BUKAN BEDINDE

bang sém

BEBERAPA hari terakhir saya membaca postingan di beberapa Whatsapp grup informasi yang menggelikan sekaligus menyebalkan. Pasal sejumlah orang yang berada di lingkaran pusat kekuasan yang petantang-petenteng, seolah-olah penguasa.

Sejumlah media menggunakan istilah yang berbeda-beda. Antara lain: Deputi Staf Khusus, Asisten Staf Khusus, Pembantu Asisten Staf Khusus, Staf Pribadi Staf Khusus, dan lain-lain.

Ironisnya, kedatangan mereka ke lembaga-lembaga formal, termasuk ke universitas, disambut laiknya petinggi yang heu’euh.

Ada yang berlagak macam kontrolir jaman walanda, melakukan rapat koordinasi sambil marah dan gebrak meja. Ada juga yang macam sinterklas menjanjikan macam-macam bantuan, termasuk beasiswa, sambil bergaya macam penguasa yang bisa mengatur segalanya.

Saya tidak yakin jabatan-jabatan itu merupakan nomenklatur resmi negara. Kalau sampai sungguh ada, saya tak membayangkan, bagaimana jabatan itu bisa beranak sedemikian rupa. Dan kalau jabatan itu ada, tentu ada budget risk yang membengkak.

Kalau nomenklatur jabatan itu ada, secara budaya sungguh merisaukan, karena betapa gemuk dan tidak efisiennya organisasi. Tentu tak akan efisien. Di sisi lain, budaya yang berkembang bukan budaya kerja, melainkan budaya kekuasaan.

BACA JUGA :  AWAS GEJOLAK SOSIAL

Dalam situasi prihatin dihajar oleh pandemi, penyakit dan dinamika ekonomi belum menunjukkan tanda-tanda membaik dan keluar dari krisis, rantai jabatan semacam ini sangat tidak relevan.

Kalaupun harus ada dan dimaksudkan untuk memutus rangkaian jalur komunikasi dan informasi kebijakan, alangkah buruknya. Karena jabatan yang beranak pinak di luar struktur organisasi resmi yang jelas fungsinya dalam banyak hal hanya menambah persoalan, katimbang menyelesaikan masalah.

Dari pengalaman selama ini, seseorang diangkat sebagai staf khusus karena pertimbangan efisiensi dan efektivitas, terutama melekat pada petinggi dengan beban sangat berat dan spend of control yang lebar, sehingga memerlukan policy design yang final untuk dieksekusi dalam pengambilan keputusan. Tentu saja dengan otoritas daya kuasa yang sangat terbatas.

Staf khusus memang diperlukan oleh mereka yang mengemban fungsi besar, untuk memberikan second opinion untuk mematangkan solusi, sehingga proses pengambilan keputusan di tingkat formal tidak lagi memerlukan pembahasan yang rumit.

Staf khusus bukan bedinde, bukan sekadar pembantu. Karenanya, mesti memiliki kemampuan memberikan pertimbangan matang sesuai dengan kompetensi, skill, dan empirisma masing-masing.

BACA JUGA :  Wakaf Uang dalam Islam

Itulah makna kata ‘khusus’ yang dilekatkan pada fungsi keberadaannya. Bukan sekadar staf yang biasanya tergabung dalam stafting group. Tentu, sebagai staf khusus, seseorang mempunyai keunggulan tertentu di bidangnya, sehingga mampu menjadi mitra dalam momen intellectual exercise.

Bedinde beda lagi. Keberadaan dan fungsinya, hanya sekadar membantu. Tak lebih dan tak kurang. Walaupun ada juga tuan dan nyonya yang moody suka memanfaatkannya menjadi teman berbagai perasan untuk menepis galau. Itu sebabnya, ketika memilih bedinde, tuan dan nyonya cenderung memilih bukan pegunjing.

Hubungan tuan dan nyonya sangat personal karena terkait dengan urusan rumah tangga dan pribadi. Belakangan, bedinde disebut sebagai asisten rumah tangga. Karenanya, tak diperlukan asisten bedinde.

Hebatnya bedinde, sebesar apapun porsi fungsi dan kewenangan diberikan kepada dirinya, tidak pernah melampaui tuan dan nyonya-nya. Mereka sangat tahu diri dan menjaga performa sosialnya. Mereka sadar fungsi dan fokus pada work description, yang lebih terbatas katimbang job description. Terutama dalam hal otoritas.

Dalam banyak hal, para staf khusus perlu belajar kepada bedinde. Khasnya terkait dengan keterampilan dan sikap tahu diri. Terutama, ketika kondisi negara dalam keadaan sulit. |

BACA JUGA :  N. Syamsuddin Ch Haesy: Jangan Abaikan Planetarium Jakarta

Komentar