DRAMA RISMA

by Ludiro Prajoko
(Pemgamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

RISMA resmi menjankan tugas Menteri Sosial menggantikan Juliari yang ditangkap tangan lantaran korupsi. Segera memunculkan kontroversi. Ia tak melepas jabatan sebelumnya. Rangkap jabatan Menteri dan Walikota Surabaya, memicu kritik, juga perbincangan tentang etika publik. UU terkait jelas dan tegas melarang rangkap jabatan itu.

Segera Risma blusukan Jakarta. Dalam kapasitas sebagai Mensos, boleh jadi Risma menempuh jalur yang tak lazim dilalui para pejabat di negeri ini: berangkat dari bawah (masalah), kasus-kasus khusus, dan dialami langsung, sebagai bekal merumuskan policy. Tujuannya agar policy yang dibuat tidak teknokratis belaka, tetapi mengcover sisi-dimensi unik, nuansa pengalaman manusiawi. Menghidari teknikalisasi dan eksklusi sosial. Urusan sosial manusia tak cukup dirumuskan di atas meja dengan mengandalkan angka dan tabel, rumus dan diagram. Itulah perlunya blusukan.

Tentu segera menuai kritik. Risma dianggap mengalami semacam gejala disorientasi posisi-lokasi. Tidak dapat memersepsi secara jelas relasi posisi-jabatan dengan lokasi-wilayah tugas-otoritasnya. Lalu, dijuluki Menteri Jakarta. Disorientasi otoritas: kerancuan otoritas, tugas dan fungsi Walikota dengan Mensos. Bukan fokus pada policy tapi tindakan langsung di jalanan. Tampaknya juga disorientasi mentalitas. Mungkin ungkapan itu tak terlalu tepat menjelaskan isu patologis sosial dan nuansa ke-udik-an yang diandalkan untuk menggebrak Jakarta yang megah gemerlap-megapolitan.

BACA JUGA :  Geisz Chalifah Mengaku Sudah Talak Satu dengan PPP, Bisa Rujuk Lagi Kalau Elite-nya Berubah

Suatu hari Menteri Risma terlihat sedang menyapu bahu jalan. Duduk di lantai tanpa alas, menyantap nasi kotak. Menyisir Sudirman-Thamrin. Di jalan protokol itu, ia menemukan beberapa gelandangan sedang duduk santai di trotoar. Dengan para penggelandang itu, Risma berbincang secukupnya.

Banyak warga termasuk Wakil Gubernur DKI merasa aneh atas temuan itu. Seorang nitizen mengabarkan, ia mengenali salah satu gelandangan itu, pedagang kelapa muda di Manggarai, katanya. Ditampilkan foto para gelandangan itu sedang sarapan di sebuah kantin sebelum nongkrong di Sudirman. Juga dikabarkan, seorang gelandangan lainnya sibuk menggunakan smartphone. Tak salah bila khalayak percaya: Risma sedang bermain drama.

Jakarta, drama Risma untuk apa? Boleh jadi Risma sengaja memicu kontroversi-sarana memanipulasi persepsi, untuk mengaburkan latar belakang kementerian sosial sebagai sarang korupi. Kedatangan Risma terasa efektif mengalihkan perhatian publik dari kasus korupsi Bansos.

Mungkin juga, Risma merasa perlu menegaskan karakter diri dan kepemimpinannya yang merakyat-populis. Sesuatu yang penting bila ia memang dipersiapkan tampil pada 2022 nanti. Paling tidak, blusukan Risma dapat memberikan efek De-Anies-sasi.Apalagi bila tugas itu diembankan kepadanya.

BACA JUGA :  ROKET BUATAN CHINA MELEDAK

Namun, pementasan drama Risma, nampak kurang memerhatikan panggung. Kawasan jalan protokol Sudirman-Thamrin, bukan lokasi yang tepat untuk syuting episode “Berjumpa Gelandangan Metropolitan”. Dasar berpikirnya memang logis. Sudirman – Thamrin sepenggal Jakarta yang amat prestisius. Bila ditemukan 3 sosok gelandangan disana, tentu memberikan daya tohok yang kuat kepada otoritas DKI. Sutradara abai, kawasan itu, selama ini, dijaga kebersihannya dari gelandangan.

Gelandangan tentu tersedia dalam jumlah cukup melimpah di Jakarta. Adakah kota (besar) nir gelandangan? Tak ada! Gelandangan memang anak pungut semua kota (besar). Dan, harus diakui, akarnya menancap dalam kebijakan pembangunan nasional.

Drama Risma juga kurang memerhatikan khalayak penonton. Orang Jakarta jelas khalayak penonton kelas menengan ke atas, kritis, canggih dan, peka penciumannya. Layaknya memiliki detektor keganjilan. Cepat dan mudah menebak plot dan kesalahan adegan.

Drama Risma, bila benar sarat rekayasa, jelas memertontonkan kegilaan pencitraan diri, mengelabuhi publik, pembelajaran keculasan. Apapun motifnya, apalagi berkait De-Anies-sasi, persiapan 2022 nanti, ….., Tak pelak, sebuah drama konyol di hadapan publik Jakarta. Kecuali, bila publik Jakarta sepakat menjadi: konyol.

BACA JUGA :  Sah, Balap Formula E Jakarta Digelar 4 Juni 2022

Komentar