Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SABTU kemarin, suami teman saya di Jepara Jawa Tengah meninggal. Usianya 56 tahun. Hanya sakit flu selama tiga hari, kata istrinya.
Sepekan sebelumnya, seorang kawan dari Bandung kasih kabar, virus Covid varian terbaru bisa membunuh dalam 2-3 hari.
Saya gak mau komentar soal ini. Bukan bidang saya. Takut off side. Bisa sesat dan menyesatkan.
Dalam minggu ini, dua kali saya pulang kampung. Bude, bulek dan nenek meninggal. Di kampung saya, hampir setiap hari ada yang meninggal. Sempat jalan-jalan ke kampung-kampung sebelah. Sejumlah bendera kuning terpasang cukup banyak. Ada juga janazah yang sedang diangkut. Menyaksikan dengan kepala sendiri.
Di Jakarta, coba Anda berhenti 30 menit saja di jalan raya. Ngiung… Ngiung.. Ngiung… Mobil ambulans hampir setiap 5-15 menit lewat. Satu fenomena yang tak biasa. Ini terjadi beberapa pekan terakhir.
Kalau kita lihat data, ada 29,745 orang setiap hari terinveksi covid (5/7). Angkanya pasti lebih besar jika jumlah tes PCR yang dilakukan pemerintah memenuhi target WHO. Yaitu 1000 orang per 1 juta penduduk.
Hampir semua rumah sakit penuh. Anda sakit, meskipun parah, harus antri. Bisa dua tiga hari baru dapat ruang isolasi. Nunggu pasien di rumah sakit sembuh, baru Anda bisa masuk.
Tidak saja ke rumah sakit yang antri, ke pemakaman pun, banyak janazah yang antri. Ini dialami oleh sejumlah daerah. Anda masih mau membantah bahwa covid gak ada? Ngaco!
Beberapa hari lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membacakan data jumlah janazah yang dimakamkan selama sepekan. Mulai sabtu 26 Juni hingga sabtu 3 juli.
Sabtu (26/7) ada 157 janazah, Minggu 144, Senen 193, Selasa 279, Rabu 230, Kamis 301, Jumat 365, Sabtu 396.
Anies mengumumkan dengan nada sedih, dan bahkan mata berkaca-kaca.
Ada yang komentar: pencitraannya berlebihan. Itu marketing politik. Tangisan palsu, dll. Keterlaluan!
Seorang pemimpin mana yang tidak sedih jika ada ribuan warganya meninggal. Ia telah kerja keras dengan mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki, Anda masih bilang itu pencitraan? Pernahkah Anda membayangkan jika Anda adalah salah satu dari keluarga janazah yang antri ke makam itu?
Sedikitlah berempati kepada keluarga janazah. Meski Anda “tidak suka” Anies, tapi setidaknya Anda jaga perasaan keluarga ribuan orang yang meninggal itu. Jangan lihat Anies, tapi rasakan apa yang dirasakan keluarga para janazah itu.
Nyawa rakyat Indonesia sedang terancam covid. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, ada keterbatasan. Baik kemampuan, ketabahan (konsistensi), terutama anggaran. Anggaran covid kita hanya 5,41 persen dari PDB. Rata-rata negara maju, anggaran untuk covid itu 27,76 persen dari PDB. Jepang bahkan mengalokasikan anggaran 44,17 dari PDB.
Dengan serba keterbatasan ini, Indonesia nampaknya sudah masuk pada situasi “herd immunity”, sebelum tuntas program vaksinnya. Siapa yang kuat, hidup. Imunnya lemah, ya mati. Berlaku teori seleksi alam Darwin: “Survival of the fittest”.
Maka, perlu kesadaran masyarakat untuk taat prokes. Disiplin! Sekali lagi: disiplin! Semua harus disiplin. Baik rakyat, terutama pejabat. Kepatuhan pada prokes menjadi pilihan “satu satunya” yang paling efektif untuk menahan laju penyebaran covid.
Mereka yang tidak taat prokes, layak diberi sanksi sosial. Penjaga warung gak pakai masker, hindari. Beli ke warung lain. Ini bagian dari sanksi sosial. Bukan kejam, tapi tegas.
Tidak kalah penting, kuatkan imunitas. Jaga tubuh dengan pola hidup sehat. Dalam sistem herd immunity, hanya Andalah yang bisa jaga kesehatan dan nyawa Anda. Tentu, seijin Tuhan.
Selamat menyambut era “Herd Immunity”. Mau hidup, imun Anda harus kuat.
Jakarta, 6 Juli 2021
Komentar