Begini Alur Cerita Kasus Djoko Tjandra, Dibeberkan JPU dalam Persidangan

TILIK.id, Jakarta — Sidang kasus suap cessie Bank Bali dengan tersangka Joko Tjandra hari ini, Senin (2/11/2020), digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Jakarta. Dua dakwaan dituduhkan pada Joko Tjandra.

Joko didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.

Total suap yang diberikan Joko Tjandra untuk ketiga aparat hukum negara itu adalah 920 ribu dolar AS (sekitar Rp13,42 miliar) dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,144 miliar) yaitu mencapai sekitar Rp15,567 miliar dengan tujuan agar ketiganya mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung dan menghapus nama Joko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).

“Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra memberikan uang sebesar 500 ribu dolar AS dari sebesar 1 juta dolar AS yang dijanjikan kepada Pinangki Sirna Malasari sebagai jaksa dengan jabatan jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung,” kata jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung M Yusuf Putra di pengadilan Tipikor) Jakarta, Senin.

Pemberian itu dilakukan agar Pinangki dapat mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung agar Joko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana penjara selama 2 tahun seperti putusan Peninjauan Kembali (PK) MA pada 11 Juni 2009.

Bagaimana cerita asal muasal suap itu terjadi? Dalam tuntutan JPU dibeberkan,
Joko Tjandra yang pertama kali bertemu Pinangki di Malaysia pada 12 November 2019 meminta Pinangki membuat “action plan” dan membuat surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakan status hukum Joko Tjandra.

Pada pertemuan selanjutnya yaitu 19 November 2019, dibahas juga biaya-biaya yang harus dikeluarkan Joko Tjandra seperti tercantum dalam “action plan” yaitu sebesar 100 ribu dolar AS namun Joko Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar 10 juta dolar AS.

“Action Plan” itu diserahkan Pinangki pada 25 November 2019 bersama-sama advokat Anita D.A. Kolopaking dan pihak swasta Andi Irfan Jaya di kantor Joko Tjandra di Malaysia.

“Action plan” tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial “BR” yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan “HA” selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.

Untuk memastikan Joko Tjandra memberikan uang, Pinangki meminta Anita Kolopaking membuat draf surat kuasa menjual aset dari Joko Tjandra kepada Andi Irfan Jaya sebagai jaminan bila kesepakatan pembayaran 10 juta dolar AS dan uang muka yang dijanjikan Joko Tjandra tidak dibayar.

Pada 26 November 2019, Joko Tjandra melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum), memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mall Senayan City.

BACA JUGA :  Pakar Hukum: Persidangan HRS Secara Online Tidak Miliki Basis Legal-Konstitusional

Pinangki lalu memberikan uang dari Joko itu sebesar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada Anita Kolopaking dengan mengatakan bahwa Pinangki baru menerima 150 ribu dolar AS dan akan memberikan kekurangannya setelah Joko Tjandra memberikan uang yang dijanjikan.

Selanjutnya Joko Tjandra juga didakwa menyuap Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brgjen Pol Prasetijo Utomo untuk menghapus status dari Daftar Pencarian Orang (DPO).

“Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra turut serta melakukan dengan Tommy Sumardi yaitu memberi uang sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS kepada Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dan memberi sejumlah 150 ribu dolar AS kepada Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo dalam kedudukannya dengan jabatan Kepala Biro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri,” kata jaksa.

Pemberian itu diawali pada April 2020, Joko Tjandra menghubungi Tommy Sumardi membicarakan cara agar Joko Tjandra bisa masuk ke Indonesia untuk mengajukan PK atas kasus korupsi Bank Bali karena Joko mendapat informasi bahwa “Interpol Red Notice” atas dirinya sejak 12 Februari 2015 telah dibuka Interpol Pusat di Lyon, Prancis.

“Agar niat terdakwa Joko Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka terdakwa bersedia memberikan uang Rp10 miliar melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan terdakwa masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri,” tambah jaksa.

Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo di kantornya pada Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri, kemudian Prasetijo memperkenalkan Tommy kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadivhubinter Polri.

Prasetijo lalu memerintahkan bawahannya Brigadir Fortes untuk mengedit “file” surat istri Joko Tjandra, Anna Boentaran sesuai format permohonan penghapusan Red Notice yang ada di Divhubinter dan mengirimkan surat itu ke Tommy Sumardi.

Pada 16 April 2020, Tommy Sumardi menyerahkan “paper bag” merah tua kepada Napoleon Bonaparte sambil menanyakan status Interpol Red Notice temannya yaitu Joko Tjandra, setelah itu Napoleon meminta Tommy datang lagi keesokan hari.

Esoknya, Tommy bersama Prasetijo Utomo bertemu Napoleon di ruangan Kadivhubinter Polri.

“Napoleon Bonaparte menyampaikan bahwa ‘Red Notice Joko Tjandra bisa dibuka, karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya’. Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa (nominal uangnya) dan oleh Napoleon Bonaparte, dijawab ‘3 lah ji (3 miliar)’. Setelah itu Tommy Sumardi meninggalkan ruangan Kadivhubinter,” tambah jaksa.

Joko Tjandra lalu meminta sekretarisnya Nurmawan Fransisca untuk mengambil uang 100 ribu dolar AS dan diserahkan kepada Tommy Sumardi pada 27 April 2020. Pada hari yang sama, Tommy dan Prasetijo berangkat untuk menemui dan menyerahkan uang ke Napoleon Bonaparte.

BACA JUGA :  Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara dan Hak Politiknya Dicabut

“Saat di perjalanan di dalam mobil, Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa oleh Tommy Sumardi, kemudian mengatakan ‘banyak banget ini ji buat beliau? Buat gw mana?’ dan saat itu uang dibelah 2 oleh Prasetijo Utomo dengan mengatakan ‘ini buat gw, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi 2’,” tambah jaksa.

Setiba di ruangan Kadihubinter, Tommy menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak 50 ribu dolar AS namun Napoleon Bonaparte mau menerima uang dengan nominal tersebut.

“Dengan mengatakan ‘Ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 ji soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata ‘petinggi kita ini’,” tambah jaksa.

Pada 28 April 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya menyerahkan 200 ribu dolar Singapura ke Tommy Sumardi. Tommy lalu menemui Napoleon pada hari yang sama di kantor Napoleon dan menyerahkan uang 200 ribu dolar Singapura kepada Napoleon Bonaparte.

Pada 29 April 2020, kembali Joko Tjandra meminta sekretarisnya menyerahkan 100 ribu dolar AS kepada Yommy. Tommy lalu kembali menemui Napoleon di ruang Kadivhubinter gedung TNCC Mabes Polri lantai 11 dan menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepada Napoleon.

Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ke Imigrasi yang ditandatangani atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo.

“Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7 dan diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi,” ungkap jaksa.

Pada 4 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya memberikan uang 150 ribu dolar AS kepada Tommy. Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo dan keduanya menemui Napoleon, dalam pertemuan itu Tommy menyerahkan uang 150 ribu dolar AS ke Napoleon.

Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Pol. Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat yang ditandatangani oleh An. Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang berisi penghapusan “Interpol Red Notice”.

Pada 5 Mei 2020, Tommy dan Prasetijo kembali menemui Napoleon di kantornya dan menyerahkan uang sejumlah 20 ribu dolar AS kepada Napoleon.

Setelah mendapat uang, Napoleon kembali membuat surat perihal penyampaikan penghapusan “Interpol Red Noices” atas nama Joko Soegiarto Tjandra Control No.: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 (setelah 5 tahun).

“Setelah surat itu diterbitkan Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi melalui telepon dan mengatakan ‘Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya’ dan dijawab oleh Tommy Sumardi ‘sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana’,” ungkap jaksa.

BACA JUGA :  Edhy Prabowo Sebut Vonis 5 Tahun untuknya Tak Sesuai Fakta-Fakta Persidangan

Tommy lalu bertemu Prasetijo keesokan harinya di kantornya dan memberikan 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo sehingga total uang yang diserahkan Tommy kepada Prasetijo adalah 100 ribu dolar AS.

Napoleon pada 8 Mei 2020 lalu meminta anak buahnya Kombes Pol. Tommy Aria Dwianto membuat surat untuk Anna Boentara yang menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan pada Police Data Criminal ICPO Interpol didapatkan hasil Joko Soegiarto Tjandra tidak lagi terdata sebagai subjek Red Notice ICPO Interpol, Lyon, Prancis.

Pada 12 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepad Tommy. Pada 22 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretarisnya untuk menyerahkan uang 50 ribu dolar AS kepada Tommy sehingga total uang yang diserahkan Joko Tjandra ke Tommy Sumardi adalah 500 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, Joko Tjandra didakwa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya.

“Yaitu bermufakat jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung,” ungkap Jaksa.

Tujuannya adalah agar pejabat di Kejaksaan Agung dan di MA memberikan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sehingga pidana penjara kepada Joko Tjandra berdasarkan Putusan PK Nomor 12 tertanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi dan Joko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.

Cara-cara yang dilakukan Joko Tjandra adalah seperti diuraikan dalam perbuatan pemberian uang kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Atas perbuatannya Joko Tjandra didakwa dengan pasal berlapis yaitu pertama pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.

Kedua, pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur soal “Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14” dengan ancaman penjara paling singkat 1 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara. (lms)

Komentar