by: LudiroPrajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
REVOLUSI Mental gagal total. HRS pulang. Lalu, mengumumkan serta mengajak bangsa ini menyelenggarakan: Revolusi Akhlak. Tentu baik mengikuti gerak agenda itu sambil membaca ulang Eric Fromm: _Revolusi Harapan, Trotsky: Revolusi Permanen, atau Lenin: Revolusi, Dari mana dimulai?
Polisi mengambil inisiatif. Mereka menguntit rombongan HRS yang bergerak dini hari. Boleh jadi mereka, polisi itu, membayangkan Castro dan Che turun dari kapal Granma hendak menyerbu istana, menggulingkan Batista, sang diktator Kuba.
Kemana rombongan HRS hendak menuju? Rumah salah seorang sanak keluarga, untuk keperluan pengajian terbatas keluarga. Dalam rombongan itu ada beberapa perempuan dan balita anggota keluarga. Disertai pengiring, sejumlah anak muda. Tentu semuanya anggota FPI.
Dini hari, di suatu ruas jalan tol Jakarta – Karawang, rombongan HRS dikejar sekelompok OTK (Orang Tak diKenal). Belakangan polisi memberikan keterangan resmi, meraka: polisi. Sedang menjalankan tugas. Memang tanpa mengenakan atribut kepolisian Indonesia. Preman istilahnya.
Diberitakan, proses itu berlangsung seru, layaknya film cowboy Amerika akhir dekade 70-an. Dar—dor…. Tembak-tembakan. FPI katanya punya laskar khusus yang menenteng senpi. Layaknya combatan.
Kebanyakan warga, sesuai jajak pendapat, tak percaya cerita itu. Dianggap isapan jempol belaka. Tak ada tanda-tanda yang mengindikasikan telah terjadi adegan itu. Sialnya, CCTV di sepanjang jalur tembakan, layaknya dikomando, mati serempak dalam pemeliharan.
Ketika diberitakan, enam anak muda anggota FPI sudah tak bernyawa. Jagat medsos riuh oleh peristiwa itu. Fokus perbincangan gugatan kepada polisi. Ada hal menarik. Beberapa orang buzeRp berkomentar: harusnya berbahagia karena telah bertemu 72 bidadari. Ditambah himbauan: mestinya berterima kasih kepada polisi. Mereka, memang dungu!
Dalam kaitan teks suci, ungkapan 72 bidadari, merupakan alegori yang menggambarkan kebahagiaan-keindahan yang tak terjangkau persepsi manusia. Bukan isu remeh dalam tafsir-eksegesis al kitab. Hal itu, tak bisa dimengerti dengan kedunguan.
Setiap korban kedzaliman, kebiadaban, termasuk enam anak muda itu, berhak untuk bahagia, sekurang-kurangnya, berhak mengharap kebahagiaan sebagaimana dijanjikan Tuhan. Tapi, tindak kedzaliman bukan urusan kebahagiaan, bukan tanggung jawab yang sudah tak bernyawa.
Kalau urusannya berhenti disitu. Tentu juga sangat baik bagi para buzeRp itu: ditembak mati. Dibantu segera kembali ke rumah Bapa dengan bergelimang bahagia.
Pasti tak demikian bagi nalar yang waras. Karena: pembantaian, kedzaliman, kebiadaban, sepenuhnya soal kemanusiaan, moral, hukum, bagi yang hidup, dan sehat jiwa serta pikirannya.
Selanjutnya, prospek dan dampak kreatifitas polisi di jalan tol itu, terhadap perkembangan bangsa ini hari-hari kedepan, sangat penting dicermati.
Dengan kasus itu, polisi telah membuka ke publik: Pertama: Teka-teki (ada-tidak), agenda menghabisi HRS. Tidak sebatas politis, tapi biologis. Mengingatkan pada nasib Benigno Aquino di Philipina dulu.
Kedua: dinamika internal Polri. Cerita yang tidak konsisten tentang berbagai isu terkait tewasnya 6 anggota FPI, mengindikasikan sejumlah faksi, paling tidak: klik, geng, Kata Refli. Publik menduga dinamika itu terkait politik markas: perebutan jabatan petinggi Polri. Bila benar demikian, pasti ada yang salah, sejak dari akademi, proses pembinaan personil, pembinaan karir.
Tentu, sangat berbahaya, karena urusan penegakan hukum, ketertiban dan keamanan masyarakat, berada dalam genggaman otoritas yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi gerombolan bersenjata yang bertindak keji, tak hirau terhadap aspek-aspek krusial masyarakat moderen: HAM, opini internasional, …… yang membuat citra bangsa dan Negara terpuruk dimata bangsa-bangsa beradab. Pandangan ini potensial berkonsekuensi: meninjau-menata ulang eksistensi Polri. Atau,
Ketiga: Markas Polri dijadikan ajang politik oleh kuasa di luar Polri. HRS diurus sedemikan rupa oleh Polri, mengingatkan pada PID (Politieke Inlichtingsche Dienst), intel polisi untuk urusan politik zaman kolonial, yang terkenal bengis.
Bila dicermati, memang terjadi pergeseran pola negara otoritarian. Dari semula Negara Otoritarian Militeristik (NOM), menjadi Negara Otoritarian Polisionil (NOP). NOP diuntungkan, karena: tidak lazim, kurang merangsang indera penciumam kaum pro demokrasi-penegak HAM, rendah kadar sentimen sipil, dibanding tentara.
Terbukti, banyak juga korban demonstran tewas pada berbagai aksi demo yang lalu. Tapi, tidak menyengat seperti jaman rejim militer. Polri membuka peluang bagi kajian NOP dan, bisa jadi kontribusi Indonesia bagi pengembangan ilmu pengetahuan sosial, khususnya ilmu politik.
Keempat: prakarsa menghadirkan martir yang memang diperlukan untuk membuka pintu bagi bangsa ini menyelesaikan segudang permasalahan yang ada. Lembaga-lembaga yang berperan penting mendorong reformasi: LBH, Komnas HAM, Kontras, Amnesti Internasional,…. kembali muncul. Kita akan melihat bagaimana kegigihannya. Atau, sekedar menggugurkan tanggungjawab.
Kita masih menanti reaksi kalangan perguruan tinggi. Pasti sangat aneh bila mereka tak beraksi, hanya karena korban tidak tercantum dalam buku registrasi di kampus.
Sulit dipungkiri, pembantaian 6 anggota FPI, merupakan pesan yang amat jelas dan kasar, kepada HRS, basis pendukungnya: FPI, 212. … Juga kepada kelompok-kelompok kritis lainnya. Pesan: kengerian, kematian, juga keringantanganan untuk membantai. Pesan untuk mengunci gerakan revolusi…. (Akhlak).
Komentar