TILIK.id, Jakarta — Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menilai persidangan kasus Habib Rizieq Shihab terkait kerumunan di Petamburan wajib digelar secara langsung dan tatap muka antara hakim, jaksa, terdakwa dan pengacara.
Menurut Fahri Bachmid, persidangan kasus HRS yang gelar secara online di PN Jakarta Timur tidak memiliki basis legal konstitusional sebagaimana diatur dalam KUHAP.
“Persidangan pidana HRS secara online tidak mempunyai basis legal-konstitusional. Pelaksanaan persidangan secara elektronik untuk perkara pidana secara teknis yuridis mengalami kendala hukum, karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur pranata persidangan yang demikian itu,” kata Bachmid.
Sebab, tembah mamtan tim kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 ini, paradigma hukum yang diatur dalam KUHAP hanya mengatur terdakwa, saksi serta ahli yang dinyatakan dalam sidang untuk hadir secara langsung,” ujar Fahri Bachmid, Sabtu (20/3/2021).
Dikatakan, persidangan langsung tatap muka dapat merujuk pada ketentuan Pasal 154, 159 dan 196 KUHAP dan hal itu tidak bisa ditafsirkan lain. Kemudian KUHAP mendesain bahwa sidang dilangsungkan di gedung pengadilan dan pengaturan atribut pakaian bagi hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera.
Selain KUHAP, kata Fahri Bachmid, Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur persidangan dihadiri tiga orang hakim dibantu panitera serta mewajibkan penuntut umum dan terdakwa untuk hadir.
“Secara teknis proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam instrumen hukum acara pidana yang merupakan hukum positif dan publik, dilakukan melalui tatap muka hakim, jaksa, terdakwa, dan penasihat hukum di dalam ruang sidang pengadilan,” katanya.
Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan, Fahri Bachmid, menyebut, diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, norma Pasal 185 ayat (1) KUHAP.
Selanjutnya ketentuan norma Pasal 189 ayat 1 KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
“Sehingga dengan demikian ini merupakan basis legal-konstitusional atas pengaturan pola dan mekanisme persidangan dan tidak dapat ditafsirkan lain dari makna sejati norma tersebut,” urainya.
Ini, lanjut Fahri Bachmid, merupakan problem yang sangat elementer dan tidak bisa direduksi oleh Beleeid di bawahnya semisal PERMA ataupun SEMA.
Dari sisi preseden, Fahri Bachmid memaparkan pernah pengadilan dalam pemeriksaan perkara kasus Bulog Gate tahun 2002 dengan terdakwa mantan Kabulog, pemeriksaan saksi Prof BJ.Habibie tidak dilakukan di depan sidang pengadilan, karena secara fisik BJ. Habibe berada di Jerman sehingga keterangannya disampaikan melalui media teleconference.
Menurutnya, secara prinsip KUHAP memberikan “exception” berdasarkan norma Pasal 162 ayat (1) yang membolehkan penyampaian keterangan saksi tanpa harus dilakukan di hadapan persidangan.
“Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab-sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan”.
Tapi konteks kaidah ini tentunya sangat berbeda dengan kepentingan dan sifat pemeriksaan terdakwa di depan atau di dalam persidangan untuk pembelaan diri tentunya,” paparnya.
Fahri Bachmid menjelaskan secara historis, pada saat penyusunan KUHAP tahun 1981 hanya mencantumkan teknologi telegram yang baru diakui pada saat itu. Artinya politik hukum pembentukan KUHAP pada tahun 1981 belum mengenal pranata persidangan dengan konsep online/daring seperti fenomena hukum saat ini.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi saat ini, persidangan online dapat digelar sepanjang memenuhi azas hukum acara pidana, yakni peradilan cepat, berbiaya ringan, sederhana, dan pertimbangan pemenuhan HAM, serta sejalan prinsip dan prosedur yang telah diatur dalam KUHAP.
“Tentunya dengan terlebih dahulu dengan melakukan revisi terhadap ketentuan hukum acara, agar persidangan online tetap berbasis pada kaidah hukum yang berlaku dan tidak boleh mengatur secara serampangan melalui produk hukum “Beleeid” yang tingkatan hirarkisnya lebih rendah dari UU,” jelas Fahri Bachmid,
Lebih lanjut, Fahri Bachmid, mengatakan institusi lembaga peradilan di bawah naungan MA, mekanisme layanan hukum di pengadilan secara elektronik yang dikenal dengan nomenklatur e-court sejak Tahun 2018, MA telah berkomitmen untuk mewujudkan suatu sistem peradilan modern berbasis teknologi informasi sesuai Perma Nomor 1 tahun 2019 tentang Administrasi di Pengadilan secara elektronik.
Ini meliputi prosedur pendaftaran perkara (e-filing), pembayaran perkara (e-payment) pemanggilan (e-summon), dan persidangan (e-litigation) khususnya untuk perkara perdata di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan PTUN (termasuk pula pada tingkat banding).
“Namun untuk perkara pidana baik pidana umum maupun pidana khusus untuk layanan e-court yang di dalamnya termasuk prosedur e-litigation tidak diberlakukan,” ujarnya.
Artinya, kata Bachmid, berlaku prosedur beracara secara konvensional. Dengan demikian penyelesaian perkara pidana berbasis online hanya didasarkan pada Nota Kesepahaman antara MA, Kejaksaan, Kepolisian, dan Ditjen Pemasyarakatan tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan Covid-19 pada 13 April 2020,.
Secara teknis yuridis kehadiran terdakwa maupun JPU di depan persidangan pidana adalah bersifat absolut, sebagaimana diatur dalam ketentuan norma pasal 154 (1) KUHAP Jis. Pasal 11 ayat (4), pasal 12 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, “exception” atau Pengecualian atas tidak dihadirkannya terdakwa atau penuntut umum di persidangan hanya dapat reduksi dengan norma UU, atau yang sederajat dengan itu, sejauh tidak ada atau belum ada UU yang meng-justifikasi dibolehkannya ketidakhadiran terdakwa maupun JPU di persidangan, maka keberadaan terdakwa maupun JPU di muka persidangan adalah bersifat imperatif wajib.
“Pelaksanaan persidangan secara online secara konstitusional tidak dibenarkan dilakukan melalui produk hukum “Beleeid” hanya berupa Nota Kesepahaman antara MA, Kejaksaan, Kepolisian dan Ditjen Pemasyarakatan tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana Melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan Covid-19 bertanggal 13 April 2020, Jo. Surat Edaran Sekretaris MA No. 8/2020 tertanggal 7 September 2020, Jo. Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik,” tukasnya.
Sebab, secara konstitusional berdasarkan hirarki norma hukum, dan sesui UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Beleeid MA itu berada di bawah norma UU yang level dan derajat hukum UU sangat tinggi, sehingga produk hukum MA itu bertentangan dengan kaidah pembentukan perundang-undangan, yaitu asas “Lex superiori derogat lex inferiori” sebagaimana diatur dalam ketentuan norma pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dikatakan, untuk menghindari problem legalitas dengan segala implikasi yuridisnya terkait sidang pidana online yang tidak memiliki basis legal dalam KUHAP, yang kemudian sangat berpotensi untuk mengurangi pemenuhan hak terdakwa maupun saksi, sebab berkaitan dengan teknis pembuktian yang berorientasi pada mencari kebenaran materill yang tidak mudah dan rumit, maka idealnya perlu dan mendesak untuk segera dilakukan revisi secara terbatas terhadap hukum acara yaitu KUHAP.
Menurutnya, Presiden Jokowi segera mengambil kebijakan luar biasa untuk menerbitkan Perppu tentang perubahan atas UU RI No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, agar pranata dan mekanisme persidangan pidana dan pidana khusus secara online melalui sarana video conference memiliki landasan dan pijakan legal-konstitusional.
“Sehingga produk lembaga peradilan, termasuk putusan hakim sebagai “law and justice enforcer” mempunyai derajat legitimasi yang tinggi dan kokoh. Dan di sisi yang lain para terdakwa sebagai “Justitiabelen” memperoleh keadilan yang substantif, yang tidak terhalangi oleh berbagai prosudur formal yang legalistik,” katanya.
Ini sejalan dengan prinsip persamaan di depan hukum “equality before the law” yang adalah prinsip dari dan untuk semua golongan yang berasal dari “ordinary law of the land” yang dilaksanakan oleh “ordianary court” tutup, Fahri Bachmid. (mls)
Komentar