by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
KEGEMBIRAAN menyelimuti seluruh warga. Mereka berkumpul, menari-nari sembari mempersiapkan berbagai hal untuk menggelar prosesi proklamasi. Para veteran perang, tentara, warga sipil, perempuan, berparade di bawah terik matahari, melintasi ibu kota, sebagaian mengenakan pakaian tradisional, bergoyang pinggul mengikuti irama tabuhan drum dan perkusi.
Sementara, sejumlah orang terus bekerja keras menyelesaikan panggung upacara di ‘alun-alun’ John Garang. Tak ada penjelasan, apakah kata garang yang terangkai menjadi nama tokoh itu, dipetik dari bahasa Indonesia atau bukan.
John Garang: pemimpin perjuangan Sudan Selatan, terbunuh beberapa bulan setelah penandatanganan perjanjian damai tahun 2005. Perjanjian komprehensif yang mengakhiri konflik berkepanjangan antara Sudan Selatan dengan Utara.
Lalu, kedua pihak sepakat menyelenggarakan referendum: tatacara demokrasi Schumpeterian yang diamini secara luas. Perhelatan itu dilaksanakan sesuai jadwal, awal 2011. Hasilnya, lebih dari dua per tiga warga Sudan Selatan memutuskan: Merdeka!
Juba: Ibu kota Sudan Selatan. Persis lewat tengah malam. Lonceng gereja berdentang. Menandai pergantian hari sekaligus dimulainya pesta rakyat menyambut kemerdekaan. Tepat tengah malam, Ketua Parlemen Sudan Selatan membacakan proklamasi kemerdekaan, diiringi penurunan bendera lama.
“Sungguh, ini hari yang membahagiakan karena menghapuskan seluruh kedukaan orang selatan selama hampir 50 tahun”. Ungkap seorang warga. Alleluia! Alleluia! Mereka girang memekik. Pujilah Allah! Kata itu dipetik dari bahasa Hibrani: halaluyah –pujilah hai Yehovah, lalu mengalami proses penyelinapan yang rumit ke dalam bahasa Yunani.
Upacara resmi yang dilaksanakan hari itu: parade militer, do’a, pengibaran bendera nasional dan, penandatanganan konstitusi oleh Presiden pertama Sudan Selatan: Salva Kiir.
Jutaan warga Sudan Selatan memeriahkan peristiwa penting itu, selain perwakilan negara asing. Penanggalan hari itu menunjukkan angka 9 Juli 2011. Hari lahir Republik Sudan Selatan.
Sudan (Selatan dan Utara) ditilik secara anthropologis adalah bangsa yang satu. Nyaris tak ada perbedaan fisik. Mereka tinggal di hamparan tanah yang menyatu, tak dipisahkan laut. Bedanya, satu di selatan, satunya lagi di bagian utara. Satu beragama kristen, satunya lagi muslim.
Setengah abad mereka bertikai, perang saudara. Konflik bersenjata tentu tak pernah berlangsung ramah. Telah menewaskan jutaan warga dan memorak porandakan kawasan itu. Akar permasalahannya aneka macam persoalan sosial yang berkelindan dengan isu agama, ras, sentimen-sentimen primordialistik.
Merdeka, bagi hampir semua bangsa, termasuk Sudan Selatan, adalah sebuah ikhtiar menyudahi sedu sedan. Di jaman kolonialisme eksternal dulu, sedu sedan itu akibat penindasan, ketidakadilan, eksploitasi, …. oleh bangsa lain.
Berbeda dengan negara-negara yang merdeka belakangan. Mereka merasa sebagai korban penindasan oleh bangsa sendiri-kolonialisme internal.
Kelompok yang merasa ditindas kemudian kembali memunculkan kesadaran kolektif bahwa kita berbeda dengan mereka. Lalu melakukan gerak sentripetal, memisahkan diri, merdeka.
Gelagat itu menemukan ruang aksinya yang kondusif ketika sentimen-sentimen primordial yang bersifat laten, layaknya bara api dalam sekam, bertemu kondisi sosial objektif yang dibentuk dari paduan ketidakadilan, pengurasan sumberdaya alam, kesenjangan, kemiskinan, korupsi yang merajalela. Juga, campur tangan asing.
Bila semua itu melekat dalam tubuh sebuah bangsa, maka, bangsa itu dalam perjalanannya menuju masa depan yang terbayangkan, mengantongi pilihan yang ambigu: mungkin akan tetap utuh, mungkin juga tidak!
Komentar