by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
TAK dapat dibantah, dua kasus berat produk Pemerintah akhir tahun 2020: Pembantaian 6 orang anggota laskar FPI dan korupsi menteri, khususnya Mensos Juliari. Dua perkara itu menjadi beban berat menapaki tahun 2021.
Sudah diakui, polisi yang membunuh 6 orang anggota laskar FPI. Seiring proses hukum atas kasus extra judicial killing itu, tak mungkin dapat dicegah maraknya perbincangan publik: sampai level manakah otoritas yang memerintahkan pembunuhan itu? Apakah motifnya?
Perbincangan itu bakal keluar dari kotak hukum. Publik tak peduli. Terserah hukum mau diapakan dalam persidangan. Perbincangan manusiawi dan politik tentang siapa yang memerintahkan pembunuhan akan membentuk persepsi-keyakinan publik. Kesimpulan akhir bukan di pengadilan, tetapi dalam benak publik. Selain, ketertarikan masyarakat internasional, khususnya pers, terhadap kasus itu serta proses hukumnya.
Kasus korupsi Bansos, menyeret Puan Maharani, putri Megawati dan Gibran, putra Presiden. Juga mengait ke PDIP. Publik memiliki perasaan sendiri akan kebenaran keterlibatan putra-putri itu. Semakin kencang kasus itu disuarakan, semakin babak belur Puan, Gibran, ayah bundanya. PDIP diprediksi bakal terpuruk lantaran menanggung malu melebihi Golkar zaman Orde Baru.
Covid sendirian tak menjamin bisa mengatasi, meredam dua perkara itu. Pembubaran FPI menjadi support yang meyakinkan. FPI tak bisa lagi bergerak secara dan dengan kekuatan organisasi. Bahkan, atributnya dilarang.
Langkah Pemerintah itu terasa mengikuti strategi blame the victim. Menista korban. FPI ditampilkan sebagai kekuatan yang membahayakan eksistensi negara dan bangsa. Dikuatkan dengan deklarasi Menteri Agama untuk memerangi populisme Islam yang mesti dibaca sebagai figure-tokoh dan/atau lembaga Islam yang memiliki basis dukungan besar, solid dan, kritis terhadap pemerintah. Itulah Islam yang ditarik-tarik ke politik. Populisme Islam menurut nalar Menag.
Aneka persoalan hukum sampai menembus ke alam mimpi menjadi taktik menyedot perhatian publik memfokus ke FPI. Tentu baik membincangkan semua persoalan itu dari tinjauan hukum. Tapi, tak banyak berarti. Karena aneka persoalan itu, khususnya pembubaran FPI, bukan peristiwa hukum.
Otoritas Polhukam pasti mengantisipasi dan memerhitungkan reaksi publik terhadap hal itu. Tapi, Pemerintah nampak yakin, pesan kebulatan tekad Pemerintah melakukan represi jauh lebih kuat pengaruhnya terhadap publik. Tampaknya, selangkah lagi, Pemerintah sampai pada konklusi: membela FPI merupakan suatu kejahatan.
Rasa percaya diri Pemerintah itu didasarkan pada realitas dimana FPI nyaris sendirian. Serta memanfaatkan dengan baik situasi yang mengarah pada terbentuknya persepsi: berbagai persoalan yang menimpa FPI merupakan urusan internal yang harus ditanggung sendiri.
Efektifitas tindakan pemerintah terhadap FPI dapat dicermati dari kegencaran. Pertama: perdebatan teknis hukum. Kedua: opini terfokus pada pembubaran FPI dalam tarikan populisme Islam. Ketiga: melemahnya perhatian pada kasus korupsi para menteri, khususnya Juliari. Sampai terumuskan formula hukum penyelesaian kejahatan pembunuhan 6 orang anggota laskar FPI dan korupsi Bansos.
Tentu menarik, bila pembubaran FPI (Front Pembela Islam) melahirkan FPI-FPI baru (terserah apapun kepanjangannya) guna menggencarkan tuntutan penuntasan kejahatan HAM dan korupsi Bansos. Boleh jadi, 2021, tahun FPI.
Komentar