Covid Tidak Berpolitik

Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

JANGAN saling menyalahkan! Pandemi adalah ujian bersama. Ujian bagi bangsa ini, juga bagi seluruh umat manusia, dimanapun berada.

Stop caci maki dan saling ngebully. Selain karena itu bukan budaya kita, saat begitu banyak “rakyat yang berduka” lebih etis dan elok jika kita juga ikut berduka.

Buzzer dan haters, dari kubu dan pihak manapun, berhenti dulu. Bagus kalau bubar. Jangan sampai covid yang menghentikannya. Bisa su’ul khatimah.

Saat ini, Indonesia tertinggi angka kematian harian karena covid. Ada 1.007 orang mati dalam satu hari (11/7). Disusul Rusia 749 dan India 720. Di hari yang sama tambahan jumlah terinFeksi 36.197. Senen kemarin (12/7) sudah naik lagi menjadi 40 ribu lebih yang terinFeksi.

Sekitar 40 persen orang positif dan terpapar covid dari jumlah yang dites. Bahkan ada yang mendekati 50 persen. Dan mereka semua menulari yang lain. Artinya, tidak menutup kemungkinan prosentase yang tertular akan terus naik. Otomatis, angka kematian juga akan naik.

Saya, Anda, dan kita semua mendengar berita kematian setiap hari. Di medsos, di media, di tempat-tempat ibadah, berseliweran berita kematian.

BACA JUGA :  Saleh Khalid dan Perjuangan Melawan Ahok

Ambulans makin sering lewat di jalan, bendera kuning terpasang di banyak gang, rumah sakit dan klinik penuh, apotik dan pemakaman ngantri, sementara sejumlah orang masih terus sibuk berdebat karena beda kubu dan dukungan politik. Sungguh sikap yang tidak rasional! Mau sampai kapan?

Sejumlah negara telah melarang WNI masuk. Di antaranya adalah Saudi Arabia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Oman dan Uni Emirat Arab (UEA).

Ada baiknya, sejenak kita rehat, atau setidaknya menurunkan intensitas perdebatan. Gunakan energi untuk introspeksi, lalu membangun kekuatan bersama untuk hadapi pandemi.

Musuh kita bukan kampret atau cebong. Musuh kita, dan ini nyata, adalah Covid-19. Tapi ada musuh yang lebih berat dari Covid-19 itu adalah ego kita masing-masing.

Covid tidak berpolitik, kata Anies Baswedan. Covid tidak kenal partai dan golongan. Tidak kenal etnis dan agama. Tidak kenal Anda pendukung siapa dan dari kubu mana. Covid hanya kenal sasaran yang bisa dibunuhnya.

Di negeri ini, jumlah korbannya sudah di angka 2,5 juta lebih. Total yang meninggal lebih dari 65 ribu. Belum mereka yang meninggal tanpa sempat dites PCR. Kemungkinan, jumlah yang meninggal lebih dari angka yang diumumkan, karena banyak yang tidak terdata.

BACA JUGA :  Saatnya TNI-Polri Bersikap Apakah Masih Brrsama Rakyat dan Pancasila?

Mereka yang meninggal tidak semuanya adalah lawan debat dan beda kubu dari Anda. Tapi, banyak dari mereka adalah orang-orang dekat Anda. Belum sadarkah?

Covid-19 belum puas dengan jumlah korban yang sudah sebanyak itu. Dan masih terus mencari korban. Sasarannya adalah mereka yang diantara anggota keluarganya ada yang tidak taat prokes. Orang yang abai dan tidak disiplin dengan prokes. Sembrono dan menganggap remeh Covid-19.

Anda masih muda, imun kuat, gak punya penyakit bawaan, secara fisik, tubuh Anda bisa melawan. Tapi, ketika Anda bawa virus itu kemana-mana, lalu bertemu dengan orang yang secara fisik lemah, berpenyakit atau usia tua, di situlah masalah menjadi serius. Para OTG ikut menebar virus kematian ke orang-orang yang imunnya lemah. Di antara yang lemah imunnya itu adalah orang tua dan pasangan hidup Anda. Sadarlah!

Sementara ini, prioritaskan untuk menghadapi covid dan semua dampaknya, terutama ekonomi yang mengancam perut rakyat di masa PPKM ini.

Di masyarakat, mulai ada gejolak. Fakta ini menuntut adanya eveluasi, baik terkait kebijakan PPKM, dan juga cara kerja petugas di lapangan. Tidak kalah penting adalah bantuan sosial, dimana sebagian masyarakat sudah menjerit ekonominya. Asal bantuan sosial itu cukup, menyeluruh, tepat sasaran, datang sesuai kebutuhan, ini akan meredam. Bila perlu, naikkan anggaran covid, dari 5,41 persen dari PDB hingga 10 persen. Bisa pakai dana SiLPA yang masih disimpan.

BACA JUGA :  Pertamina Siap Distribusikan 185 Ribu APD ke 70 RS BUMN Seluruh Indonesia

Jika dulu datang penjajah membuat kita, bangsa ini bersatu, kenapa pandemi saat ini tidak membuat kita bersatu? Karena itu, hindari pernyataan, sikap dan terutama kebijakan yang berpotensi menghambat persatuan itu.

Ada yang korupsi, dan ada oknum yang memanfaatkan situasi, betul! Bukankah saat penjajahan, ada banyak oknum yang berkhianat kepada bangsa sendiri? Ini realitas sosial yang akan terus terjadi, sampai kapanpun. Kita menyayangkan dan mengutuknya. Tapi, para penghianat di zaman penjajahan tidak membuat bangsa ini kehilangan persatuan.

Kita merdeka karena bersatu. Kita menang karena bersatu. Hari ini, persatuan bangsa menjadi sesuatu yang nampak begitu berat. Banyak faktornya.

Jika kita bersatu, kita akan bisa kalahkan musuh. Dan musuh kita hari ini adalah Covid-19.

Jakarta, 13 Juli 2021

Komentar