuti arus pusaran komunikasi sosial yang cenderung menghancurkan nalar khalayak.

Celakanya, gaya komunikasi politik lama, masih mereka pakai: “Pilih kalangan ternama dan dengan pamor gemilang sebagai lawan politik.” Secara matematis, mereka berfikir, “Melawan dan menghajar tokoh berpamor gemilang sebagai lawan, akan menaikkan level posisi.”

BACA JUGA :  Anies, Kilas Balik Jakarta dan Indonesia

Hasilnya? Kalangan khalayak segenerasi tak terpikat, kalangan lain menjadi muak! Taktik menaikkan pamor sebagai upaya menaikkan level dengan cara mencerca, menista, membuli, dan menebar perwadulan (gosip, hoax, fitnah), justru menjadi boomerang. Mereka seperti bermain squash, memukul dan menangkis bola sendiri.

Argumen-argumen politik yang mereka hamburkan ke khalayak melalui media dan media sosial, berakhir dengan dengan sia-sia, karena mereka mengubah realitas pertama politik menjadi realitas kedua dalam fantasi politik.

Rumus popularitas similiar dengan elektabilitas yang dicurahkan para mentor politik mereka, ‘jauh panggang dari api.’

Jurus budaya pop nampak pula mereka mainkan. Ulik mengulik teori komunikasi sosial dan politik, pasang reklame ‘melahirkan’ tokoh bak mengiklankan consmer goods atau food and beverages yang mudah diusukai anak-anak. Tapi tak pula mendapat respon, kalah dengan reklame yang mengiklankan mie instan dan cairan pencuci piring. Karena tokoh yang hendak dilahirkan, sekadar biduan ‘posat’ – populer sesaat.

Biduan posat, meminjam syair allahyarham musisi legendaris Hussein Bawafie, “duduk tegak berdiri canggung.” Tergelincir dari popularitas panggung musik bermodal lagu hit yang dinyanyikan berulang-ulang di semua sarana massa, karena membosankan — tambah pula kualitas vokal dan performanya pas-pasan — hendak dijadikan pula biduan di panggung politik. Beda kelas dengan Ahmad Dani, Anang Hermansyah, Alip Ba Ta, Krisdayanti, dan lainnya.

BACA JUGA :  AWAS GEJOLAK SOSIAL

Biduan dari perkumpulan segudang impian yang sedang melata mencari popularitas di panggung politik ini, akan dengan sendirinya hanyut tepian perubahan politik yang bakal terjadi. Terutama, ketika arus perubahan politik yang tak terduga, berlangsung di negeri ini.

Banteng bersandar di pokok beringin
Burung garuda terbang berlepas
Maksud hati menggiring angin
Apa daya angin menghempas |

Komentar