by Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SEJAK manusia mengenal Tuhan dan kekuasaan, hubungan negara dan agama senatiasa menjadi isu krusial. Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah, begitu kata Matius.
Isu pemisahan agama dan negara juga mengharu biru revolusi Perancis. Selanjutnya, menjadi salah satu prinsip demokrasi liberal. Perancis moderen di bawah Macron bersikukuh dengan prinsip itu, ketika menghadapi gelombang protes umat muslim sedunia yang menuntut hukuman setimpal terhadap tabloid yang menista Nabi Muhammad.
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, hubungan negara dan agama, mengerucut menjadi hubungan negara dan Islam. Diawali ketika negara ini sedang digagas-rumuskan bersama dalam BPUPK. Negara Islam muncul sebagai salah satu opsi-tuntutan. Hasilnya NKRI yang didasarkan pada Pancasila dengan menyisakan masalah ‘penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta’ yang menghebohkan.
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, dijelaskan secara ringkas oleh Ki Bagus Hadikusumo: Tauhid. Masyumi kembali memunculkan tuntutan Piagam Jakarta dan memuncak pada Konstituante yang diakhiri dengan Dekrit Presiden. Moh. Natsir, tokoh sentral Masyumi, pencetus Mosi Integral, menjelaskan, semua itu dinamika demokrasi. Sah adanya.
Negara Orde Baru amat curiga kepada Masyumi dan Islam. Meskipun Masyumi sudah membubarkan diri. Kemudian muncul Parmusi. Rejim Orba melarang tokoh-tokoh Masyumi tampil memimpin. Orba memandang kekuatan Islam politik ditopang kekuatan ekonomi umat yang bergerak dalam aneka kegiatan usaha, khususnya industri batik dan rokok kretek. Mochtar Mas’oud dalam bukunya Ekonomi dan Strutur Politik Orde Baru,1966-1971, mengupas tuntas soal penghancuran basis ekonomi umat Islam diawal masa Orba.
Isu hubungan negara Orba dan Islam menerus sebagai diskursus sepanjang paruh pertama kekuasaan Orba. Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler, kata Soenawar Soekowati, seorang tokoh nasionalis sekuler, waktu itu. Lalu, muncul plesetan: Indonesia bukan negara ini-itu. Puncaknya, azas tunggal Pancasila, seiring pelaksanaan paket 5 UU Politik.
Dipenghujung akhir kekuasaannya, negara Orba menjalin hubungan mesra dengan Islam. Lahirlah ICMI, juga Bank Muamalah.
Hubungan negara dan Islam dalam kurun sepuluh tahun terakhir, menarik dicermati, karena menunjukkan pola akrobatis. Sebagaimana ditunjukkan dua isu belakangan ini: jilbab dan waqaf.
Menutup aurat (perempuan) tentu bukan perkara remeh dalam ber-Islam, tapi perkara jilbab tak sepi dari perdebatan. Kalangan yang dianggap: substansialis, lebih-lebih liberal, memandang tak wajib. Tentu berseberangan sikap dengan kalangan yang dianggap: formalis, puritan.
Dalam isu jilbab ini, negara tampil dengan semangat kaum liberal, bahkan terkesan menjadi penganjur sekularisasi. Negara hadir dengan penuh tenaga melalui SKB 3 Menteri (Pendidikan, Agama, dan Dalam Negeri). Intinya, negara melarang pihak sekolah (Negeri) sebagai representasi negara atau Pemerintah Daerah Kabupaten membuat peraturan yang mewajibkan pakaian seragam berkekhususan agama, (publik menangkap yang dimaksud dalam hal ini jilbab).
Negara memandang berseragam dengan atau tanpa kekhususan agama sepenuhnya hak individu setiap guru, murid, dan orang tua.
Nampak jelas, negara dalam pengaruh tradisi sekulerisme, memisahkan urusan agama dan negara.
Penerbitan SKB itu, didasarkan pada pertimbangan yang sungguh luar biasa: menjaga eksistensi ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan keutuhan NKRI. Membangun karakter peserta didik untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta membina dan memperkuat kerukunan antarumat beragama. Juga, salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama.
Narasi yang mendekati absurditas ilmiah yang memberikan kesan dunia seolah hendak hancur berkeping gegara siswi ke sekolah mengenakan jilbab.
SKB itu tentunya juga melarang pihak sekolah atau Pemerintah Daerah membuat peraturan yang melarang siswi dan guru (muslimah) mengenakan pakaian seragam berkekhususan agama (jilbab). Tapi, pertimbangan di atas jelas sangat intimidatif terhadap hak dan kebebasan individu. Bila dinyatakan secara jujur, sesungguhnya negara memang bermaksud melarang siswi (muslimah) berjilbab.
Anehnya, negara getol memromosikan bank syariah. Masyarakat Ekonomi Syariah telah dibentuk. Sejumlah Menteri dan pejabat menjadi pengurus. Bahkan pemerintah bergerak lebih jauh, meminta waqaf kepada umat Islam.
Ekonomi-bank syariah, jelas isu substantif, wilayah jantung dalam ber-Islam yang menjadi tuntutan pokok dan cita-cita kaum puritan. Negara tiba-tiba menjadi garda depan formalisme Islam. Tak kawatir sedikitpun, hal itu bakal menghancurkan sendi-sendi kehidupan ber-Indonesia, sebagaimana absurditas ilmiah terkait jilbab. Dan, Menteri Agama merasa cukup menanggapi soal itu hanya dengan cengar-cengir?
Negara tampaknya menerapkan dua strategi dalam berhubungan dengan Islam. Pada ranah politik, Islam dipandang sebagai musuh, ancaman. Membahayakan eksistensi NKRI, anti Panca Sila. Narasi itulah yang mengemuka, menjustifikasi RUU HIP hingga pembantaian 6 orang anggota laskar FPI dengan semua varian peristiwa ikutannya. Apalagi (kebetulan) juga muncul Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Islam menjadi alamat: radikal, intoleran, teroris. Abu Jandul dan manusia-manusia sejenis, menjadi toa-corong yang giat menebar omong tolol itu.
Strategi yang diterapkan pada ranah politik, mungkin layak disebut: Intesifikasi gebug-an yang mematikan. Bersandar pada taktik devide et impera —belah bambu. Maka, dapat dimengerti perlakukan over kill terhadap FPI. Seraya menjunjung para penggerogot Islam.
Side effect strategi ini, pengalihan-pembelokan isu: Mega korupsi, kebangkrutan ekonomi, korporasi yang menguras dan menghancurkan SDA, penyerobotan sepihak Trisila-Ekasila, ….
Pada ranah ekonomi, negara tampak menerapkan strategi: Sanjungan yang menghisap* . Umat Islam disanjung dengan bank syariah hasil merger. Tentu masuk akal bila dimaksudkan agar skala dan kapasitasnya lebih besar. Dengan demikian, lebih besar pula kemampuannya memobilisasi dana umat. Muhammadiyah mencium gelagat itu. Lalu, menyatakan menarik dana existingnya.
Sebelumnya, telah dibentuk badan Pengelola Dana Haji. Sebagaian dana itu dipinjam untuk membangun infrastruktur. Terbaru, permintaan waqaf uang tunai. Tindakan nyleneh negara. Menyimpang dari pakem waqaf yang diyakini umat Islam. Semua itu bisa dipahami sebagai sanjungan yang menghisap sumber daya finansial umat Islam.
Dinamika hubungan negara dan Islam pada kurun ini, tampaknya menunjukkan pola paling aneh. Tentu kemalangan yang mendekati adzab, bila dalam relasi itu, umat Islam seolah berurusan dengan tukang pukul yang beringas lantaran kelaparan.
Komentar