Tragedi Palestina, Dimana Nurani Anda?

Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

JIKA melihat anak-anak, para wanita dan warga sipil dibantai, dan hati Anda tidak tersentuh, layak kita curiga apakah Anda masih layak disebut sebagai manusia.

Puluhan tahun warga Gaza hidup dalam situasi mencekam. Rasa aman setiap saat berubah jadi kematian ketika peluru tumpah dan menembus tubuh warga yang tak berdosa. Entah sudah berapa ratus ribu atau juta nyawa manusia tak berdosa melayang sia-sia.

Kita empati, bukan semata-mata karena satu agama. Kita tersentuh bukan semata-mata karena satu iman. Kita terenyuh karena kita punya nurani sesama manusia. Sebagai manusia, kita merasakan apa yang mereka rasakan.

Ini bukan sakedar konflik antara Yahudi vs Islam. Tapi, ini tragedi yang mengancam perdamaian dan peradaban dunia. Karena itu, dunia harus ambil peran menghentikannya. Partai, organisasi, NGO dan bangsa-bangsa di dunia harus ikut berupaya menghentikannya.

Sikap PKS yang menunjukkan empati kemanusiaanya atas tragedi kemanusiaan di Palestina akan lebih kuat gaungnya jika juga diikuti oleh partai-partai lain di Indonesia, seperti PKB, PDIP, PAN, Demokrat dan yang lain.

Tapi, jika Anda “mengaminkan” pembunuhan dan pembantaian kepada anak-anak dan para wanita Palestina, maka Anda tak layak lagi disebut manusia.

Tak perlu iman untuk berempati ke warga Palestina. Ini soal kemanusiaan. Ini menyangkut perasaan dan rasionalitas sebagai manusia.

Meski tragedi puluhan tahun di Gaza tak lepas dari unsur politik dan doktrin agama, namun aspek kemanusiaan mestinya mampu mengetuk nurani dunia bahwa tindakan Israel mengusir, mengambil paksa, membunuh anak-anak dan para wanita itu tidak bisa diterima dan layak dikutuk.

BACA JUGA :  Anies Baswedan Paling Berpeluang Untuk Menang

Mereka teroris! Tuduh sebagian orang kepada warga Palestina yang terkapar dalam lautan darah dan ratapan air mata. Ingat, warga Palestina lahir dan telah lama hidup turun temurun di wilayah itu. Lalu, Israel menguasai dan mengusir paksa mereka dari rumah tempat tinggalnya.

Apakah salah jika mereka mempertahankan rumah dan tanah airnya? Tidakkah itu sikap dan pilihan rasional yang akan dilakukan oleh semua bangsa? Termasuk Indonesia ketika masa penjajahan Belanda, Portugis dan Jepang.

Jika memang benar moyang Bani Israel pernah mendirikan dan berkuasa di atas tanah Palestina, Mulai dari Nabi Ya”qub sebelum eksodus ke Mesir hingga Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, apakah kemudian menjadi legal dan halal bagi mereka untuk melakukan pengusiran paksa, penggusuran dan pembantaian? Apalagi moyang warga Palestina datang ke daerah itu tidak dengan cara mengusir dan membantai orang-orang Yahudi yang saat itu berada dalam perbudakan Romawi. Mereka datang justru untuk membebaskan dan memerdekakan kaum Yahudi. Sungguh tak tahu terima kasih, kata almarhum Nurcholis Madjid, mantan rektor Universitas Paramadina itu.

Warga yang melawan penjajah akan selalu dituduh “teroris”. Sebelum istilah teroris populer, dulu sering muncul stigma “pemberontak”. Setiap yang melawan penjajah dianggap pemberontak. Pangeran Diponegoro, Soekarno dan Jenderal Soedirman dalam konteks Indonesia juga dulu dianggap pemberontak. Sejarah kemudian membuktikan bahwa mereka bukan pemberontak, tapi pejuang. Mereka berjuang untuk mempertahankan tanah airnya. Sama dengan warga Palestina saat ini. Mereka berjuang untuk mempertahankan tanah kelahirannya.

BACA JUGA :  Formula E Gagal Dijegal!

Bicara tragedi Palestina, gak perlu lihat mazhab politik dan identitas agama. Gak perlu menjadi Islam untuk membela warga negara Palestina yang kehilangan nyawa. Anda cukup menjadi manusia untuk mengerti peristiwa kemanusiaan yang puluhan tahun telah menyengsarakan dan mengambil nyawa mereka.

Tidakkah semua agama menolak kekerasan? Tidakkah semua agama mengutuk pembantaian? Agama, apapun itu, Islam Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan yang lain, hadir untuk menyelamatkan umat manusia. Bahkan agama hadir untuk membangun peradaban. Pembantaian itu kontra peradaban. Pembunuhan itu merusak dan menghambat misi agama dalan membangun peradaban. Doktrin agama, apapun agamanya, jika melegalkan pembantaian, itu adalah doktrin yang dipastikan menyesatkan.

Bukan karena mayoritas warga Palestina muslim, lalu anda yang berbeda agama tutup mata dan kehilangan empati. Ini “fanatik sesat”. Apakah kalau di jalan raya ada yang kecelakaan, anda akan lihat dulu KTP-nya? Kalau seiman ditolong, kalau beda agama dibiarin? Begitukah cara agama yang benar? Bukankah iman tanpa kemanusiaan itu absurd?

Soal politik, itu obyek lain. Menjadi lebih rumit ketika agama turut melegitimasi penjajahan. Tapi pembantaian anak-anak, para wanita dan warga sipil sebagai fakta yang terjadi puluhan tahun di Palestina adalah bentuk nyata adanya tragedi kontra peradaban dan kemanusiaan. Apakah hanya karena mereka muslim, lalu anda gak berempati dan bahkan ikut bergembira menyaksikan anak-anak dan para wanita yang beda iman itu terbunuh?

BACA JUGA :  Keberlanjutan Anies Baswedan

Tidakkah iman, apapun dasar agamanya, mengajak manusia untuk berdamai, hidup berdampingan, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Setiap agama punya doktrin melindungi hak dan melawan kedzaliman. Tidak ada agama yang melegalkan pemeluknya untuk menyerang dan merampas hak orang lain.

Bagaimana sikap Indonesia? Rakyat berharap ada ketegasan sikap yang diambil pemerintah Indonesia terhadap tragedi kemanusiaan ini. Terlebih jika mengingat bahwa Palestina termasuk negara yang pertama kali mendukung kemerdekaan Indonesia.

Banyak cara untuk mengekspresikan empati kemanusiaan kita. Bisa dimulai melalui cara verbal. Yang paling sederhana adalah dengan membuat pernyataan. Bagus kalau semua agama di Indonesia melalui perwakilannya, kompak membuat pernyataan bersama: mengutuk keras pembantaian warga Palestina. Ini akan menginspirasi dunia untuk melakukan hal yang sama.

Bisa juga mendonasikan bantuan bagi korban, mendorong adanya perundingan global, hingga melakukan tekanan kepada Israel. Yang terpenting bagaimana empati kemanusiaan ini dilakukan oleh semakin banyak pihak sesuai potensi maksimal yang dimiliki.

Jakarta, 18 Mei 2021

Komentar