Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
COVID telah porak porandakan sendi-sendi kehidupan bangsa. Lebih dari tiga juta penduduk Indonesia terpapar. Ratusan ribu nyawa melayang. Dan hari-hari terus bertambah. Ekonomi carut marut. Sempat terkonstraksi 5,32 persen. Kalau toh sekarang tumbuh 7,07 persen, itu lebih banyak kontribusi dari orang-orang super kaya, terutama yang bisnisnya terkait covid.
Sementara rakyat mayoritas tetap tidak mendapat keuntungan apa-apa kecuali semakin menderita. Mereka kehilangan aset, kehilangan pekerjaan, bahkan sebagian telah kehilangan istri karena tak lagi mampu memberi nafkah. Belum lagi dampak sosial, pendidikan dan keagamaan.
Segala upaya telah dilakukan, mulai dari aturan prokes, PSBB, hingga PPKM. Meskipun faktanya tidak juga bisa menghentikan penyebaran covid secara optimal. Program apapun, jika tidak dijalankan dengan tegas dan konsisten, sulit diharap akan optimal. Apalagi jika unsur bisnis dan politis juga ikut mengambil peran.
Saat ini, Jakarta menjadi salah satu kota di Indonesia yang paling cepat keluar dari zona merah. Wajar, karena Jakarta terlihat pertama, paling serius atasi Covid-19. Ketika awal covid masuk ke Jakarta, sekitar bulan Januari 2020, Pemprov DKI sudah siap siaga dengan membentuk tim penanganan. Ketika covid diumumkan, Jakarta minta lock down. Karena satu dan lain hal, usulan itu tidak disetujui pemerintah pusat.
Jakarta telah melakukan testing PCR 15-20 kali lipat dari standar minimal WHO, dan 2,3 kali lipat standar minimal yang disyaratkan Inmendagri. Ini salah satu bentuk keseriusan. Wajar jika angka terpapar covid di Jakarta paling tinggi. Karena yang dites jumlahnya paling banyak. Kalau yang dites sedikit, maka yang akan ketahuan juga sedikit. Karena gak ketahuan, lalu ada yang mati secara rombongan. Ini terjadi di sejumlah wilayah. Angka kematian karena covid gak sepenuhnya tercatat. Konon ada yang malah menghapus data kematian itu. Mati kok dimanipulasi, usil para netizen.
Kasus covid di Jakarta saat ini telah jauh melandai. Jika pada tanggal 16 Juli di Jakarta ada 113,137 yang terpapar covid, tanggal 12 Agustus kemarin hanya tinggal 9.881 orang. Jika di bulan Juli positive rate bisa sampai 50 persen, sekarang hanya sekitar 5 persen. Pada tanggal 12 Juli ada 14.619 kasus baru, tanggal 12 Agustus kemarin kasus baru hanya 1.078. Turun drastis. Ini bisa jadi referensi buat daerah lain.
Upaya Pemprov DKI Jakarta yang tidak hanya menambah jumlah rumah sakit sebagai tempat isolasi, tetapi juga hotel, layak diapresiasi. Termasuk ketika menyiapkan isi ulang oksigen di Monas, menyediakan beras premium untuk bansos, dan memberikan insentif kepada nakes, ini mesti dilihat sebagai bagian dari bentuk keseriusan itu.
Kalau pasang baliho dan naik sepeda sambil bagi-bagi uang ke tukang becak? Itu juga serius. Maksudnya serius untuk persiapan nyapres 2024. Ini tentu gak ada hubungannya dengan penanganan covid. Karena gak ada hubungannya dengan covid, maka Gubernur DKI lebih baik tidak ikut-ikutan. Norak!
Kedua, soal transparansi. “Pandemi Covid-19 tidak akan selesai kalau dicampur dengan kebohongan”, kata Anies Baswedan. Karena itu, Jakarta selalu update “apa adanya” data terkait kasus baru dan angka kematian.
Ketiga, soal konsistensi. Ini terutama terkait vaksin. Jakarta mewajibkan sejumlah aktifitas sosial bersyarat vaksin. Sebuah kebijakan yang sangat tidak populer. Karena kebijakan ini, Gubernur Jakarta, Anies Baswedan mendapat banyak kritik, terutama dari para pendukungnya sendiri. Tapi, Anies nampaknya tegas dan konsisten dengan kebijakan ini. Kenapa?
Menurutnya, selain taat prokes dan PPKM, vaksin ternyata sangat efektif untuk menyelamatkan nyawa warga Jakarta. Ini data yang diungkap Anies: Bulan Juli, ada 4,2 juta warga yang divaksin, hanya 2,3 persen yang terpapar. Tingkat kematian bisa ditekan hingga 0,01 persen.
Aturan Prokes, PSBB, PPKM atau program apapun nanti, ini tetap sangat dibutuhkan. Meskipun fungsinya hanya menghambat dan menunda penyebaran covid, bukan menghentikan. Terbukti, ada yang gak pernah keluar rumah, hanya sesekali, itupun pakai masker berlapis dan disiplin prokes. Tapi kena juga, dan mati. Kasus seperti ini banyak. Termasuk menimpa temen saya, seorang mantan menteri era Presiden Megawati.
Lalu, dari mana asal virus itu? Bisa dari keluarganya, dari kembalian uang, atau dari ATM dan kartu tol. Virus ini gak kelihatan, dan kita tidak tahu siapa yang membawanya ke kita.
Anda yang merasa tidak ada gejala, belum tentu Anda tidak kena. Mungkin karena imun Anda kuat. Yang pasti, karena Anda tidak tes antigen atau PCR. Orang model Anda jumlahnya cukup banyak. Inilah yang orang sebut dengan istilah OTG (Orang Tanpa Gejala). Orang-orang seperti Anda, tanpa Anda sadari, telah menebar virus ke banyak orang.
Karena data ini, Jakarta kekeuh dan konsisten untuk tetap memberlakukan vaksin sebagai syarat aktifitas sosial. Cara ini diyakini paling efektif mengakhiri pandemi. Gak ada cara lain.
Jakarta telah menyiapkan 300 titik untuk vaksin. Saat ini, warga Jakarta yang sudah divaksin pertama mencapai 98,1 persen (8.771. 577 orang). Yang sudah divaksin kedua mencapai 42,7 persen (3.820.779 orang). Belum menghitung vaksin gotong royong.
Selain ketegasan menerapkan PPKM, vaksinasi yang sedemikian masif telah membuat Jakarta berhasil keluar dari zona merah.
Saat ini, jumlah kasus baru di Jakarta tidak melebihi yang sembuh. Ini sama artinya bahwa covid telah melandai. Dengan begitu, pandemi dapat segera berakhir. Kalau pandemi berakhir, kehidupan di Jakarta akan segera normal kembali.
Karena itu, layak Jakarta mendapat hadiah MURI. Colek Pak Jaya Suprana. Saya biasa panggil “Pak Jaya”. Beliau guru saya dalam banyak hal.
Kalau mempertontonkan nasi goreng terpanjang saja bisa dapat hadiah MURI, keberhasilan menyelamatkan nyawa jutaan orang rasanya lebih layak untuk diberikan hadiah MURI.
Komentar