Amandemen: Aman Demi Siapa?

Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

EMPAT kali sudah MPR mengubah (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, bangsa ini sudah terbiasa dengan amandemen.

Memang, sejumlah pihak menilai amandemen itu menjadi pangkal permasalahan dewasa ini: ketakberdaulatan! Lalu, sejumlah pihak menyerukan agar kembali ke UUD 1945 yang asli. Sebagaian menyeru agar dilakukan amandemen (lagi) untuk mengoreksi-menyelaraskan hasil 4 kali amandemen sebelumnya, dengan kemurnian hakikat, nilai dan semangat UUD 1945 yang asli.

Ketua MPR Bambang Soesatyo sowan ke Istana Bogor. Menghadap Presiden. Tindakan yang dikecam keras Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) lantaran dinilai menyalahgunakan wewenangnya, juga menjatuhkan wibawa lembaga MPR RI.

Bambang memang mengaku membicarakan rencana amandemen. Lebih lanjut, Bambang menjelaskan amandemen terbatas, tidak akan menjadi bola liar terkait perubahan perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi tiga periode. Amandemen dilakukan secara terbatas khusus mengatur mengenai Pokok Pokok Haluan Negara, sejenis GBHN era Orba.

Amandemen UUD 1945, berbahaya! Kata seorang pengamat. Tak ada yang menjamin ke-terbatas-an itu. Dapat dimengerti karena memang dalam perkara seperti itu (sekadar contoh: kasus Omnibus Law), akal bulus para elite acap takterelakkan.

BACA JUGA :  Akankah Terjadi Gejolak Sosial yang Besar?

Muncul kekawatiran yang amat serius amandemen menjadi pintu masuk perubahan pembatasan periode jabatan Presiden. Tak lagi hanya 2 periode, tapi bisa lebih: 3, 4, …X peiode. Atau penambahan masa jabatan, tak lagi 5 tahun.

Politik, kata John Dewey: bayang-bayang dalam masyarakat yang diciptakan korporasi. Korporasi sarana memroduksi kekayaan. Dari sanalah muncul oligarki. Dan, sejumlah kalangan meyakini, Indonesia dewasa ini menjadi istana kaum oligark yang merajalela guna mempertahankan kekayaan, kata Jeffrey Winters. Juga melipatgandakannya.

Isu amandemen tampaknya muncul sebagai antisipasi atas situasi kritis dan kegamangan terhadap masa depan yang terbayangkan, 3 – 5 tahun kedepan. Kaum oligark pasti tak rela berbagai keistimewaan yang diperoleh dari kekuasaan yang telah dibangun akan berantakan. Dapat dipastikan, kaum oligark bertekad melanggengkan cengeramannya atas sumber kekayaan: SDA yang melimpah. Selain, Indonesia tempat yang nyaman dan dapat menampung puluhan juta pendatang untuk bermukim. Sebagaian memang sudah berdatangan. Tentu, pelanggengan itu membutuhkan sejenis pendasaran ideologis.

Boleh jadi, isu amandemen kali ini, menunjukkan kaum oligark belum menenukan atau tidak yakin ada figur yang dapat menggantikan, dalam arti, dapat bersikap sebagaimana Presiden sekarang ini.

BACA JUGA :  A Riza Patria: M Taufik Dicopot dari Wakil Ketua DPRD DKI karena Sudah Lama Menjabat

Sebelumnya tersiar rumor Presiden Jokowi juga kaum oligark bakal mendukung Ganjar. Bagaimanapun, Ganjar memiliki kasanggupan berlaku seturut pikirannya sendiri. Potensial selektif dalam memfasilitasi kaum oligark. Ganjar dipandang lebih punya otak. Juga membawa beban “idealisme” sebagai representasi generasi baru dan antitesa Orba. Jadi, Ganjar membawa potensi bahaya bagi kehendak kaum oligark.

Megawati sebagai ‘Ibu Agung’ dan Ketua Umum PDIP, di atas kertas memiliki kekuasaan yang besar. Saat ini, PDIP belum menentukan sikap terhadap amandemen. Hanya, sempat menangis beberapa waktu lalu, lantaran sangat prihatin terhadap petugas partainya yang, katanya, diolok-olok: kodok.

Tentu aneh, bila Mega tidak memahami cita-cita, semangat, ajaran Bung Karno. Tapi, anak memang tak selalu seideologis bapaknya. Apakah Mega tersandera? Pada saat bersamaan, sebagai ibu, tentu arif bila memikirkan putrinya. Maka, sikap yang paling aman, tampaknya, memastikan jaminan untuk sang putri, dan menjaga nama besarnya dari cemar-coreng sejarah.

Manuver Bambang Soesatyo menarik dicermati. Golkar sejauh ini termasuk dalam barisan parpol yang menolak amandemen. Sebagai salah satu orang penting di Golkar, Bambang tentu memiliki agenda di balik gagasan amandemen yang ia getolkan itu. Masuk akal bila ditilik dari sisi persaingan internal.

BACA JUGA :  Copot Satu, Pasang Seribu

Para petualang memanfaatkan kesempatan. Bila pergantian rejim harus melalaui proses yang semestinya dan tepat waktu, apalagi sebelum jatuh tempo, tampaknya mereka merasa kecil peluangnya terangkut kapal kekuasaan.

Bagi para buzzeRp, pilar ke-6 demokrasi Indonesia, isu amandemen jelas garapan baru yang menggiurkan. Pandemi yang berlama-lama menjadi konsideran penting yang menjustifikasi amandemen. Walaupun dinilai mengada-ada.

Golkar, Gerindra, dan Nasdem, sebagai partai-partai utama dalam barisan penolak, memiliki kelincahan untuk berubah sikap seiring gencarnya isu amandemen. Kepentingan dan masalah ekonomi, politik, hukum, yang rumit dan kompleks, menyediakan berbagai skema guna melunakkan bahkan menaklukan mereka.

Semua faktor itu kondusif bagi munculnya gagasan, selanjutnya proses amandemen. Tentu masyarakat kritis, yang hendak menyelematkan Indonesia, menolak keras. Protes akan mengiringi proses amandemen. Mengaca pengalaman Omnibus Law, semua itu akan bisa diatasi dengan kesigapan polisi dan tentara.

Jadi, amandemen terbatas yang patut diduga menyelipkan agenda mengutak-atik periode-masa jabatan Presiden, tampaknya bayang-bayang oligarki yang bakal menjadi realitas politik di negeri ini. Selebihnya: terserah rakyat!

Komentar