TILIK.ID — Indonesia harus lebih fokus mengembangkan energi terbarukan setelah dunia memutuskan mengurangi penggunaan energi yang rendah karbon sampai pada tahun 2050. Hal ini sangat perlu agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lain dalam upaya menyelamatkan bumi manusia.
Demikian antara lain dikatakan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Dr Ir Surya Darma dalam perbincangannya dengan TILIK.ID di kawasan GBK Senayan, Jakarta, Ahad lalu.
Mengapa Indonesia perlu lebih fokus lagi memikirkan pengembangan energi baru terbarukan? Karena Indonesia dibanding negara-negara lain, termasuk di ASEAN, masih jauh tertinggal.
“Negara lain telah membuat peta jalan yang sangat jelas. Sementara Indonesia sampai saat ini belum clear dalam soal ini,” kata Surya Darma.
Menurutnya, jika Indonesia menggunakan cara-cara yang standard, bussines as usual, maka 2050 itu tidak akan tercapai. Oleh karena itu perlu ada upaya-upaya khusus dan koordinasi yang lebih intensif.
“Hari ini masih covid, setelah pandemi, negara-negara dunia akan kembali memikirkan mengganti energi kotor ke energi yang bersih. Makanya Indonesia harus memikirkan ke arah itu,” katanya.
Memang banyak tantangan. Namun di sisi lain kita memiliki potensi sumber energi baru terbarukan yang jauh lebih besar dari negara-negara lain.
“Kita memiliki potensi yang cukup lengkap untuk menuju ke arah itu. Beberapa negara bahkan karena tidak memiliki sumberdaya untuk energi terbarukan, mereka sudah mulai berpikir bagaimana cara memproduksi hydrogen, memproduksi battery yang lebih banyak,” katanya.
Sementara kita, lanjut Surya Darma, itu semua bisa dilakukan. Memproduksi hydrogen dari batubara bisa, kita produksi hydrogen dari panas bumi bisa, kita produksi hydrogen dari angin dan air bisa. Hanya saja, kita belum siap menuju ke arah itu.
“Apa yang perlu dilakukan, saya kira pertama adalah ledearship. Pemerintah, khususnya Presiden, harus membuat sebuah arahan yang jelas sebagai acuan ke kementerian dan sektor masing-masing,” ujarnya.
Jika program pengembangan energi baru terbarukan tidak dimaintanance dengan baik, maka pengurangan emisi karbon tidak akan berjalan. Padahal dunia sudah mengarah pada zero emission.
Surya Darma mengatakan, zero emission itu adalah penyerapan karbon harus sama dengan penggunaan karbon, jadi harus netral. Samakin banyak memproduksi emisi karbon maka energi terbarukan harus banyak menyerap karbon.
“Berapa banyak kita memproduksi emisi karbon? Energi kita sampai sekarang masih memproduksi 87 sampai 90 persen. Itu adalah energi yang menghasilkan emisi karbon jauh lebih banyak dibanding energi yang menyerap karbon,” katanya.
Sekarang yang perlu adalah bagaimana men-switch energi yang ada menyerap karbon. Surya Darma bersama METI yang dipimpinnya mengusulkan sedapat mungkin tahun 2050 itu emisi karbon dari bahan baku posil harus nol. Kalau tidak bisa hilang sama sekali, cukup 50 persen saja.
“Kalau ini bisa dilakukan, Banyak sekali kesempatan kesempatan yang luar biasa, dan terutama pada kesempatan-kesempatan penyerapan tenaga kerja. Karena sesuatu yang baru tentu akan memberikan peluang bagi banyak sektor,” urai Surya Darma.
Dampak dari pengembangan dan penggunaan energi baru terbarukan akan sangat besar bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 ini. Kalau di tengah pandemi ini pengelolaan bisnis dengan standard yang ada akan sangat lambat.
“Padahal, negara-negara lain sudah melakukan transformasi penggunaan energi posil ke energi terbarukan,” katanya.
Dibanding dengan negara-negara lain, termasuk di ASEAN, kata Surya Darma, Indonesia jauh tertinggal. Sesama negara ASEAN saja kita kalah sama Malaysia, Thailand, Vietnam, dan lain-lain.
“Kalau Singapura memang tidak punya sumberdaya alam, namun mereka membeli energi terbarukan dari Australia yang dialirkan melalui pipa bawah laut melintasi Indonesia. Kita jadi penonton saja,” kata Surya Darma.
Vietnam, Thailand, Filipina, dan lainnya sudah maju dalam upaya penggunaan energi baru terbarukan. Indonesia hanya berada di atas dua negara lain. Indonesja hanya menang sedikit dari Kamboja, Myanmar, dan Laos.
“Nah untuk mengejar ketinggalan ini, faktor ledearship harus lebih fokus lagi pada pengembangan dan penggunaan energi baru terbarukan. Komitmen saja tidak cukup, karena komitmen biasanya tidak selalu diikuti oleh implementasinya,” kata Surya Darma.
METI sebagai organisasi masyarakat, menurut Surya Darma, tidak cukup kemampuan untuk pendanaan pengembangan energi terbarukan. Namun, dari segi akses dan link ke institusi internasional cukup banyak. (als)
Video orasi Ketua Umum METI Dr Surya Darma:
Komentar