by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
GEJALA munculnya negara baru, masih berlanjut. Aceh nyaris mengalaminya. Bergolak keras menuntut referendum hendak merdeka. Syukurlah sudah lerai, dan tak ada lagi yang membicarakan dengan penuh semangat, lebih-lebih setelah tsunami di akhir tahun 2004.
Aceh waktu itu, gigih berjuang. Membangun satuan tempur di bawah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bertahun-tahun hidup dalam suasana perang karena statusnya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Tapi, Aceh yang mayoritas penduduknya muslim, juga “Islam” di Indonesia, tampaknya tidak pernah bersungguh-sungguh ingin merdeka, memisahkan diri dari Republik ini. Selain faktor sejarah-dinamika umat Islam dan bangsa ini, juga faktor teologi cinta tanah air.
Papua tampaknya belum selesai benar. ‘Papua adalah melanesia, mereka adalah melayu’ kata salah seorang tokoh Kongres Rakyat Papua. Ada benarnya juga. Bukankah konsep bangsa dan negara berbeda?
Negara: konsep hukum-politik. Bangsa: konsep anthropologis-genetis. Tanah Papua, karena proses hukum dan politik tertentu, menjadi bagian dari NKRI. Tetapi orang Papua 100 persen berhak menyatakan dirinya bangsa Papua-Melanesia.
Benar, Republik Indonesia adalah negara bangsa, nation state. Ada unsur penting, kata Renan, dalam proses pembentukan sebuah negara bangsa: lupa, ‘ketidaksadaran’ bahwa kita, dari berbagai aspek, berbeda.
Lupa itulah yang mengikat masyarakat Aceh, Sumatera Barat, Riau, … merasa sebangsa dengan orang Ambon, NTT,.. dan merasa tidak sebangsa dengan orang Serawak. Bangsa memang komunitas yang dibayangkan, kata Ben Anderson.
Timtim mewakili gejala munculnya negara baru yang mengiringi tumbangnya rejim otoriter militeristik yang segera digantikan rejim demokratis. Pergantian itu melalui fase yang disebut transisi, yang terbukti bukan perkara mudah. Salah satu godaanya, kata Auchincloss: democracy doesen’t always build national cohesion. Efek kejut demokrasi menghasilkan negara merdeka.
Ketidak selaluan itu akan manifes ketika spirit kebangsaan (nasionalisme) yang ditanamkan hanya sebatas imajinasi keutuhan teritorial. Sementara ruh nasionalisme: keadilan, kesejahteraan, penegakkan hak-hak azasi, … menguap. Tanpa perwujudan ruh itu secara bertahap progresif, integrasi teritorial bukan saja susah dipertahankan, tetapi juga tak berarti banyak.
Demokrasi dalam dirinya memiliki perangai aneh. Berulangkali Bung Hatta mengingatkan: demokrasi mudah tumbuh menjadi ultra demokrasi, semacam adonan kebebasan dan anarkhi. Tapi, dimanakah batas-batas kebebasan ruh demokrasi?
Kebebasan berpikir, berserikat dan, berkumpul, … adalah ruh demokrasi. Jika kebebasan itu, dengan argumentasi yang masuk akal serta klaim objektif yang tak terbantah, menjadi tuntutan untuk merdeka, sementara, demokrasi telah berikrar bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kiranya dapat dimengerti secara gamblang cerita berikutnya.
Komentar