Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
MUSIM semi represi! Kritik dan oposisi, sebagai tradisi demokrasi, dihadang represi yang menjadi kelaziman otoritarianisme. Menghasilkan sejumlah peristiwa yang menandai corak hubungan penguasa dengan rakyat dewasa ini.
Memang, semakin banyak elemen kritis berkembang dalam masyarakat. Gejala wajar dalam lingkungan sosial-politik yang intens memunculkan ketidak puasan umum.
Tampilan represi tampaknya tidak berubah dari waktu ke waktu. Pembubaran organisasi, (menimpa FPI dan HTI). Argumen ideologis penguasa mengemuka dalam tindakan ini. Ukurannya tentu saja Pancasila. Dengan catatan, memampatkannya menjadi Trisila tidak termasuk kudeta terhadap Pancasila.
Pemidanaan aktivis dengan tuduhan menyebarkan hoax berdasar UU ITE, dialami Jumhur, Syahganda, … . UU itu digdaya serta, mudah bercampur dengan sejenis karet sintetis. Munarman termasuk dalam genre ini, dan para mantan tentara yang bersuara kritis (Ruslan Buton, Kivlan Zen). Tentu, HRS tampil sebagai kasus paling aneh dan fenomenal. Pemidanaan (khususnya) ulama Islam, atas tuduhan ujaran kebencian, potensial masuk kategori ini.
Terdapat sederet nama, kasus terbaru dialami Ustadz Yahya Waloni, segera setelah Kece si penghujat Islam ditangkap. Sementara teman-teman Kece sesama penghujat Islam, masih bebas berkeliaran.
Penculikan dan pembunuhan selalu menjadi peristiwa yang menandai tingkat kegentingan tertentu sesuai kalkulasi keterancaman penguasa. Jumlah kasus pembunuhan dimaksud jelas berkait dengan level ketegangan penguasa versus rakyat. Metode represi jenis ini, sementara menimpa 6 orang anggota FPI, pengawal HRS.
Penangkapan aktivis dan mahasiswa. Mereka tidak melakukan aksi demo skala besar. Bahkan cenderung sebagai aksi solo atau kelompok kecil. Hanya membentangkan poster sebagai media penyampai pesan yang murni aspirasi pada momen kunjungan presiden. Seorang peternak ayam di Blitar mengeluhkan harga jagung, mahasiswa di Solo prihatin atas kondisi KPK. Semuanya ditangkap! Para seniman mural potensial dicaplok kategori ini.
Publik tentu ingat, sebagai Capres, ketika kampanye dulu, Jokowi dengan culunnya mengungkapkan rasa rindunya didemo. Dan, memang, selama menjabat, berulangkali demo besar digelar, memrotes kebijakan pemerintah. Tentu banyak yang ditangkap. Juga korban jiwa. Presiden tampaknya sedang sangat sensitif, bukan terhadap esensi pesan yang tertera pada poster itu. Sensitivitas yang merangsang multi tafsir.
Praktik represi yang memiliki nilai kebaruan: uji wawasan kebangsaan (pegawai KPK), ……., dan pengusuran rumah (properti). Kali pertama menimpa HRS, dan, kali ini, Rocky Gerung. Tangan korporasi yang bergerak. PTPN (kasus HRS) dan Sentul City pada kasus Rocky.
Gejala yang juga menarik: somasi dan (pengaduan) pejabat (LBP, MDK) terhadap aktivis HAM (Haris Azhar, …. ) terkait statement, ekspose data yang mengungkapkan praktik penguasa pengusaha beraroma praetorianistik.
Para pihak yang berkompeten tentu dapat menjelaskan seluk beluk represi itu. Merekalah yang memiliki kemampuan menelisik variabel yang tepat serta memetakan tipologi represi secara meyakinkan. Kaum awam sekedar menduga: pengaduan aktivis sebagai upaya pembungkaman, penangkapan mahasiswa sebagai kegenitan represi.
Pemenjaraan aktivis sebagai aborsi oposisi, penggusuran sebagai hasrat represif yang menemukan akal, …….. Syukur bila disisipkan penjelasan tentang hukum akumulasi dan ambang batas toleransi atas represi.
Sejauh ini, represi mulus menggelinding. Tak ada kekuatan yang efektif melerainya. Bahkan, pada kasus FPI, HRS, tak banyak pihak yang peduli. Sementara tangan-tangan represi semakin trengginas.
Sekalipun demikian, Haris Azhar melawan. Rocky jelas melawan. Sekitar 6000 jiwa tetangganya setarikan nasib: digusur!
Apakah daya lawan mereka bakal memicu terbukanya kotak (sejenis) Pandora perlawanan? Boleh jadi!
Komentar