by: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
KASUS penembakan enam anak muda di KM 50 Jakarta-Cikampek menyita banyak perhatian. Sudah lebih dari sepekan menjadi trending topik di berbagai media. Tidak saja media Indonesia, media luar negeri juga telah banyak memberitakan.
Kasus ini berlarut-larut dan terus menjadi pembicaraan publik karena pertama, berita dan informasinya simpang siur. Bahkan dianggap banyak keganjilan.
Kedua, tuntutan publik agar kasus ini diserahkan dan ditangani Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ditolak presiden. Justru presiden menyerahkan ke pihak kepolisian yang notabene menjadi pihak yang terlibat dalam kasus KM 50. Sebagian masyarakat menganggap ini tidak fair.
Ketiga, Komnas HAM yang diharapkan bisa menjadi pembuka tabir kasus ini dianggap tidak transparan. Komnas HAM selama ini puasa bicara dan tutup mulut. Hampir tak ada report yang dilaporkan dan disampaikan ke publik terkait temuan Komnas HAM. Malah kabar terakhir, Komnas HAM hanya lapor ke presiden. Apakah ini tanda bahwa Komnas HAM sudah masuk angin atau berada dalam tekanan? Begitu pertanyaan yang berkembang di publik.
Atas ketidakpuasan ini, sejumlah masyarakat mendatangi kantor Polsek dan Polres di berbagai daerah. Dua tuntutan mereka. Pertama, bebaskan Habib Rizieq Shihab (HRS). Kedua, usut tuntas kasus penembakan enam anak muda pengawal HRS. Bahkan diantara massa yang datang ke sejumlah Polsek dan Polres minta ikut ditahan.
Tidak puas juga datangi Polsek dan Polres, beredar info bahwa hari Jumat siang besok, 18 Desember 2020, akan datang gelombang massa ke Istana. Tuntutannya tetap sama: bebaskan HRS dan usut tuntas kasus penembakan enam anak muda yang mengawal HRS.
Bukannya HRS meminta tidak ada kerumunan, kenapa tetap mau datangi Istana? “HRS memang harus bicara begitu. Tapi, pembelaan dan penuntasan kasus KM 50 harus diperjuangkan,” jawab mereka.
Ketika HRS mengangkat kedua tangannya yang diborgol di depan media, banyak di antara para pengikut dan pendukungnya memahami bahwa itu isyarat yang tegas untuk terus berjuang. Berjuang menegakkan keadilan untuk enam pengikutnya yang ditembak mati.
Mereka mengingat kata-kata HRS sebelum datang ke Polda Metro Jaya: “Kalau saya dipenjara atau dibunuh, perjuangan harus tetap dilanjutkan”. Perjuangan seperti apa yang dimaksud HRS, para pengikut dan pendukungnya mungkin sudah memahami arti dan arahnya.
Lalu, berapa besar massa yang akan hadir untuk menuntut keadilan di depan Istana Jumat besok? Mungkinkah jumlahnya mencapai jutaan sebagaimana yang diprediksi Hendro Priyono, mantan kepala BIN itu? Apakah Jumat besok akan menjadi puncak berkumpulnya massa yang sangat besar, atau menjadi awal untuk demonstrasi-demonstrasi berikutnya yang lebih besar?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibuktikan Jumat besok. Ini sekaligus untuk mengukur pertama, kemampuan para pengikut dan pendukung HRS dalam melakukan konsolidasi massa. Kedua, mengukur seberapa besar keprihatinan dan empati rakyat terhadap penembakan yang mengakibatkan kematian enam anak muda di KM 50 itu.
Banyak pihak yang melihat bahwa ini bukan soal HRS dan FPI, tapi ini soal kemanusiaan. Soal enam anak muda mati yang dada kirinya tertembus dua hingga tiga peluru. Sehingga tokoh seperti Prof. Azumardi Azra dan Natalius Pigai ikut lantang bicara.
Seberapa besar massa yang akan hadir di depan Istana, jutaan sekalipun, diharapkan tetap mematuhi protokol kesehatan (prokes), dan tidak ada tindakan anarkis. Tidak boleh terpancing provokator yang biasanya memang sengaja hadir untuk memperkeruh suasana.
Negara ini negara hukum, maka aturan mesti dipatuhi dan keadilan harus ditegakkan. Untuk dan kepada siapapun.
Jakarta, 17 Desember 2020
Komentar