Saksikan di Channel Akbar Faizal Uncersored di Sini
TILIK.id, Jakarta — Dua nama publik figur yang kerab terlibat debat panas di forum-forum kebengsaan, Akbar Faizal dan Rocky Gerung, kembali bertemu di Channel Youtube milik Akbar Faizal, yakni Akbar Faizal Uncensored, Senin sore.
Channel itu sampai saat ini sudah ditonton 1,6 ribu viewer. Apa yang dibicarakan dua tokoh beda arus dukungan politik ini?
Judul tayangan tampak menarik, menggoda dan bikin penasaran: “Banyak Sampah di Istana”. Rupanya judul itu diambil dari hasil perbincangan kedua tokoh ini. Benarkah banyak sampah di Istana?
Diksi itu muncul ketika Akbar Faizal mengutip pendapat bahwa Rocky patut berterima kasih pada Jokowi karena Pak Jokowi menghargai lawan politik. Maka kemudian Rocky mendapatkan ruang untuk berbicara apa saja.
“Apakah anda bisa menerima argumen seperti ini? tanya Akbar Faizal.
Rocky mengatakan, ruang bicara itu adalah sunnatullah, bukan diberikan oleh negara apalagi Jokowi. Tapi itu memungkinkan dirinya mengeksploitasi kelemahan rezim ini.
Ruang publik itu, kata Rocky, memungkinkan dirinya untuk mengkritik pendukung pendukung baik pendukung fanatiknya itu. Ruang itu telah disediakan oleh demokrasi, tapi kemudian banyak orang yang ingin membatalkan itu.
“Jadi dibilang Pak Jokowi ingin didemo, kenapa yang lain menganggap demonstran itu sampah. Jadi saya anggap banyak sampah juga di Istana yang tidak mengerti demokrasi,” kata Rocky.
Sebelumnya, Akbar Faizal mengawali dialog dua tokoh ini dengan pertanyaan seberapa besar problem pengelolaan negara dalam pemerintahan Jokowi ini sampai begitu keras mengeritik?
Rocky mengatakan, kritik dengan narasi dan formulasi yang berbeda dari dirinya hanya ingin meneruskan beban ditinggalkan oleh founding father kita karena kritisisme, argumentasi, duel pikiran, itu dilatih dari awal kemerdekaan.
“Waktu kita bikin konstitusi isinya adalah argumentasi bahkan saya kira itu tokoh-tokohnya sangat piawai. Bung Karno orasinya bagus logikanya bagus Haji Agus Salim, Nasir, dan segala macam itu,” kata Rocky.
Jadi, menurut Rocky, sebenarnya dirinya hanya mengembalikan kemampuan kita yang tertunda karena politik dibikin riuh oleh sensasi sentimen. Karena politik itu harus diisi dengan argumen bukan sentimen.
“Nah fasilitas itu yang saya pakai untuk mengevaluasi kepentingan Presiden Jokowi karena saya tidak melihat di situ ada logika yang bagus, jadi saya hanya ingin mengingatkan negeri ini didirikan oleh pikiran. Karena itu kemudian dia viral dan itu tangungjawab lawan debat saya yang memviralkan,” beber Rocky Gerung.
“Dan saya ingin bikin satu formula bangsa ini harus memilih membangun jalan pikiran lebih lebih dulu sebelum membangun jalan tol,” tambah Rocky.
Akbar Faizal mengingatkan bahwa Rocky Gerung sudah lama melintas di forum politik praktis. Setidaknya dua aktivitas pernah diketahui yang dicatat oleh Tim riset Nagara Institute.
“Anda pernah menjadi penulis pidato Gus Dur tolong saya di konfirmasi kalau itu keliru. Yang kedua Anda pernah mendirikan partai SRI ya namanya, dan waktu itu salah satu agendanya menjadikan suatu figur Sri Mulyani Indrawati untuk menjadi presiden,” tanya Akbar Faizal.
“Gus Dur saya berteman karena kita bikin forum yang namanya Forum Demokrasi atau Fordem, yaitu gerakan oposisi dengan kekuatan narasi terhadap pemerintahan presiden Soeharto. Saya tidak tahu siapa yang bocorkan saya menulis pidato, padahal saya nggak menulis pidato. Saya menulis risalah-risalah semacam press realease untuk dibagikan oleh Gus Dur,” jawab Rocky.
Namun, tambahnya, seringkali Gus Dur menganggap bahwa yang dibagikan adalah lain dari yang dia ucapkan. Kalau kepada pers Gus Dur selalu bilang yang dibagikan kalian itu yang bikin Roki Gerung.
“Soal partai saya membikin partai SRI namanya, Serikat Rakyat Independen dan memang dimaksudkan untuk Sri Mulyani. Tapi maksud itu agak tricky sebetulnya, karena kita hanya menguji seberapa kuat middle class terutama, mau memberi peluang pada politik yang basisnya value dan argumen. Ternyata gagal gak bisa ikut Pemilu,” kata Rocky mengenang.
Tapi, menurut Rocky, partai itu sekarang masih ada, karena nomenklatur masih terdaftar di kementerian hukum dan HAM. “Kalau Akbar Faizal mau pakai partai itu silahkan,” candanya.
Akbar Faizal terus memancing Rocky untuk membuka diri. Dia mengatakan, senarnya pemerintahan Jokowi sah menurut konstitusi karena dia memenangkan pertarungan di Pilpres.
“Menurut Anda, layak nggak mendapat respek. Karena kalau melihat kritik Anda itu luar biasa sekali. Saya jadi bertanya dan banyak pertanyaan kenapa Pak Rocky tidak menyisakan sedikit pun respek kepada kepada pemerintah?” tanya Akbar.
“Soal kritik pada presiden memang saya tidak ingin menyisakan ruang. Sebab ketika ruang itu disisakan selalu memberi applaus kepada kekuasaan lalu gerombolan penjilat partai, dan tanpa argumen mendukung presiden itu lalu hura hura. Saya bertengkar dengan Akbar Faizal karena saya melihat Akbar Faizal punya kemampuan membela presiden dengan argumentasi. Saya hormati itu, karena itu kita bisa bertengkar. Tapi kalau tidak punya argumentasi kan tidak bisa kita bertengkar kan? Saya hanya bertengkar dengan orang, bukan dengan barang atau separuh orang. Itu yang membuat orang marah,” kata Rocky.
Tapi yang lebih penting, tambah Rocky, adalah tentu presiden terpilih dengan dua dukungan, yaitu legalitas dan legitimasi. Legalitas adalah aturan negara atau aturan hukum. Jokowi terpilih tapi waktu itu legitimasinya tidak ada atau sangat kurang, sehingga jadi Rocky ingin tambah lagi legitimasi itu dengan memberi kritik.
“Sekarang yang terjadi adalah tetap presidennya legal tapi legitimasinya drop terus. Bahkan saya baca gara-gara demo ini, seluruh pers dunia, dari Yerusalem sampai Washington, dari Moscow sampai Melbourne, menghujat pemerintah Indonesia dengan satu kesimpulan demokrasi hilang di dalam pemerintahan presiden Jokowi ini,” beber Gerung.
Jadi, menurut Rocky, inilah situasi politik yang riil yang memerlukan evaluasi dengan tingkat keinginan berfikir. Tidak perlu marah pada Jokowi sebagai manusia. Yang perlu dimarahi adalah jalan pikiran kabinet di dalam mengatasi problem sosial, dengan argumentasi, dengan logika.
Dalam dialog, meski tidak biasa membandingkan sosok presiden, Akbar Faizal menyatakan Gus Dur itu sangat menghormati dialektika dari para pihak. Dia bertanya, apakah Rocky punya perbandingan, bagaimana kritik berseliweran di antara presiden Gus Dur dengan yang sekarang?
“Gus Dur mampu untuk menghumorkan politik dan mempolitisir humor itu. Itu dua keanehan yang ada pada Gus Dur. Kalau politiknya terlalu terlalu kasar dia humorkan politik itu supaya punya efek. Nah kemampuan itu tidak se lihat dari pada Pak SBY padahal SBY dicatat sebagai orang yang mampu untuk mengucapkan demokrasi di dalam praktek, tidak ada orang yang pernah ditangkap,” katanya.
Soeharto, menurut Gerung, orang yang memang berupaya menghasilkan ketertiban politik demi pembangunan yang konsisten. Misalnya soal ekonomi maka diserahkan saja pada teknokrat UI.
“Nah hari ini saya tidak melihat presiden Jokowi punya semacam otonomi untuk menentukan kebijakannya sendiri. Jadi ini adalah dugaan, yang saya susun agar tidak menjadi delik, yaitu bahwa beliau menerima semua bisikan. Namun yang keluar di publik adalah kontradiksi. Suatu waktu presiden memilih soal justice, besok dia bicara soal makar. Tidak ada satu spektrum yang bisa orang pegang,” katanya.
Dalam posisi itu, Rocky mengaku inilah ruang mengeritik yang disampaikan dari dulu. Tapi, menurutnya, sekarang kritik itu diambil alih sebuah buku yang berjudul Man of Contradiction.
“Akhirnya terbukti kan. Bukan karena saya berkolaborasi dengan penulis, tapi orang masih juga bisa melihat bahwa presiden penuh dengan kontradiksi dalam mengambil kebijakan. Kenapa begitu? Mungkin karena banyak faktor yang harus beliau layani,” ungkap Rocky.
Istilah dungu yang kerak disampaikan Rocky Gerung, dinarasikan kembali. Kata dungu itu dipilih memang untuk memudahkan orang mengerti apa yang mau saya terangkan. Kalau dibilang itu mengandung logicall fallacy, itu bahasa Inggris. Indonesianya dungu.
“Dungu artinya gagal menghubungkan dua premis sehingga tidak bisa menghasilkan kesimpulan yang logis. Itu aja sebetulnya,” kata Rocky.
Tapi begini, sergah Akbar Faizal. kalau orang bicara tentang rezim, bicara tentang sistem, maka itu melibatkan para pihak. “Apakah sebelumnya anda marah pada orang orang yang berada di sekitarnya, saya menggunakan bahasa pasar,” tanya Akbar.
“Saya nggak marah. Saya banyak teman di KSP, banyak teman nggak ada soal, apalagi beredar sekarang tokoh tokoh yang terlibat di dalam penyusunan omnibus law. Ada 12 tokoh itu berapa persen teman saya. Jadi bagi saya nggak ada problem.
“Atau Anda ingin mengatakan betapa pemerintah sekarang kesulitan menghadapi seorang oposan? tanya Akbar Faizal.
“Iya sebetulnya. Tapi bukan kesulitan karena dari awal konsep Pak Jokowi kan tidak boleh ada oposisi, bahwa demokrasi dalam Pancasila, gotong royong adalah lebih penting. Jadi kalau orang lebih pilih itu lalu orang anggap bahwa saya tidak sesuai dengan pakem yang dibuat oleh Pak Jokowi memang tidak sesuai, karena saya berbeda. Saya menganggap demokrasi itu twin sister nya adalah oposisi. Jadi kalau saudara kembarnya nggak ada, maka kemampuan kita untuk mengontrol tidak ada,” kata Rocky lagi.
Menurut Rocky, kekuasaan itu memiliki dua wajah. Ada wajah bengis, ada wajah adil. Bengisnya kekuasaan tidak mungkin selalu menghadirkan keadilan. Adilnya kekuasaan, selalu ada bengisnya juga. Nah kalau justifec tidak dihadirkan, maka mesti ada yang mengontrol. Itu yang disebut oposisi.
Akbar Faizal melanjutkan, banyak orang yang bingung bagaimana Pak Jokowi dibiarkan diposisikan pada posisi yang dikritik tiap hari, padahal orang disekitarnya relatif mumpuni. Tapi itu tadi kenapa gitu gagap menghadapi seorang oposan seperti Rocky Gerung?
Menurut Rocky, siapa pun yang diserap oleh kekuasaan ia akan masuk di dalam dua basis politiknya. Bahasa tubuhnya harus menyesuaikan dengan kekuasaan. Karena itu kekuasaan itu zat dasarnya tidak mungkin adil. Kalau begitu keadilan datang dari mana?
“Keadilan datang dari pengendalian kekuasaan. Dari mana pengendalian itu? Dari dalam dirinya. Kalau tidak bisa dari dalam dirinya akan dikendalikan dari luar dirinya,” beber Rocky.
Akbar Faizal memberi argumen bahwa kuatnya kekuasaan justru bahkan sulit mengendalikannya. Bayangkan tinggal PKS yang satu-satunya belum masuk pemerintahan. Gerindra yang dulu ri luar pemerintahan, kini sudah bergabung juga. Praktis rezim ini sungguh kuat. Tapi mengapa begitu sulit membendung kritik?
“Itu yang terlihat. Saya bisa baca itu melalui bahasa tubuh Pak Mahfud MD kemarin waktu bicara bahwa pemerintah akan bertindak keras untuk mengendalikan penolak Omnibus Law.
Kan kita tahu otak Pak Mahfud itu bagian kanannya adalah politik, bagian kirinya adalah visi akademisi. Jadi bahasa tubuhnya kelihatan kaku, jadi gak berani,”kata Rocky Gerung.
Beda di jaman Pak Harto dulu langsung Panglim ABRI yang bicara. Jadi, kata Rocky, tetap terbaca ada ketidakjujuran di dalam body language pembantu presiden untuk menerapkan secara persis apa yang sebetulnyayang dimaksud dengan ketertiban politik.
“Jadi dari situ, saya melihat bahwa kekuasaan ini besar, tapi dia tidak bertumbuh atau saya katakan lah kekuasaan politik istana itu membengkak. Hanya membengkak tapi tidak bertumbuh. Karena tidak bertumbuh, maka tidak bisa menghasilkan diskursus yang betul-betul bisa membikin orang takut. Begitu Mahfud MD ngomong ancaman, anak STM bilang besok kita turun lagi,” kata Gerung.
Dikatakan, kekuasaan itu efektif kalau tidak diaktifkan. Kalau dikatakan pengerahan kekuasaan efektif mengendalikan demo, tidak akan berhasil. Kekuasaan hanya efektif kalau disimpan energinya. Sekarang ini sudah dipamerin energynya. Dari Mahfud MD sampai Ngabalin. (lmb)
Komentar