by Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SEGERA setelah proklamasi, marak poster sesosok lelaki dengan ekspresi berteriak. Bendera merah putih berkibar di belakangnya. Tangan kanannya menggenggam seruas buluh dimana bendera ditalikan. Tangan kirinya mengepal, dan rantai besi yang membelenggu kedua tanganya, putus.
Ide poster itu dari Bung Karno, dirancang oleh Affandi. Sosok Dullah dijadikan model. Jelas, poster itu mengekspresikan perlawanan, optimisme, tekad, kebebasan, harga diri, …. yang menyundul langit. Dapat dimengerti, begitulah suasana batin dan hidup sebuah bangsa yang baru saja merdeka, bebas dari penjajahan beratus tahun.
Soedjojoyo, karib Affandi dan Dullah, menambahkan kata-kata heroik: “Boeng, Ajo Boeng” pada sisi bawah lukisan itu. Sempurnalah pesan keheroikan yang hendak disampaikan. Kata-kata itu dari Chairil Anwar. Sang penyair, kebetulan datang pada saat yang tepat. Konon, kata-kata itu diperoleh Chairil dari perempuan malam yang menawarkan jasanya di kawasan Senen. Tentu, tak ada kesan: kegenitan, momen satu detik kematian kesadaran, kelakuan najis, …., setelah kata-kata itu menyatu pada lukisan poster itu. Boeng, Ajo Boeng, jelas seruan penuh semangat untuk berjuang, berkorban, memancangkan cita dan harapan, ……
Sejumlah pelukis bekerja siang malam mereproduksi poster itu, lalu disebarluaskan, ditempelkan dibanyak tempat. Poster bersejarah dalam perjuangan bangsa ini. Sejarah memang selalu kombinasi yang sempurna. Dalam konteks poster itu: waktu, manusia, idealisme ber-Indonesia yang merdeka.
Bangsa ini memaklumkan bahwa kemerdekaan itu “berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur”. Dengan kemerdekaan itu, bangsa ini membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuh puluh enam tahun sudah bangsa ini merdeka. Kemerdekaan memang selayaknya dirayakan. Sebagai medium meneguhkan kesanggupan mengemban amanah serta rasa hormat kepada leluhur yang telah berjuang meraih kemerdekaan. Perayaan itu biasa disebut Agustusan. Umbul-umbul dipancangkan menghiasi sepanjang jalan, bendera merah putih berkibar sebulan penuh.
Tahun-tahun silam perayaan itu amat meriah. Pawai, aneka lomba, dan karnaval menjadi kesibukan sampai kepelosok desa. Kali ini, aneka kemeriahan itu dihalau wabah. Pandemi memang telah mencabut kemerdekaan kita. Manusia tak lagi leluasa. Ruang dan waktunya semakin berbatas. Ekspresi dan kehangatan kemanusiaannya terhalang: masker dan aneka aturan. Hidup menjadi begitu rapuh dan terancam dalam bingkai data penduduk yang meregang nyawa.
Bangsa ini tak pernah begitu ragu merayakan kemerdekaannya sebagaimana tahun-tahun belakangan ini. Tak sepenuhnya lantaran pandemi. Juga, kegamangan: apakah yang (seharusnya) dirayakan atas kemerdekaan ini? Tampaknya, bangsa ini terjebak dalam romantisme heroik: mengenyahkan kolonialisme eksternal yang amat aniaya terhadap kemanusiaan.
Masih relevankah romantisme heroik itu? Kolonialisme kuno yang brandalan memang sudah _out of date_ . Tentu saja, kolonialisme tak akan pernah rampung. Karena dalam diri manusia-bangsa terselip unsur permanen yang membentuk hasrat akan kebesaran dan keserakahan. Maka, kolonialisme selalu menemukan cara mewujud melalui skema-skema yang rumit atas dalih keamanan dunia, perang global melawan terorisme, kerjasama dan bantuan internasional, perubahan iklim, investasi, …..
Tapi, kolonialisme tak selalu eksternal. Sejarah riuh dengan pengalaman bangsa-bangsa yang melahirkan rejim yang menjajah bangsanya sendiri: menguras kekayaan bangsa melalui berbagai cara untuk kemegahan dirinya sendiri, menjadikan hukum sebagai alat menganiaya rakyat. Kekuasaan rejim itu, sungguh adigang-adigung. Menindas rakyat, melawan Tuhan. Melecehkan keinginan luhur yang mendasari kemerdekaan, mengabaikan Dasar dan Tujuan bernegara. Maka, kemerdekaan tak disyukuri dengan kerja, kerja, kerja, yang meluhurkan martabat, menyejahterakan rakyat, memajukan bangsa. Melainkan pencabulan yang tiada henti terhadap amanat berbangsa dan bernegara. Tentu saja, bangsa itu melenceng, semakin menjauh dari tujuannya meng-ada.
Dan, perayaan kemerdekaan kali ini, tampaknya, tak melahirkan poster yang layak disimpan dalam sejarah. Sebab, nyaris tak tersedia ruang lantaran dilahap baliho 2024. Juga, tak mudah menemukan ide yang pas seperti Bung Karno dulu. Selebihnya: apakah yang sesungguhnya kita rayakan?
Komentar