Jurnalisme dan Media Harus Membangun Harmoni Kebangsaan

TILIK.id, Jakarta — Program “Tilik Bang Sem” di Channel Salam Radio Rabu malam giliran menghadirkan Pemimpin Redaksi media oline TILIK.id, Syahrir Lantoni. Selama 1 jam dialog berlangsung santai tapi serius dengan topik seputar jurnalisme di era pandemi.

Program Tilik Bang Sem sudah beberapa bulan on air. Sejumlah narasunber sudah dihadirkan. Seperti Menteri Agraria dan Tata Ruang 2014-2016 Ferry Mursyidan Baldan, mantan anggota DPR tiga periode yang mantan Bupati, Sofhian Mile, Korpres MN FORHATI Hj Hanifah Husein, pengurus DPP PAN Ambia Boestam, Abu Hanifah, dan beberapa budayawan.

Rabu malam, Syahrir Lantoni dihadirkan dalam dialog tematik tersebut. Seperti biasa sebelum dialog ada video klip ditayangkan oleh N Syamsuddin Ch Haesy atau Bang Sem, pemilik program, yang juga jurnalis senior.

Dalam dialog, Syahrir Lantoni yang akrab disapa Acil ini, menyinggung pancingan Bang Sem soal periode sejarah jurnalisme dan tokoh-tokohnya. Medan juang yang berbeda antara periode pra kemerdekaan dan periode kemerdekaan serta periode pembangunan, menurut Acil, adalah satu hal yang kontras dari sisi keberpihakan.

BACA JUGA :  Joe Biden Sah sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat

“Dulu tokoh-tokoh pers adalah juga tokoh pejuang dan pergerakan. HOS Tjokroaminoto, Notonegoro, Adam Malik, Muchtar Lubis, BM Diah, Rosihan Anwar adalah perinis kemerdekaan,” kata Acil.

Alat perjuangan mereka waktu itu media yang samgar sederhana, koran, radio, bahkan stensilan, dan semacamnya. Namun orientasi perjuangannya adalah kemerdekaan, keadilan dan kerakyatan.

Peran tokoh-tokoh pers itu dan orientasi medianya menciptakan simbol perjuangan, yakni untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Peran- peran pers kemudian makin mengental sebagai salah satu pilar demokrasi.

“Begitu teknologi komunikasi dan informasi berkembang pesat, pers dan jurnalisme mengalami transformasi. Industri pers makin besar dengan masuknya modal-modal besar. Capitalisme membawa profit oriented,” kata Acil.

Orientasi profit ini seperti mengalahkan kebebasan media untuk menyiarkan apa saja, apalagi korporasi dengan bayaran iklannya biasanya memyettaksn syarat-syarat dalam kebijakan redaksional media.

Yang kedua, beber Acil, capitalisme dan kemudian menjadi liberalisme meniadan sekat-sekat kerakyatan, utamanya di sektor ekonomi. Modal rakyat kalah oleh kapitalisme, di mama media dalam upaya pemihakannya pada kepentingan ekonomi rakyat sudah dihadang oleh kebijakan redaksionalnya.

BACA JUGA :  Sofhian Mile: Covid Melonjak, Penting untuk Evaluasi dan Introspeksi Diri

“Rakyat atau warga yang digusur, dan menuntut keadilan myaris tak mendapat ekspose yang proporsional. Kenapa? Karena capitalisme membunuh yang kecil. Apalagi jika sudah masuk di wilayah politik, maka muncul oligarki politik,” katanya.

Yang kedua, menurut Syahrir Lantoni, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga di satu sisi membawa wajah buruk. Banyaknya aplikasi berbasis internet memungkinkan banyaknya content-content yang diproduksi oleh publik.

Artinya publik memiliki kesempatan tak tebatas untuk memrproduksi konten-konten yang mereka inginkan. Kesempatan untuk menyuarakan aspirasinya lebih besar dibanding lewat media-media mainstream.

“Tapi itulah buruknya, onten-konten tanpa sensor membuat publik kehilangan kepercayaan akibat informasi-informasi hoax, hate speech, fake, dan lainnya,” ujar Acil.

Nah ketika publik ingin kembali ke media mainstream, masyarakat diperhadapkan lagi dengan budaya capitalisme pada korporasi media. Di sinilah dibutuhkan UU yang bisa melindungi media dan jurnalis untuk tetap dalam menjalankan peran kebebesannya.

“Ini untuk lembaga-lembaga jurnalistik, PWI, AJI, wakil rakyat di parlemen, Dewan Pers dan lainnya untuk menggagas adanya UU Pers yang konprehensif guna melindungi dari budaya-budaya sensor, pemanggilan, pemecatan dan seterusnya itu,” kata Acil.

BACA JUGA :  GAR ITB: Jangan Plintat-Plintut, Bantah Ini Bantah Itu

Tanpa kebebasan dan adanya ancaman kebebasan itu, maka pers yang disebut-sebut sebagai pilar demokrasi akan terdegradasi dengan sendirinya. “Sekarang sudah nyata,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini, menurut Syahrir Lantoni, pers dengan segala dinamika dan problematikanya, diharapkan mampu menciptakan harmoni di dalam politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. (lms)

Saksikan video lengkap Tilik Bang Sem di Channel Salam Radio  di sini 

Komentar