by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
TERSIAR kabar dari Inggris: Benny Wenda, tokoh Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), 1 Desember 2020, mendeklarasikan kemerdekaan dan pembentukan Pemerintahan Sementara Papua Barat (Pabar). Sejak hari ini, Pabar tidak tunduk lagi kepada Indonesia. Kami telah memulihkan kedaulatan kami, katanya. Konstitusi baru juga telah disusun dan, Wenda menjadi Presiden Sementara.
Ia menjanjikan dimasa depan, Pabar menjadi negara hijau pertama di dunia. Status saat ini: Provinsi konservasi. Akan meluhurkan hak-hak asasi, antitesa dari periode penjajahan berdarah Indonesia. Pabar selangkah lagi: merdeka! Begitu pidatonya.
Deklarasi itu disambut rakyat Pabar dengan penuh suka cita, mereka pawai di jalanan. Aksi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Aliansi Mahasiswa Papua, digelar dibeberapa kota: Makasar, Surabaya, juga Sydney, mendukung kemerdekaan Pabar.
Tapi, OPM (Organisasi Papua Merdeka) tak mengakui deklarasi Wenda. Pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Jefrey Bomanak, menilai deklarasi itu ilegal, tak sah, sepihak. Karena, dilakukan di Inggris, tak melibatkan pimpinan masyarakat di 7 wilayah adat, dan tidak sesuai dengan konstitusi 1 Juli 1971 yang menyatakan: Pemerintahan Sementara dijalankan oleh TPNPB OPM.
Wenda mengharap Australia mengambil peran dalam proses pemerdekaan itu. Pabar butuh pemain besar seperti Australia. Wenda memberi undangan khusus, Australia memang berpengalaman mengurus Timtim.
Selain itu, tampaknya, ada beberapa pemain besar yang potensial. Wenda telah menendang bola lambung ke dunia internasional, tentunya negara-negara yang memiliki kepentingan besar: geo strategis, SDA, investasi, dll. Masuk akal bila publik menduga: Australia, Amerika dan, China, segera menggiring bola.
Tentu harus dicermati gelagat pers asing mewartakan deklarasi itu. Tampaknya, mereka sudah memiliki platform: dorongan menuju pelepasan Pabar dari Indonesia, dengan imbuhan: kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Menjelang 1 Desember biasanya terjadi kerusuhan dan kekerasan yang signifikan, kata The Guardian.
Pabar tampaknya sedang dalam tahap krusial pemerdekaan. Ada fenomena Timtim disana: perjuangan dari luar yang gigih (Wenda di Inggris). Pers asing tentu yakin akan keampuhan mantranya, lebih-lebih bila ditunjang video dokumenter, seperti film Santa Cruz yang diputar perdana di Eropa.
Keterlibatan negara asing mustahil dihindari. Australia, sesuai doktrin pertahanan-keamanan nasional, politik mengutamakan tetangga dekat, dan, memenuhi undangan Wenda. Tentu amat strategis memiliki tiga Papua sebagai tetangga sangat dekat. Lebih-lebih, persaingan di kawasan pasifik semakin seru dengan kehadiran China.
Amerika tentu tak tinggal diam. Ada Freeport di Mimika. Tidak kurang dari 2000 warga Amerika berada di Timika, ibukota Mimika. Memang tidak termasuk wilayah barat. Sebelum dimekarkan, Mimika bagian dari Kabupaten Fakfak (Pabar) dan, Amerika juga tahu, lokasi diluar Mimika, dimana emas dan mineral lain terpendam. Amerika memang meninggalkan jejak sejarah di Papua, karena dulu menekan Belanda agar mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua.
China, tak salah kalau sangat tertarik. Tanaman investasinya disana mengesankan: pabrik semen. China juga tergiur berinvestasi di sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Juga politik luar negerinya yang menyalakan OBOR. Beriringan dengan itu, bandul politik luar negeri Indonesia memang mengayun ke China.
Papua memang akan merepotkan mereka, bila suatu saat, Indonesia dianugerahi pemerintahan yang benar dan, mengurus Papua dengan sepunuh hati sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Jadi, Wenda hanya perlu sedikit bersabar sampai para pemain besar yang diharapkan itu, selesai dengan kalkulatornya.
Tak seperti Timtim, Pabar tidak memiliki klaim historis. Karena itu, mereka ajukan klaim antrophologis-genetis: sebagi bangsa tersendiri, bukan bangsa Melayu-Indonesia (pengalaman Sudsel). Mematutkan diri menempuh jalur perang nasional (pengalaman Timtim). Kesannya selama ini, tak henti terjadi perang berdarah-darah.
Situasi dan dinamika (internal-Papua, Indonesia, dan internasional) pasti dikaji seksama untuk merumuskan finishing touch. Jelas, Pabar tidak menikmati bonus efek kejut demokrasi seperti Timtim. Atau, kelelahan akibat perang saudara seperti Sudsel. Jadi, perlu fokus pada kondisi dan dinamika Indonesia dewasa ini. Selain, menyimak pengalaman Sudsel, potensi perang saudara paska merdeka.
Merujuk pengalaman Timtim dan Sudsel, Pabar juga harus melewati referendum. Dalam perkara merdeka, PBB memang selalu menjadi dewa pemutus, melalui referendum. Karena itu, penting disimak pernyataan Ravina Shamdasani, juru bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB: pihaknya terganggu dengan peningkatan kekerasan selama beberapa waktu belakangan ini di Provinsi Pabar di Indonesia.
Pabar: berdebar, mengharap referendum segera digelar.
Komentar