Polemik Jalur Sepeda

Oleh: Surya Darma                                     (Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, METI)

MENYIMAK berbagai pernyataan dari berbagai kalangan belakangan ini menggelitik saya untuk menyampaikan pandangan tentang jalur sepeda di Jakarta. Saya pernah diwawancara oleh sebuah media di Jakarta. Katanya minta tanggapan soal jalur sepeda. Sambil ketawa saya menjawab kenapa saya ya yang di tanya soal jalur sepeda. Ini kan soal transportasi. Saya bukan ahli transportasi, sebagai Ketua Umum METI, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, tentu saja ahli Energi Terbarukan.

Namun karena wartawan itu sudah sangat sering interview saya soal energi, maka akhirnya saya coba menjawab juga. Memang soal transportasi itu pasti ada hubungannya juga dengan energi.

Selama ini alat transportasi yang paling banyak menggunakan sumber daya energi dan yang paling banyak juga menghasilkan emisi karbon, suatu hal yang sedang jadi isu global dan menjadi musuh untuk diahadapi dan dikurangi. Lihat saja bagaimana dunia melalui konferensi UNFCC yabg disepakati tahun 2015 yang dikenal dengan Paris Agreement.

Dunia ingin membatasi dan berupaya mengurangi emisi karbon agar suhu bumi tidak meningkat lebih dari 1,5 derajat sampai tahun 2050. Indonesia sendiri yang dihadiri presiden Jokowi juga telah menyampaikan komitmennya untuk mendukung perjanjian Paris bahkan meratifikasinya pada tahun 2016 melalui UU No.16 tentang Perjanjian Paris. Kinsekuensinya adalah, Indonesia harus menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan usaha sendiri sampai tahun 2030 dan bisa menjadi 41% apabila ada dukungan pihak International.

BACA JUGA :  Indonesia Marah Tim Bulutangkis RI “Dipaksa” Tinggalkan All England 2021

Indonesia sudah menyusun target penurunan emisi ini dalam NDC (National Determined Contribution), dimana kontribusi sektor kehutanan untuk memenuhi target 29% itu adalah 17%, sedangkan sektor energi akan berkontribusi sebesar 11%. Sisanya sebesar 1% akan diberikan oleh sektor industri lainnya.

Untuk sektor energi, penghasil emisi terbesar berasal dari sumber daya fosil terutama batubara untuk listrik dan industri lainnya. Dilain pihak, kontribusi terbesar untuk menurunkan emisi dari sektor energi itu berasal dari energi terbarukan.

Sekarang apa hubungannya jalur sepeda dengan energi terbarukan? Kenapa juga harus ada polemik soal jalur sepeda? Mari kita telaah nalar cara berpikir yang logis.

Seperti yang sebutkan di awal, sektor transportasi merupakan penyumbang emisi karbon yang paling dominan dan karena itu jika hal ini bisa dikendalikan, maka akan memiliki peran signifikan untuk bisa menurunkan emisi karbon. Hal inilah yang kita lihat bahwa perubahan paradigma pola penggunaan alat transportasi menjadi penting.

Sebagaimana diketahui alat transportasi kontributor besar untuk emisi karbon adalah mobil pribadi maupun kendaraan yang menggunakan bahan bakar diesel. Karena itu, jika penggunaan kendaraan berhasil dikendalikan, maka akan berhasil pula mengendalikan peningkatan emisi.
Apalagi jika kendaraan pribadi dan dan kendaraan berbahan bakar diesel bisa dikurangi.

BACA JUGA :  Ketua Adat Minang: Haram Yaqut Cholil Qoumas Injakkan Kaki di Minangkabau

Salah satu upaya yg kelihatan mulai terlihat berhasil adalah mengurangi kendaraan pribadi dan beralih pada kendaraan publik. Di Jakarta sudah mulai terlihat dari berhasilnya penggunaan moda Trans Jakarta melalui jalur khusus bus. Demikian juga penggunaan MRT dan sebentar lagi dengan LRT. Semua itu akan berdampak signifikan dalam penurunan emisi karbon.

Dilain pihak, kita lupa sebetulnya masih ada dua lagi jenis alat transportasi yang masih jarang kita gunakan. Yang pertama adalah jalan kaki. Dan yang kedua adalah menggunakan sepeda. Sejak dua tahun terakhir, trend jalan kaki sudah mulai terlihat gaungnya. Terutama setelah beberapa fasilitas untuk para pejalan kaki disiapkan pemerintah DKI Jakarta. Hal ini pasti berdampak pada penurunan emisi.

Hal lain adalah penggunaan sepeda. Persoalannya adalah, menggunakan sepeda dalam riuhnya penggunaan kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor, tentu akan punya resiko bagi para penggunanya. Apalagi jika dicampur aduk dalam jalanan yang semuanya punya kepentingan sama. Ini akan penuh resiko dan keselamatan baik bagi pesepeda maupun bagi pengemudi kendaraan bermotor lainnya.

Karena itulah, pemisahan jalur merupakan salah satu solusi untuk menjamin keselamatan bagi semua pihak. Persoalannya yang timbul, siapakah yang berhak mengatur jalur khusus ini. Hal ini sangat tergantung pada regulasi yang sudah ada. UU tentang lalu lintas hanya mengatur kendaraan bermotor, tidak mengatur para pejalan kaki dan pesepeda. Belum lagi nanti timbul pertanyaan siapakah yang berhak mengatur jalan protokol seperti jalan Sudirman Thamrin di Jakarta.

BACA JUGA :  Hari-Hari Terakhir Rezim Joko Sambo?

Niat mulia dari Gubernur DKI Jakarta untuk menjaga keselamatan semua pengemudi, kendaraan bermotor, pesepeda dan pejalan kaki patut kita hargai dan acungkan jempol. Niat itu sangat mulia, relevan dengan upaya penurunan emisi yang sudah harus dijalankan Indonesia dan ini berarti mendukung program Presiden Joko Widodo. Tetapi Gubernur juga konsen pada keselamatan warganya yang lebih utama.

Seharusnya, upaya kedua hal ini harus mendapat dukungan dari berbagai pihak, bukan malah mendiskreditkannya dengan polemik berkepanjangan. Kita harus cari solusi agar keselamatan warga terjamin dan upaya penurunan emisi karbon yang sudah harus dijalankan juga sudah di depan mata kita.

Terima kasih pak Gubernur DKI yang sudah memprakarsainya untuk Indonesia yang lebih baik. Mudah-mudahan an juga akan memenuhi target dua untuk pemimpin bangsa yaitu Jokowi bagi terwujudnya UU Perjanjian Paris dan Anies Baswedan yang berupaya membahagiakan warganya di Jakarta sebagai kota yang maju. Salam sehat, ramah lingkungan.

Komentar