Kadrun, Kadrun, Berilah Penguasa Uang

by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

NEGARA di ambang bangrkut. Kas nyaris melompong. Lalu, Sang Kaisar memerintahkan mencari sumber-sumber baru pendapatan negara. Pengalaman bangsa Romawi di waktu yang sangat lampau itu, mengantarkan manusia mengenal sensus, kelas sosial, dan pajak.

Di kemudian hari, Kaisar Vespasianus mengalami situasi serupa. Maka, ketika sang kaisar melihat orang ramai menggunakan fasilitas pemandian-peturasan umum, sekonyong sang kaisar mendapat ide: memungut pajak pemandian.

Rakyat protes. Pajak mandi memicu kegaduhan politik Romawi. Tanggapan sang kaisar atas persoalan itu menjadi proverbia yang amat masyhur: Pecunia non olet. Uang tidak pernah bau.

Uang memang hanya memiliki dirinya sendiri. Tak mengenal Tuhan, tak berbau, juga tak memiliki rasa malu. Diperoleh melalui bermacam cara: dicari, diminta, dicuri, digendam, ….

Setiap negara memiliki tanda lahir berupa hak meminta uang kepada rakyatnya melalui pajak, cukai, retribusi, ….. semua itu diatur dengan hukum. Narasi kaku yang melahirkan hak, kewajiban, kewenagan, sanksi. Dengan hukum itu, tak terbersit dalam benak rakyat sebuah negara peminta-minta. Rakyat menghayati ketundukan dirinya sebagai wajib pajak.

BACA JUGA :  Ferdinand Hutahaean, Kondisinya Seperti Ayam yang Disembelih

Lalu, muncul dalam sejarah, penguasa-penguasa yang menggunakan pajak secara ganas untuk menghisap rakyatnya. Rakyat China dipenghujung kekuasaan dinasti Qing meratap: Tahun ini babi memakan domba. Tahun depan, kita semua dilahap pajak. Kaisar Romanov yang ditamatkan riwayatnya oleh Lenin dan kaumnya, memungut pajak atas jenggot yang dipelihara warganya.

Negara dengan penduduk mayoritas muslim, jelas beruntung. Karena, selain pajak yang ditetapkan negara, Islam mewajibkan meredistribusikan sebagaian rejeki yang diyakini semata dari Allah, Sang Maha Kaya. Islam menyodorkan skema: zakat, infaq, shodaqoh. Juga hibah dan waqaf. Pada zaman khalifah Umar, semua itu dikelola negara melalui baitul maal.

Indonesia dikabarkan memiliki sejenis Umar. Terdengar aneh bagi Nusantara yang sinis terhadap segala yang berbau Arab. Dan, Islam dipandang ke-Arab-Arab-an. Lalu, orang Islam dijuluki kadrun. Diksi orang komunis untuk mengolok-olok kaum muslim. Islamlah yang arogan di negeri ini, … Kata seorang yang menyebut dirinya bapak (dalam bahasa Arab) para janda.

Tampaknya, ia memang Abu Jahal (bapak kebodohan)-nya Indonesia moderen. Umat Islam menjadi alamat ekstrimisme. Radikal dan intoleran. Tak sesuai Panca Sila lantaran anak gadisnya ke sekolah mengenakan jilbab.

BACA JUGA :  Geisz Chalifah Mengaku Sudah Talak Satu dengan PPP, Bisa Rujuk Lagi Kalau Elite-nya Berubah

Orang Islam kelompok kritis, tak berhak atas HAM sebagaimana mestinya. Bukti yang amat segar, pembantaian 6 orang anggota FPI, pembubaran FPI, penerapan pidana kerumunan terhadap HRS, pemblokiran rekening bank milik warga negara yang dikaitkan dengan FPI dan/atau kekerabatan dengan HRS, ……..

Politik Orde Baru menjinakkan Islam, diuraikan Mas’oed, melalui penghancuran basis ekonomi umat seiring moderenisasi produksi dan integrasi ke dalam kapitalisme global. Dewasa ini amat berbeda, politik (Islam) dijinakkan dengan korupsi dan penegakan hukum yang menyerupai kriminalisasi, tetapi umat Islam “dimuliakan” secara ekonomi. Ditandai dengan merger unit syari’ah bank-bank pemerintah dan gerakan waqaf uang tunai.

Umat Islam tentu dipandang kaya uang. Dijamin halal. Dan, gemar membelanjakan untuk kepentingan umat, sosial, dan agama. Memang benar. Setidaknya dibuktikan Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lainnya. Tumbuh kembang mereka sebagaian besar dari asupan waqaf, ZIS,…

Secara matematis, masuk akal bila pemerintah yang sedang sangat kesulitan uang, meminta kepada umat Islam sebagai mayoritas untuk menyerahkan waqafnya kepada negara. Tapi, secara moral, sosial, ekonomi, ….. tak masuk akal sehat.

BACA JUGA :  Kedaulatan Keppres

Mengapa pemerintah tak mengambil kembali triliunan rupiah yang dikorupsi? Mengapa gerakan meminta itu tidak ditujukan kepada pengusaha dan pejabat yang umumnya kaya raya itu? Mengapa pemerintah menambah beban umat Islam yang selama ini mengurus sendiri kebutuhannya? Mengapa pemerintah mengganggu keyakinan dan kenyamanan umat Islam membelanjakan sebagaian rejekinya di jalan Allah?

Ada sebuah lagu dari genre pemberontak sosial yang popular di akhir era Orba: Penguasa, penguasa, berilah hamba uang. Orde dewasa ini tampaknya membalik setengah lingkaran. Meminta waqaf, layaknya sedang meratap: Kadrun… Kadrun…. berilah penguasa uang.

Ratapan yang patut diabaikan!

Komentar